Rita Maya

Rita Maya

Rabu, 04 Januari 2012

Coretan 5 Januari 2012

Narasi Tempat


Nama      : Rita Mayasari
NIM        : 10201241037
Kelas       : C
Tugas      : Narasi Tempat
Menulis Faktual           


Ilalang di Jalan Setapak Itu
Tidak jauh dari rumah itu, terhampar petak-petak sawah yang menghijau. Sebuah sungai kecil berada di pinggirnya. Karena cuaca sedang terik, pemandangan itu sangat menyejukkan mata. Beberapa petani berada disana. Sebagian dari mereka tengah sibuk menyiangi rerumputan yang ada disela-sela batang padi. Sebagian yang lain sedang beristirahat di gubuk tidak jauh dari sungai. Kemudian, perhatianku beralih ke sebuah jalan setapak dengan jembatan kayu diatas sungai itu. Jalan itu hampir tidak terlihat karena ilalang yang tumbuh subur menutupinya. Sesaat kemudian aku teringat kembali pada cerita masa lalu.
Cerita itu berawal ketika aku berusia empat tahun. Saat itu, aku adalah murid di sebuah taman kanak-kanak. Setiap pagi ibuku selalu mengantarku ke sekolah. Akan tetapi, dia hanya mengantar sampai di atas jembatan kayu itu. Kemudian, aku berjalan sendiri menuju sekolah. Dia menungguku sampai benar-benar aku tidak terlihat lagi olehnya.
Ketika musim hujan dan air meluap hingga menutupi jembatan, dia menggendongku. Aku baru diturunkan di tempat yang kering. Biasanya tempat itu di jalan raya. Dia tidak pernah bosan melakukan itu. Sebaliknya, dia terlihat sangat senang saat mengantarku. Di sepanjang jalan dari rumah sampai jembatan, dia selalu menasehatiku. Ibu ingin agar aku menjadi anak yang baik. Ketika dewasa nanti, ibu memintaku untuk mewujudkan keinginan itu. Aku selalu mendengarkannya meskipun tidak sepenuhnya mengerti.
Suatu hari ketika pulang sekolah, aku bertemu seorang kakek di jembatan itu. Dia sedang duduk dengan setumpuk ilalang di sampingnya. Dia terlihat sangat letih dan kelelahan. Karena kasihan melihatnya, aku memberinya air minum dan sebungkus roti yang kudapat dari makanan tambahan di sekolah. Kakek itu menerimanya dan tersenyum. Dia memintaku duduk di sampingnya.
“Apa kakeh sedang mencari rumput untuk ternak kakek?” tanyaku padanya.
“Tidak, Nak. Rumput ilalang itu akan kakek tanam di sepanjang jalan ini,” katanya sambil merapikan tumpukan ilalang itu.
“Kenapa ilalang? Bukankah tanaman bunga lebih menarik?” tanyaku polos.
“Karena hampir semua orang tidak menyukainya. Semua orang tidak tahu manfaatnya. Nak, terima kasih atas makanannya. Semoga kelak kamu akan menjadi seorang yang baik,” kata kakek itu sambil tersenyum.
Sebenarnya aku tidak mengerti mengapa jalan itu akan ditanami ilalang, bukankah itu akan mengganggu orang-orang yang akan berjalan di sana? Selain itu, tanaman yang ditanam di tanah yang berbatu saat musim kemarau itu sangat sulit tumbuh. Yang aku mengerti adalah ada kemiripan antara kakek itu dengan ibu. Mereka sama-sama menasehatiku agar kelak menjadi orang yang baik. Seperti apakah orang baik yang mereka maksud?
Kakek itu seakan mampu membaca pikiranku. Dia berkata, “Suatu hari nanti ilalang itu akan tumbuh dengan sendirinya dan kamu akan tahu apa maksudnya.” Setelah itu, kakek itu beranjak dan berjalan dengan membawa ilalang-ilalang itu. Aku masih terbengong-bengong melihatnya dan berjalan pulang.
Seperti anak kecil pada umumnya, aku ceritakan pertemuanku dengan kakek itu kepada ibu dengan menggebu-gebu. Ibu mendengarkan ceritaku tetapi tidak seperti biasanya. Dia tidak memberikan komentar apapun. Dia justru tersenyum. Ketika itu kutanyakan, ibu tidak menjawabnya. Dia hanya memberi pesan untukku agar tidak mengganggu kakek itu. Aku mengiyakannya.
Beberapa tahun setelahnya hidupku masih sama. Sama halnya dengan jalanan itu, masih berbatu dan tidak ditumbuhi ilalang. Konon, kakek itu telah dikabarkan meninggal sesaat setelah dia menyelesaikan menanam ilalang di jalan itu. Sekarang usiaku sudah 18 tahun. Sudah lama aku tidak melewati jalan itu semenjak aku pindah ke rumah yang baru 10 tahun silam.
Kali ini, aku beniat mengunjungi rumahku yang lama. Sebelum sampai di rumah itu, aku melewati hamparan sawah dan jembatan itu. Sawah-sawah dipenuhi oleh padi-padi yang mengering. Petak-petak sawah itu bahkan terlihat seperti padang stepa yang tandus. Aku terkejut melihatnya tetapi kakiku tidak berhenti melangkah. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak itu. Semakin jauh aku melangkah, semakin aku merasakan perbedaannya. Awalnya, aku hanya menemukan beberapa ilalang tumbuh disela-sela bebatuan. Akan tetapi, kini aku sudah tidak bisa berjalan lagi. Ilalang tumbuh subur dan menutupi jalan itu. Pemandangan yang kontras bila dipandingkan dengan sawah-sawah itu.  
