Rita Maya

Rita Maya

Rabu, 04 Januari 2012

Coretan 5 Januari 2012

CERITA RAKYAT GUNUNGKIDUL



MITOS PULUNG GANTUNG
Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai bagian daerah di DIY, Gunungkidul sangat kental dengan paham mistik, khususnya Jawa/Kejawen. Ada beberapa kejadian/peristiwa yang selalu dikaitkan dengan fenomena mistik. Salah satunya adalah kasus bunuh diri dengan cara gantung diri.
Di Gunungkidul ini masyarakatnya sangat mengenal dengan apa yang disebut fenomena pulung gantung. Secara sederhana dapat penulis gambarkan fenomona tersebut. Pulung gantung adalah sebuah fenomena yang nampak dari langit. Berbentuk bola api dengan ekornya yang panjang. Biasanya munculnya fenomena ini menurut beberapa orang yang sempat penulis tanyai adalah saat sehabis Magrib (pukul 18.00-20.00) atau pada saat menjelang subuh (02.00-04.00).
Fenomena mitos ini berawal dari masa lalu di kalangan masyarakat Gunungkidul, terutama yang tinggal di pedesaan tentang keberadaab pulung gantung. Pulung artinya wahyu. Di waktu malam hari masyarakat sering melihat sinar merah yang bergerak di atas bukit yang kemudian akan turun di salah satu rumah penduduk. Banyak anggota masyarakat yang masih percaya bahwa penghuni rumah yang kejatuhan pulung gantung, dia ditakdirkan untuk meninggal dengan cara menggantung diri. Jika salah satu penghuni rumah tadi percaya akan mitos ini atau jiwanya dalam keadaan tidak stabil, maka dengan serta merta dia akan melakukan bunuh diri oleh karena percaya bahwa ini sudah menjadi takdirnya. Jika warna sinar tadi kebiruan maka dipercaya bahwa yang kejatuhan akan mendapatkan wahyu. Mitos ketiban wahyu (kejatuhan wahyu) yang ditandai dengan jatuhnya sinar dari angkasa di atap rumah memang dikenal dalam kepercayaan Jawa. Tetapi umumnya bersifat positip, tanpa membedakan warna sinarnya. Di Gunungkidul, mitos ini agak berbeda, kalau warna biru kehijauan, wahyu positif. Kalau warna merah, suratan takdir untuk bunuh diri.




ASAL MULA NAMA DUSUN GUBUKRUBUH
Dusun Gubukrubuh termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Getas, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dahulu, wilayah dusun Gubukrubuh masih berupa hutan lebat, namun karena suah peristiwa yang terjadi disana, maka wilayah itu dinamakan dusun Gubukrubuh. Peristiwa itu adalah sebagai berikut:
Prabu Brawijaya V adalah raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1468-1478 Masehi. Raja yang juga dikenal dengan nama Bhre Kertabumi ini memiliki nama asli Raden Alit. Ia adalah raja Majapahit terakhir dan merupakan putra bungsu dari Prabu Sri Rajasawardhana bergelar Brawijaya II (memerintah sekitar tahun 1451-1453 Masehi). Prabu Brawijaya V mempunyai permaisuri bernama Putri Campa. Putri yang cantik dan cerdas ini adalah persembahan dari Kerajaan Tiongkok, yaitu dari Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming, sebagai tanda persahabatan.
Rupanya, kehadiran Putri Campa menimbulkan pertentangan di kalangan keluarga istana. Maka, dengan berat hati, Prabu Brawijaya V menghibahkan permaisurinya yang sedang mengandung itu kepada salah seorang putranya, yaitu Arya Damar, yang menjabat sebagai Adipati Palembang. Arya Damar adalah putra Prabu Brawijaya V dari salah seorang putri selirnya. Putri Campa akhirnya diberangkatkan ke Palembang untuk mendampingi Arya Damar.
Tak berapa lama tinggal di Palembang, Putri Campa melahirkan seorang bayi laki-laki dari hasil perkawinannya dengan Prabu Brawijaya V. Bayi itu diberi nama Jimbun atau yang kelak dikenal dengan Raden Patah. Setelah melahirkan Raden Patah, Putri Campa kemudian dinikahi oleh Arya Damar dan memperoleh seorang anak laki-laki bernama Raden Kusen. Setelah dewasa, Raden Patah ditunjuk untuk menggantikan ayah tirinya, Arya Damar, menjadi Adipati Palembang. Namun, ia menolak dan justru pergi ke Jawa bersama Raden Kusen. Menurut cerita, kedua orang bersaudara tiri ini tiba di pelabuhan Tuban sekitar tahun 1419 M.
Di Jawa, Raden Patah dan Raden Kusen berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Setelah itu, Raden Kusen mengabdi ke Kerajaan Majapahit namun dengan tetap menyembunyikan jati dirinya. Kecakapan Raden Kusen membuat karirnya di Kerajaan Majapahit melesat dengan cepat, hingga dia dipercaya untuk menjabat sebagai Adipati Terung. Sementara itu, Raden Patah pergi ke Jawa tengah untuk membuka hutan dan membangun sebuah pesantren yang diberi nama Pesantren Glagahwangi. Atas kepemimpinannya, pesantren itu semakin lama semakin maju.
Suatu hari, Raden Kusen yang telah menjabat sebagai Adipati Terung mengundang Raden Patah untuk datang  ke kediamannya. Ia bermaksud mengajak kakak tirinya itu menemui Prabu Brawijaya V di Kerajaan Majapahit. Namun, ternyata Prabu Brawijaya V belum mengetahui  jika Raden Patah adalah anak kandungnya, dan Raden Kusen adalah putra dari anaknya, Arya Damar, yang berada di Palembang.
“Kanda, Raden Patah, sebaiknya kita menemui ayahanda kanda di Majapahit,” ujar Raden Kusen.
“Baiklah, terimakasih atar kesediaan adinda. Kanda pun sudah tidak sabar ingin bertemu dengan beliau,” kata Raden Patah.
Keesokan harinya, keduanya pun berangkat ke Kerajaan Majapahit. Setiba disana, Rden Kusen pun memperkenalkan Raden Patah kepada Prabu Brawijaya V.
“Ampun, Baginda Prabu. Hamba menghadap bersama dengan saudara tiri hamba, Raden Patah,” ungkap Raden Kusen kepada Prabu Brawijaya V.
“Lalu apa maksud kedatangan kalian ke sini?” tanya sang Prabu.
“Ampun, Baginda. Perlu Baginda ketahui bahwa Raden Patah ini adalah putra Baginda, sedangkan hamba sendiri adalah anak tiri sekaligus cucu Baginda,” aku Raden Kusen.
“Apa katamu?” kata Prabu Brawijaya tersentak kaget. “Hai, kalian jangan mengaku-aku sebagai putraku!”
“Benar. Saya ini putra ini Bagind,” sahut Raden Patah.
Prabu Brawijaya pun semakin bingung. Ia merasa bahwa dirinya tidak mempunyai putra yang bernama Raden Patah. Setelah Raden Patah dan Raden Kusen menceritakan asal usul mereka bahwa mereka adalah anak dari Putri Campa, barulah Prabu Brawijaya mulai percaya.
“Tapi, bukankah ibunda kalian ada di Negeri Palembang? Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? tanya Prabu Brawijaya.
Raden Patah dan Raden Kusen pun menceritakan kisah perjalanannya dari Palembang hingga tiba ke Jawa. Mendengar cerita itu pun Prabu Brawijaya semakin percaya dan akhirnya mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat menjadi Bupati Glagahwangi yang kemudian berganti nama menjadi Demak dengan ibukota di Bintara. Menurut cerita, Raden Patah pindah dari Surabaya ke Demak sekitar tahun 1475 M.
Dengan dibantu pamannya, Pangeran Sabrang Lor, Raden Patah mengembangkan Demak Bintoro menjadi pelabuhan dagang yang ramai. Dalam waktu singkat, para pedagang muslim dari Cina pun banyak yang menetap di daerah itu, terutama Semarang, Lasem, Juwana, dan Tuban. Dua tahun kemudian, Raden Patah yang telah dinobatkan menjadi Sultan Demak menakluhkan Semarang yang termasuk wilayah bawahannya.
Mendengar kabar tersebut, Prabu Brawijaya V pun mulai khawatir kalau putranya itu akan memberontak. Ketika itu, Raden Patah memang berniat untuk menyerang Kerajaan Majapahit dan mengislamkan ayahandanya beserta seluruh rakyat. Namun, ketika niat itu disampaikan kepada Sunan Ampel, sang Sunan justru menasehatinya.
“Jangan, Den! Sebaiknya Raden jangan memberontak pada Kerajaan Majapahit!” ujar Sunan Ampel kepada Raden Patah. “Walaupun berbeda agama, Prabu Brawijaya tetaplah ayahanda Raden.”
Raden Patah pun mengurungkan niat tersebut. Namun, setelah Sunan Ampel meninggal dunia, Raden Patah akhirnya menyerang Kerajaan Majapahit. Dalam serangan tersebut, Prabu Brawijaya dan pasukannya kalah. Oleh karena malu diajak putranya masuk Islam, ia bersama sejumlah pengikutnya melarikan diri hingga ke daerah barat hingga tiba di wilayah Gunungkidul yang terletak dibagian selatan Yogyakarta. Sang Prabu tidak berani melarikan diri ke utara karena daerah itu sudah dikuasai oleh tentara Demak dan di pantai utara Jawa telah dihuni oleh para pedagang muslim.
Raden Patah yang mengetahui pelarian ayahandanya pun mengejarnya karena menginginkan sang ayah masuk agama Islam. Sementara itu, Prabu Brawijaya V bersama pengikutnya yang sudah tiba di Gunungkidul terus menyusuri hutan lebat. Suatu ketika, sejumlah pengikut sang Prabu berhenti di sebuah gubuk yang berada di tengah hutan untuk beristirahat karena kelelahan. Namun tanpa mereka sadari, ternyata Raden Patah beserta pasukannya telah sampai di tempat itu.
Ketika mereka sedang asyik beristirahat di gubuk itu, tiba-tiba pasukan Raden Patah datang menyergap. Akhirnya, pasukan Prabu Brawijaya V pun menyerah dan menjadi pengikut Raden Patah, sedangkan sang Prabu telah berhasil meloloskan diri. Atas nasehat Sultan Demak itu, pasukan Prabu Brawijaya yang tertangkap itu pun masuk agama Islam. Di gubuk itu mereka diajari cara melaksanakan sholat.
Sejak itu, daerah tersebut diberi nama Dusun Gubukrubuh, yang diambil dari kata gubuk yaitu tempat pertama kali mereka melaksanakan sholat, dan kata rubuh yang berarti runtuh memiliki dua pengertian, yaitu pengertian secara fisik dan secara batin. Secara fisik kata rubuh diartikan sebagai rubuhnya badan pada saat sholat, dari posisi berdiri ke posisi rukuk, kemudian ke posisi sujud. Secara batin, rubuh diartikan sebagai runtuhnya iman dan keyakinan mereka dari keyakinan agama Hindu menjadi keyakinan agama Islam.
Sementara itu, Prabu Brawijaya V yangberhasil melarikan diri tiba di pantai selatan Gunungkidul. Disana ia mengalami kebuntuan dan tidak tahu harus berlari kemana lagi karena terhalang oleh Laut Selatan. Sang Prabu pun merasa bahwa barangkali hidupnya hanya sampai disitu. Ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan membakar diri hingga tewas karena seluruh tubuhnya kobong atau terbakar. Oleh masyarakat setempat, pantai tempat Prabu Brawijaya membakar diri dinamakan Pantai Ngobaran, yang diambil dari kata kobar atau kobong.
Demikian cerita Asal Mula Dusun Gubukrubuh dari Gunungkidul. Menurut salah seorang sesepuh desa yang tinggal di dusun tersebut bahwa para ulama dan pemerintah setempat pernah ingin mengganti nama dusun itu dengan Sumber Mulyo, namun masyarakat setempat menolaknya, sehingga nama dusun Gubukrubuh tetap dipakai hingga sekarang. Pendidikan agama Islam pun berkembang pesat di daerah ini. Data terakhir (3 Mei 2011) menyatakan terdapat berbagai jenjang pendidikan yaitu mulai dari tingkat PAUD, Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtida’iyyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, hingga pondok pesantren. Tidak mengherankan jika dusun ini menjadi kebanggaan kelurahan Getas karena satu-satunya kelurahan di Gunungkidul yang seluruh penduduknya beragama Islam adalah kelurahan Getas.



















ASAL MULA NYAMUK BERDENGUNG
Alkisah, pada zaman dahulu di kaki bukit di daerah kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat sebuah dusun terpencil yang jauh dari keramaian. Penduduk di dusun tersebut senantiasa hidup rukun, damai, dan sejahtera. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka berladang dan berternak hewan seperti sapi dan kambing. Setiap hari mereka pergi ke ladang dan ngarit (mencari rumput) untuk ternak mereka dengan perasaan senang dan aman.
Suatu ketika suasana damai dan tenang itu terusik oleh kabar akan kedatangan Ratu Nyamuk ke dusun itu. Seluruh warga pun menjadi cemas dan takut keluar rumah untuk mencari nafkah. Bagaimana mereka tidak takut, tubuh Ratu Nyamuk itu amat gemuk dan ukurannya sebesar kambing. Ratu Nyamuk itu juga memiliki kaki yang panjang dan berbulu. Demikian paruhnya amat runcing dan tajam sehingga dapat menusuk kulit hewan yang kasar seperti kuda sekalipun. Oleh karena itu, setiap orang atau hewan yang dihisap darahnya akan meninggal karena kehabisan darah.
Merasa terancam keselamatannya, para warga pun mengadakan rembug desa (musyawarah desa) yang dipimpin langsung ketua dusun setempat.
“Bagaimana kalau Ratu Nyamuk itu kita jebak dan binasakan ramai-ramai?” usul salah seorang warga.
“Maaf, Saudara. Saya kira apa yang anda usulkan tidak akan berhasil,” sanggah seorang warga lainnya, “Ratu Nyamuk itu dapat terbang tinggi sehingga sulit untuk menjebaknya, apalagi membinasakannya.”
Suasana musyawarah tersebut cukup menegangkan. Sudah banyak usulan yang disampaikan oleh warga, namun belum satu pun yang disepakati secara bersama-sama oleh seluruh peserta rapat. Sebagian besar dari warga sudah ada yang merasa cemas dan putus asa karena belum juga menemukan cara yang tepat untuk membinasakan si Ratu Nyanuk.
“Tenang, Saudara-saudara! Kita tidak perllu putus asa,” ujar kepala dusun, “Setau saya, Ratu Nyamuk itu memakai sebuah subang yang menjadi rahasia kesaktiannya. Jika subang itu kita ambil, tentu kekuatannya akan hilang dan akan berubah menjadi kecil. Dengan demikian, kita dapat menghalaunya dengan mudah.”
“Tapi, Pak Dukuh. Siapa yang akan berani mengambil subang Ratu Nyamuk itu?” tanya seorang warga.
Mendengar pertanyaan itu, seluruh peserta rapat terdiam seraya saling memandang satu sama lain. Mereka semua bingung karena takut darahnya dihsap oleh Ratu Nyamuk. Di tengah kebingungan para warganya, sang kepala dusun menlanjutkan pembicaraannya.
“Saya juga mendengar bahwa saat ini si Ratu Nyamuk sedang siap bertelur. Dengan demikian, dia pasti memerlukan pertolongan untuk mengeluarkan telurnya. Satu-satunya orang yang dapat menolongnya adalah dukun bayi,” ungkap sang kepala dusun.
“Lalu bagaimana si dukun dapat mengambil subang Ratu Nyamuk itu?” tanya seorang yang lain dengan bingung.
Dengan tenang kepala dusun menjawab, “Sebelum menolongnya, dukun bayi itu harus meminta sebuah syarat kepada Ratu Nyamuk untuk menyerahkan subangnya,” jelas sang kepala dusun.
Mendengar penjelasan itu seluruh peserta rapat mengangguk-anggukan kepala pertanda setuju. Akhirnya, para warga sepakat untuk meminta pertolongan Mbok Surti, satu-satunya dukun bayi yang ada di dusun itu. Mbok Surti dikenal sebagai dukun bayi yang pemberani dan memiliki banyak pengetahuan.
“Bagaimana Mbok Surti, apakah kamu mau bersedia melaksanakan tugas ini?” tanya kepada dusun kepada Mbok Surti yang juga hadir dalam musyawarah itu.
“Demi keamanan dan ketentraman bersama, aku bersedia melaksanakan amanat para warga ini,” jawab Mbok Surti
Suatu hari, saat hendak bertelur, Ratu Nyamuk itu datang menemui Mbok Surti untuk meminta pertolongan. Sesuai dengan yang diamanatkan kepadanya, Mbok Surti pun mengajukan persyaratan kepada Ratu Nyamuk itu.
“Saya bersedia membantumu wahai Ratu Nyamuk, tetapi dengan syarat kamu harus menyerahkan subangmu kepadaku,” tegas Mbok Surti.
“Baiklah, Mbok. Aku terima persyaratanmu,” jawab sang Ratu Nyamuk.
Setelah menyerahkan subangnya kepada Mbok Surti, Ratu Nyamuk itu segera terbang ke atas sebuah pohon. Sementara itu, Mbok Surti segera menyimpan subang itu baik-baik. Ia kemudian mengambil seonggok jerami dan meletakannya di bawah pohon temapat Ratu Nyamuk bertengger.
“Hai, Mbok Surti! Untuk apa jerami itu?” tanya Ratu Nyamuk.
“Kamu akan bertelur diatas jerami ini agar telur-telurmu aman,” ujar Mbok Surti.
Tanpa merasa curiga sedikit pun, Ratu Nyamuk itu segera terbang rendah diatas tumpukan jerami setelah Mbok Surti memintanya. Begitu dia hendak mengeluarkan telurnya, Mbok Surti dengan cepat membakar tumpukan jerami itu. Api pun menyala sangat besar dan padam dengan cepat sehingga menimbulkan kepulan asap tebal yang berwarna hitam. Tak ayal, Ratu Nyamuk pun jatuh ke tanah dan menggelepar-gelepar terkena kepulan asap jerami. Beberapa saat kemudian, telur sebesar jagung keluar dari tubuhnya dengan jumlah yang sangat banyak. Pada saat yang bersamaan, tubuh Ratu Nyamuk perlahan-lahan berubah menjadi kecil hingga sebesar telurnya. Hal itu dikarenakan tubuhnya yang sangat lemah, sementara subang saktinya sudah tidak melekat padanya.
Beberapa saat kemudian, telur Ratu Nyamuk yang jumlahnya sangat banyak itu tiba-tiba menetas menjadi nyamuk-nyamuk kecil. Ratu Nyamuk itu kemudian mengajak anak-anaknya untuk mengelilingi Mbok Surti dan merebut kembali subangnya. Namun, ketika dia hendak meminta kembali subangnya kepada Mbok Surti, suara yang keluar dari mulutnya hanya suara dengungan.
“Ngung...ngung...ngung...,” demikian suara dengungan Ratu Nyamuk itu.
Suara dengungan itu lalu ditirukan oleh semua anak-anaknya. Mbok Surti yang tidak menngerti maksud dengungan itu lalu meninggalkan mereka. Namun, Ratu Nyamuk dan anak-anaknya mengejar dan mengelilinginya dengan berdengung. Oleh karena merasa terganggu oleh suara dengungan itu, Mbok Surti segera mengumpulkan jerami dan membakarnya. Begitu api yang membakar jerami itu padam, asap tebal pun mengepul dan mengenai Ratu Nyamuk dan anak-anaknya. Mereka pun berterbangan meninggalkan Mbok Surti karena tidak tahan dengan asap jerami itu. Berkat bantuan Mbok Surti mengusir nyamuk-nyamuk tersebut, penduduk itu kembali hidup nyaman dan aman. Mereka pun dapat mencari nafkah dan mencari rumput diladang tanpa dihantui perasaan cemas.
Sejak peristiwa tersebut, nyamuk bertubuh kecil dan hanya bisa berdengung. Nyamuk-nyamuk tersebut hanya bisa mengeluarkan dengungan. Meski demikian, mereka terus mengejar Mbok Surti untuk meminta kembali subangnya. Itulah sebabnya mereka selalu mengganggu manusia dengan berdengung di dekat telinga. Demikian pula, manusia sampai saat ini masih ada yang menggunakan asap sebagai alat pengusir nyamuk, meski bukan lagi dari jerami.



Coretan 5 Januari 2012

PUISI


WANITAKU – Rita Mayasari
Seperti memikul batu dipundakmu
Entah mau dibawa kemana batu itu
Memar dibahumu tak jadi ucapmu
Meski yang semula kulit memerah
Kini jadi keluar darah bernanah
Bersenyawa dengan peluh
Tiba-tiba beberapa orang menguasaimu
Kau hampir goyah dan jatuh
Mereka dengan rakus menjilati bahumu
Entah seberapa sakit rasa itu
Tapi setitik pun tangis keluar dari matamu
Lalu kau melangkah tanpa beban
Itu khayalku ...

Tapi dihadapku kau terus duduk lesu
Menatap dunia yang bengis kepadamu
Bahkan uluran tangan
Kau sambut dengan keluhan
Kenapa kamu begini?
Kenapa kau buat benci dalam kasihku?

Kau butuh terpejam
Lalu bukalan dan dunia tersenyum padamu


Coretan 5 Januari 2012

PUISI


TERHENTI DI 12 OKTOBER – Rita Mayasari
Kian hari kian terasa jauh, bukan karna bentangan jarak, tapi dunia pribadi yang tak serupa
Lelaki ini, kau, biasa mengembara di atas angin, sedang aku terus menjilati tanah bernanah
Lelaki ini, kau, bisa dengan sekejap dunia terbeli, tapi aku tertatih hidup mandiri
Lelaki ini, kau, terasing dari muram, sedang aku berkawan malam
Kisah ini bukan tentang lelaki yang ingin dicumbu, tapi pencarian arti padu
(Dalam hati, aku yang benci karna mencintai lelaki ini)
Cermin retak memantulkan bias rasa ini, kepingnya terpejam melihat siluetmu di mataku
(Dalam hati, aku menangis karnamu)
Bukankah ini pertanda ada yang salah dari semua ini?
Banyak dari bagian diriku memujimu, tapi lebih banyak yang membencimu, benci karna
hanya kamu yang mencairkanku, tapi kamu sendiri tetap beku dihadapku
Lalu, beberapa gelap dan terang, aku tak berpikir tentangmu, aku kosong
Tapi ku lihat kamu mampu takluk hari dengan sempurna. Bagaimana bisa?
Kamu lebih hebat dari yang ku kira. Kamu aktor utama dalam drama ini. Dan aku
pengikut yang tak bisa mengikutimu.
Sekarang terserah! Aku lelah. Serta merta aku mungkin tak bisa menghapusmu, tak bisa
melepasmu, tapi semua perlu waktu, aku tahu itu
Bagaimana denganmu? Apakah sama denganku?

Coretan 5 Januari 2012

PUISI


STATIS
Rita Mayasari

aku ingin angin tidak mengambil jarak diantara kita, tapi justru merangkul kita, untuk saling berpadu dalam satu.
aku ingin tanah menggulung, menyatukan hati kita, agar kita tidak linglung dengan gairah rasa dalam jiwa kita.
aku ingin langit mendekap erat kita, menjaga kita untuk saling terikat meski sedang dalam pekat.
sayang ya, hanya ingin, mungkin logika, realita, juga mereka tak seiring, dan kita hanya kembali duduk terdian saling memandang.

Coretan 5 Januari 2012

PUISI


SEDEKAH WAKTU
Rita Mayasari

“Dek, masih lama?” pasti terucap, terdengar dari sisi lain bilik itu.
aku sopan menjawab datar “bentar”
sadar banyak yang memburuku penuh nafsu
sadar jam, arloji, monol terbuang semu
bersama busa dan air yang gugur menyatu
tak tahu harga mati sedetik yang lalu
betapa naif aku yang sedekah waktu

Coretan 5 Januari 2012

PUISI


21 September 2011


Roda Segitiga
Oleh: Rita Mayasari

Berbaring di bawah tumpukan bahagia
Kadang sesak nafas menahan duka lara
Menatap jauh yang menyilaukan mata
Pesona batu mulia kehidupan nyata
Puncak segala rasa tertuju padanya
Puncak yang tak pernah runtuh
Dalam roda iman yang diam tak goyah
Yang terus berputar mengekor waktu

Coretan 5 Januari 2012

PUISI


MENGGANTUNG – Rita Mayasari
Ilalang tak berkawan
Sendiri dalam panas
Atau hujan
Dalam gelap juga terang

Ilalang diam bertahan
Melawan badai
Atau topan
Dalam kuat atau lemah

Ilalang sepi sendiri
Butuh teman juga lawan
Menanti sesuatu yang lama hilang

Ilalang tak tau ...
Angin datang berbisik
Pengagum rumput liar tak bermakna

Ilalang bisan sendiri
Tapi angin tetap mengusik
Ilalang bertanya
Tapi angin berdiam
Apa ilalang dipermainkan?