“Bagaimana mungkin ilalang ini bisa tumbuh? Dahulu ditanam ketika musim kemarau tanpa pengairan. Sekarang pun sedang musim kemarau bahkan padi-padi itu pun mengering padahal diairi secara teratur,” batinku.
Kemudian kulihat sungai kecil di pinggir sawah. Sungai itu masih teraliri air meski airnya sangat sedikit. Kira-kira tinggi airnya hanya sebatas mata kaki orang dewasa. Tentu saja itu tidak cukup untuk mengairi sawah-sawah atau ilalang di jalan itu?
Dua orang tengah berbicara di dalam gubuk tidak jauh dari tempat aku berdiri. Mereka membicarakan tentang nasibnya yang sepertinya akan menuai gagal panen. Ada penyesalan di wajah mereka. Kudengar mereka menyebut-nyebut seorang kakek dalam pembicaraannya.
“Seharusnya dahulu kita mendengarkan kakek itu. Ternyata dia benar tanah ini tidak layak untuk bercocok tanam. Tanah ini sudah dikutuk untuk menjadi padang rumput saja. Percuma kita bertahun-tahun menetap di sini. Kita tidak akan mendapat untung. Aku benar-benar menyesal memiliki tanah di sini,” kata salah seorang dari gubuk itu.
“Entahlah, tapi aku tak sependapat dengan itu. Bagaimanapun panen kita ini tidak ada hubungannya dengan kakek itu. Ini tergantung dari kita mengolah tanah dan merawat tanaman padi itu. Kau ingat, sudah dua tahun terakhir kita mengalami hal serupa. Kupikir kita keliru dalam mengatur pengairan. Kita hanya memanfaatkan air sungai. Padahal sumber mata air sungai itu hanya sedikit. Lagi pula di hulu sungai dibangun bendungan. Tentu saja, air yang mengalir jumlahnya semakin sedikit. Kenapa kita tidak mencoba membuat sumber mata air?” seseorang yang lain menimpali.
“Bagaimana mungkin ada mata air jika tanah kita sangat tandus seperti itu?” tanya temannya.
“Benar juga. Mata air ada disekitar pohon karena pohon mampu menyimpan air di sekitar akar-akarnya. Akan tetapi, di petak-petak sawah itu tidak ada satupun pohon yang ditanam. Tidakkah kita telah melupakan sesuatu? Kita hanya bekerja siang dan malam untuk diri kita sendiri. Tepatnya nasib kita hari itu. Kita tidak memikirkan bagaimana nasib makhluk hidup yang lain. Kita juga tidak memikirkan nasib kita di masa depan, bukankah begitu?” ujar seseorang yang lain.
“Kurasa itu benar. Kita benar-benar egois bahkan untuk kebaikan diri kita sekalipun. Aku mengerti sekarang mengapa kakek itu mengatakan tanah ini tanah terkutuk. Itu karena penghuninya yang tidak cakap mengolahnya.  Sebenarnya kakek itu telah mengingatkan kita dengan sindirannya itu tetapi kita tidak menyadarinya. Selain itu, ilalang-ilalang yang ditanamnya di sepanjang jalan itu juga wujud protesnya terhadap apa yang kita lakukan selama ini. Dia meminta kita untuk berpikir. Akan tetapi, kita tidak mengacuhkannya,” jawab yang lain.
“Ilalang-ilalang itu tumbuh subur hanya dengan sedikit air. Lihatlah mereka tumbuh hampir mencapai tinggi satu meter. Sekarang, tahukah kamu apa yang sedang aku pikirkan?” kata salah seorang sambil terus mengamati ilalang di sepanjang jalan itu.
“Membuat sumber mata air di sana?” tanya yang lain.
“Kau benar. Akar-akar ilalang itu mampu menyimpan air layalnya sebuah pohon. Besar kemungkinan ada mata air di sana. Kakek itu telah membantu kita. Dia tahu kesalahan kita. Dia tahu bagaimana cara menyelematkan kita dari kesalahan yang telah kita perbuat,” jawab seseorang yang lain.
Setelah itu aku tidak mendengarkan lagi pembicaraan mereka. Aku berjalan pulang dengan pikiran yang masih tertuju pada jalan dan kakek itu. Yang aku lihat, beberapa saat setelah mereka berbicara, mereka membuat sumber mata air di pinggir jalan setapak itu. Mereka terlihat bahagia karena berhasil menemukan mata air.
Sekarang aku juga mengerti maksud kakek itu. Dia ingin menyadarkan orang-orang itu dari kesalahannya. Dia ingin mereka berpikir dan merenungi kesalahannya. Di sisi lain, dia juga telah menyiapkan sesuatu untuk membantu mereka. Baru saja aku lihat bahwa dia telah berhasil. Saat itu juga aku menemukan jawaban dari pertanyaanku dulu tentang maksud orang yang baik, yaitu orang yang berguna untuk orang lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar