Rita Maya

Rita Maya

Rabu, 04 Januari 2012

Coretan 5 Januari 2012

SEKILAS AGAMA BUDHA

BAB I
PENDAHULUAN
Agama Budha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Sejarah agama Budha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Agama Budha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dsb. Pencetusnya ialah Siddhartha Gautama yang dikenal sebagai Gautama Budha oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran Budha sampai ke negara Tiongkok pada tahun 399 Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.
Setiap aliran Budha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Budha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Budha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).







BAB II
PEMBAHASAN

A.      AGAMA BUDHA DI INDONESIA
        1.     Latar Belakang Sejarah Agama Budha di Indonesia
Fa Shien, Pengelana China pada abad ke-5, berhasil mengunjungi Sriwijaya dalam perjalanannya ke Asia Tenggara. Dari catatannya diketahui bahwa di Sriwijaya sudah terdapat kaum Brahmawan yang mengajarkan agama Budha. Selanjutnya dari Sriwijaya, agama Budha berkembang ke daerah lain, diantaranya Pulau Jawa dan pulau-pulau sekitarnya. Memasuki masa penjajahan selama 350 tahun seakan agama Budha menghilang dari bumi nusantara. Sisa-sisa penduduk Majapahit yang beragama Budha banyak yang tinggal di Bali dan daerah Jawa Timur dan menjalankan tradisi Budhis yang masih bertahan sampai sekarang.
Perkembangan agama Budha pada masa penjajahan ini diwarnai dengan corak agama Budha dari China. Tridharma : Budha, Kong Hu Cu dan Tao. Kebangkitan agama Budha baru terasa nyata sejak didirikannya Java Budhist Association oleh Pandita Belanda Josiast V. Dients tahun 1932, dan kedatangan Bhikkhu Narada tahun 1934.
        2.     Periodesasi Sejarah Agama Budha di Indonesia
Sejarah agama Budha secara garis besar terbagi dalam enam masa, yaitu sebagai berikut:
                  a.     Masa Zaman Kerajaan Sriwijaya
Banyak orang menduga bahwa awal masuknya agama Budha ke Indonesia adalah pada kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa pada awal abad kesatu. Dugaan ini berawal dari etimologis terhadap Aji Saka itu sendiri, serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Kata Aji dalam bahasa Kawi bisa berarti ilmu yang ada hubungannya dengan kitab suci, sedangkan Saka ditafsirkan sebagai kata Sakya yang mengalami transformasi. Dengan demikian mungkin kata Aji Saka ditafsirkan sebagai gelar raja Tritustha yang ahli mengenai kitab suci Sakya, dalam hal ini ahli tentang Budha Dhamma, selain dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pembuatan aksara Jawa. Bila hal ini benar, tarikh Saka yang permulaannya dinyatakan sebagai Nir Wuk Tanpa Jalu (Nir berarti kosong (0), Wuk berarti tidak jadi (0), Tanpa berarti 0 dan Jalu sama dengan 1) yang sekaligus dimaksudkan untuk mengabadikan pendaratan pertama beliau di Jepara. Sumber pengetahuan kita tentang agama Budha diambil dari prasasti yang ditemukan dan dari berita-berita luar negri, yaitu dari orang China yang mengunjungi Indonesia.
Prasasti yang berasal dari abad kelima hingga ketujuh tidak terlalu banyak memberikan informasi. Prasasti itu berasal dari Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dari prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang berbau India, seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin adalah raja-raja tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah masuk agama yang datang dari India.
Selanjutnya prasasti tersebut menunjukan bahwa agama yang dipeluk adalah agama Hindu. Tetapi dari penemuan patung-patung Budha, dapat disimpulkan bahwa agama Budha juga sudah ada, walaupun jumlahnya masih sedikit. Informasi paling tua tentang keberadaan agama Budha di Jawa dan Sumatra didapat dari pengelana China bernama Fah-Hien, yang sekembalinya dari Ceylon ke China pada tahun 414 terpaksa mendarat di negri yang bernama Ye Po Ti karena kapalnya rusak. Sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye Po Ti itu Jawa atau Sumatra. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye Po Ti adalah Jawa (Javadvipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Budha di Ye Po Ti, walaupun cuma sedikit. Sekalipun demikian agaknya sesudah abad kelima keadaan berubah.
Tidak sampai tiga ratus tahun kemudian, pada akhir abad ketujuh, Biksu China I-tsing mencatat dengan lengkap agama Budha dan aplikasinya di India dan Melayu. Ketertarikan utamanya adalah pada “rumah agama Budha” India Utara dimana I-tsing tinggal dan belajar disana selama lebih dari sepuluh tahun. Dari catatannya dapat dikatakan bahwa agama Budha di India dan Sumatra mempunyai banyak kesamaan, dimana I-tsing juga menemukan perbedaan antara agama Budha di China dan di India. I-tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai Biksu di India dan Sumatra. Seluruh bukunya merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India seluruhnya berdasarkan peraturan vinnaya.
Bila dibandingkan catatan Fah-Hien tahun 414 dengan catatan I-tsing, dapat diambil kesimpulan bahwa agama Budha di pulau Jawa dan Sumatra telah dibangun dengan sangat cepat. Pekerjaan I-tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan diatas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru agama terkenal yang pergi ke negri di sebelah barat (diduga adalah Sriwijaya). Diceritakannya pada catatannya itu, kehidupan biarawan yang pada intinya hampir sama dengan yang ada di India. Dalam bukunya dikatakan bahwa Biksu asli Jawa dan Sumatra adalah sarjana sanskrit yang sangat bagus. Salah saatunya adalah Jnanabhadra yang merupakan orang Jawa Asli yang tinggal di Sumatra dan bertindak sebagai guru bagi biksu China dan membantu mennerjemahkan sutra ke dalam bahasa China. Bahasa yang digunakan oleh biksu Budha adalah bahasa sanskrit. Bahasa Pali tidak digunakan. Bagaimanapun hal ini tidak boleh dijadikan patokan bahwa agama Budha yang berkembang disini adalah Mahayana. I-tsing menjelaskan dalam bukunya Agama Budha dipeluk diseluruh negri ini dan kebanyakan sistem yang diadopsi adalah Hinayana, kecuali di Melayu dimana ada sedikit yang mengadopsi Mahayana. Sudah banyak diketahui umum bahwa literatur agama Budha berbahasa sanskrit tidak melulu berarti Mahayana.
Inilah bentuk agama Budha yang mencapai kepulauan di laut selatan. I-tsing mengatakan di kepulauan di laut selatan, Mulasarvastivadanikayo hampir secara universal di adaptasi. I-tsing tampaknya tidak mempermasalahkan perbedaan antara penganut Hinayana dan Mahayana. Dikatakannya : Mereka yang menyembah Bodhisatta dan membaca sutra Mahayana disebut penganut Mahayana. Sementara yang tidak disebut penganut Hinayana. Kedua sistem ini sesuai dengan ajaran Dhamma. Keduanya mengajarkan kebajikan dan membimbing manusia ke Nirvana. Keduanya menuju kepada pemusnahan nafsu dan penyelamatan semua mahluk hidup. Dari karya-karyanya dapat dikatakan bahwa I-tsing tidaklah terlalu dalam bergelut dalam masalah filosofi Budhis tetapi hanya tertarik pada kehidupan biarawan dan tugas-tugas yang diemban oleh mereka. Dengan kata lain, ia memberikan seluruh waktunya untuk belajar vinnaya dan kehidupan biarawan.
Seperti dikemukakan diatas, di Sumatra dan Jawa lebih berkembang Hinayana. I-tsing menceritakan bahwa di Melayu, ditengah-tengah pesisir timur Sumatra ada pula yang menganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah datang biksu dari India Dharmapala, ke Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana. Awal abad ke-20, dua prasasti ditemukan di dekat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra (yang tidak cuma memerintah di selatan Sumatra tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu) memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Budha, Bodhisatwa Avalokitesvara dan Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama Dyani Budha, yang jelas beraliran Mahayana.
Dari berita I-tsing itu, kesimpulannya bahwa pada waktu itu Sriwijaya menjadi pusat agama Budha. Disana terdapat sebuah perguruan tinggi Budha yang tidak kalah dengan perguruan yang ada di Nalanda India. Ada lebih dari 1000 biksu yang ajaran serta tata upacaranya sama dengan yang ada di India. Kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar disitu.
Dari berita ini jelas bahwa Sriwijaya adalah pusat agama Budha Mahayana, yang terbuka bagi gagasan baru dan yang juga senang mengadakan pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu musafir China yang ingin belajar di India pasti singgah di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan. Hal itu juga dilakukan oleh I-tsing sendiri.
Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa daputa hyang (barangkali perdana menteri) berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan, dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara Indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang berkuasa pada masa itu. Bahkan bukan hanya itu saja, mungkin pengaruh tantra, yang di India mempengaruhi agama Budha sejak pertengahan abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi adalah wajrasarira, tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana.
Semua ini menunjukan bahwa pada tahap permulaan masih ada hubungan yang erat antara Indonesia dan India. Hubungan ini agaknya makin lama makin mengurang.
                  b.     Masa Zaman Kerajaaan di Jawa Tengah
Dibandingkan dengan zaman sebelumnya, sumber agama Budha di Jawa Tengah sedikit lebih banyak. Pada zaman ini di Jawa Tengah sudah terdapat dua kerajaan besar, yaitu kerajaan dari dinasti Syailendra yang memeluk agama Budha dan kerajaan dari dinasti Sanjaya yang memeluk agama Siwa. Agaknya hubungan kedua kerajaan ini baik sekali, sebab berita yang ada menyebutkan bahwa kedua kerajaan tersebut saling tolong menolong dalam pendirian candi.
Di kerajaan Syailendra agama yang dipeluk adalah agama Budha Mahayana. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan sejarah dan candi dari kerajaan ini yang bercorak Budha Mahayana. Walaupun kerajaan Syailendra banyak mendirikan candi namun masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan candi yang dibangun oleh kerajaan Sanjaya. Bahwa yang berkembang adalah Budha Mahayana, jelas terlihat dari candi di desa Kalasan (yang kemudian diabadikan sebagai nama candi tersebut). Candi ini dipersembahkan untuk Dewi Tara, rekan wanita Budha.
Agaknya pada masa ini masih ada hubungan yang erat dengan India, sebab ada juga berita bahwa seorang guru dari Gaudidwipa (Bengala) yang memimpin upacara pada waktu peresmian patung Manyuri. Demikian juga diberitakan diprasasti lain bahwa ada orang dari Gujarat yang senantiasa melakukan kebaktian di candi tertentu. Dugaan itu berasal dari berita di India. Raja Dewapala dari dinasti Pala (Bengala) pada tahun pemerintahannya yang ke-39 (antara tahun 856 dan 860) menghadiahkan beberapa desa untuk keperluan pemeliharan sebuah vihara di Nalanda, yang didirikan oleh Balaputra, raja Suwarnadwipa (Sumatra), cucu raja di Jawa.
Sekalipun demikian keadaan di Jawa Tengah tidak sama dengan keadaan di Sriwijaya. Mahayana yang bagaimanakah yang berkembang di Jawa Tengah? Pertanyaan itu sukar dijawab. Yang perlu diperhatikan adalah pada prasasti Kalurak (782) yang agaknya berhubungan juga dengan peresmian patung Mansyuri, disebutkan bahwa Mansyuri selain disamakan dengan Triratna juga disamakan dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara. Bagi para pengikut Mahayana di Jawa Tengah, agaknya para Bodhisatva tidak dibedakan dengan dewa dari Hindu.
Disamping prasasti, ada candi-candi yang menjadi saksi agama Budha di Jawa Tengah. Candi tersebut memberikan penjelasan yang lebih banyak. Yang paling terkenal adalah candi Borobudur yang akan dibahas pada materi berikutnya.
                  c.     Masa Zaman Kerajaan di Jawa Timur
Di Jawa Timur, agama Budha dan agama Siwa hidup berdampingan. Hal ini tertera dari prasasti-prasasti dimana mPu Sindok disebut dengan gelar Sri Isana (sebutan Siwa) sedangkan putrinya menikah dengan Lokapala yang juga disebut Sugatapaksa (sebutan Budhis). Juga ditemukan pengaruh tantra pada kedua agama ini cukup kuat.
Dari kesusastraan yang ada, didapat bahwa kesusastraan yang terkuno disusun sedemikian rupa, hingga terdiri dari ayat-ayat dalam bahasa Sanskrit, yang diikuti oleh keterangan bebas dalam bahasa Jawa kuno. Dari sini terlihat bahwa ayat-ayat itu berasal dari India. Dalam perkembangan selanjutnya adalah kitab tersebut terdiri dari ayat dalam bahasa Jawa kuno dan diselingi bait-bait dari bahasa Sanskrit. Ini menunjukan hubungan dengan India sudah longgar. Akhirnya terdapat kitab yang seluruhnya terdiri dari bahasa Jawa kuno, hanya kadang terdapat selingan dalam bahasa Sanskrit.
Pada zaman ini ada dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu Sanghyang Kamahayan Mantrayana yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang ditasbihkan, dan Sanghyang Kamahayanikan yang berisi kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kele pasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan Siwa dengan Budha dan menyebutnya “Siwa-Budha”, bukan lagi Siwa atau Budha, tetapi Siwa-Budha sebagai satu Tuhan.
Beralih ke zaman Majapahit, dapat disimpulkan bahwa zaman ini adalah zaman dimana Sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Agaknya aliran Siwa, Wisnu dan Budha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai Harihara yaitu patung setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Budha dipandang sama. Didalam kitab Arjunawijaya umpamanya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Budha, para bhikkhu menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Wairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki tempat tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki tempat timur. Ratna Sambhawa sama dengan Brahma yang menduduki selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara agama Budha dengan Siwa. Dalam kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorangpun, baik pengikut Siwa maupun Budha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Budha.
Kita mendapat kesan bahwa pada waktu itu agama Budha lebih berkembang dari agama Siwa. Ini dilihat dari kitab Sutasoma yang menceritakan tentang kemarahan Kalarudra yang hendak membunuh Sutasoma, titisan Budha. Para dewata mencoba meredakan Kalarudra dengan mengingatkan bahwa sebenarnya Budha dan Siwa tidak bisa dibedakan. Jinatwa (hakekat Budha) adalah sama dengan Siwatattwa (hakekat Siwa). Selanjutnya dianjurkan agar orang merenungkan Siwa-Budha-tattwa, hakekat Siwa-Budha.
Hal ini tampak juga dari cerita Bubuksah yang ceritanya juga dilukiskan di candi Panataran. Dua saudara yang tua bernama Gagang Aking, pengikut Siwa dan Bubuksah pengikut Budha, sejak muda hidup sebagai pertapa di gunung Wilis. Bubuksah makan segala sesuatu yang dapat dimakan sedangkan Gagang Aking memakan sayuran saja. Mereka berdebat tentang dua pertapaan ini. Kemudian dewa Mahaguru mengutus Kala Wijaya dalam wujud harimau putih untuk menguji kedua anak itu. Ketika harimau putih datang ke Gagang Aking, dinasehatinya supaya pergi saja keadiknya karena tubuhnya lebih gemuk. Ketika harimau itu tiba ditempat Bubuksah, dengan sengaja ia merelakan dirinya untuk disantap, supaya ia lepas dari dunia fana ini. Dari sini jelaslah bahwa Bubuksah itu pengikut Budha yang suci sekalipun ia tidak keras dalam tapanya. Ia mendapat tempat di surga. Cerita ini mengungkapkan suatu polemik, yang menunjukan keunggulan agama Budha. Sekalipun demikian cerita ini dilukiskan pada candi Prambanan.
                 d.     Masa Abad ke-20
Gunung api akan meluapkan baranya lima ratus tahun dari sekarang. Ajaran Budha akan kembali. Kemudian sang hulubalang menghilang dari depan seterunya, setelah memilih untuk tetap mempertahankan apa yang diyakininya, dengan hanya meninggalkan beberapa baris ramalan. Tahun 1478, kerajaan Majapahit berakhir. Kala itu ikut runtuh juga pilar-pilar kejayaan agama Budha di nusantara. Rakyat yang setia memeluk agama Siwa-Budha mengungsi dan berkumpul di berbagai tempat di Jawa Timur dan pulau Bali.
Seratus lima puluh tahun berselang, bangsa Indonesia dijajah Belanda. Ikut datang bersama kaum penjajah, evangelis-evangelis yang menyebarkan agama Kristen. Selain itu, terdapat juga cendekiawan Belanda yang datang, untuk keperluan meneliti sejarah dan kebudayaan bangsa yang dijajah. Belanda mempelajari itu semua, tentu dengan tujuan untuk melanggengkan penguasaan bangsanya atas bangsa yang terjajah. Ajaran spiritualisme yang menonjol dikalangan orang Belanda yang ikut datang ke Indonesia adalah apa yang dikenal sebagai Perhimpunan Theosofi. Ajaran Theosofi memberikan tekanan pada aspek persaudaraan antar manusia, tanpa membedakan ras, bangsa, maupun agama. Sehingga ada juga orang Indonesia berpendidikan yang ikut menjadi anggota Theosofi.
Disamping dua kelompok diatas (penganut theosofi dan penganut Siwa-Budha) ritual agama Budha yang telah membaur dengan tradisi Tiongkok juga dipraktekan oleh kalangan Tionghoa di Indonesia. Agama Tionghoa secara tradisional merupakan perbauran antara agama Budha, Konfusianisme dan Taoisme. Ajaran agama Budhanya adalah ajaran dari tradisi utara atau secara umum dikenal sebagai aliran Mahayana. Tidak jarang, biksu-biksu dari Tiongkok datang memberikan bimbingan di kelenteng-kelenteng. Namun pada umumnya yang mereka berikan hanya penjelasan mengenai bentuk-bentuk upacara seperti bagaimana memasang hio dan cara-cara sembahyang, menjaga lilin dan sebagainya. Jarang sekali mengungkapkan ajaran Budha secara rinci. Ditahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan ini yang bernama Kwee Tek Hoay, seorang pedagang , penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia pulalah yang mula-mula menerbitkan majalah berbahasa Indonesia berisikan ajaran agama Budha , dengan nama Moestika Dharma.
Dari majalah Moestika Dharma yang terbit pada tahun 1932 diketahui bahwa telah ada organisasi Budhis yang bernama Java Budhists Association, dibawah pimpinan Ernest Erle Power (ketua) dan Josiast v. Dienst (sekretaris). Organisasi ini merupakan bagian dari The International Budhists Missionary yang berpusat di Thanton, Myanmar. Java Budhists Association berorientasi pada agama Budha aliran Theravada.
Kedatangan Pandita Josias membuka pikiran banyak tokoh-tokoh masyarakat yang memperhatikan agama Budha. Di kelenteng, waktu ia berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu, banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut mendengarkan. Pembicaraan antara upasaka keturunan Belanda itu dengan tokoh kelenteng berkisar pada ajaran agama Budha dan perkembangannya di Pulau Jawa.
Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Josiast v. Dients dan Bhiksu Lin Feng Fei, kepala kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (mangga besar), Jakarta. Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah umat Budha tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran agama Budha.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Josiast memberikan ceramah agama Budha di kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta, mengizinkan pula Josiast memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta. Pada tanggal 4 Maret 1934, Bhikkhu Narada Thera, seorang evangelis Budhist yang terkenal dari Srilangka, datang ke Indonesia untuk pertama kalinya dalam lawatan ke Asia Tenggara, atas undangan Ong Soe An, seorang tokoh Theosifi dari Bandung.
Selama di Pulau Jawa, Bhikkhu Narada mengunjungi Batavia, Buitenzorg (Bogor), Bandung, Yogya dan Solo. Di lima kota ini Bhikkhu Narada memberikan ceramah-ceramah tentang ajaran agama Budha.
Oleh aktivis Theosofi, kedatangan Bhikkhu Narada dimanfaatkan untuk memperluas wawasan mengenai ajaran Budha. Sewaktu mengunjungi Candi Borobudur, di Magelang, pada tanggal 10 Maret 1934, Bhikkhu Narada memberkati penanaman Pohon Bodhi yang dilakukan oleh pemuka Theosofi Yogya, Mr. E E. Power. Sepulangnya dari Borobudur, pada malam harinya, Bhikkhu Narada Thera menghabiskan beberapa orang upasaka di Yogyakarta. Diantaranya terdapat seorang jawa bernama Mangunkawatja.
Pada tahun itu juga dibentuk Java Budhists Association Afdeeling Batavia (Jakarta) dengan ketuanya J.W. de Witt dan sekretarisnya DR. R. Ng. poerbatjaraka. Disamping itu dibentuk juga Java Budhists Association Afdeeling Buitenzorg (Bogor) dibawah pimpinan A. van der Velde (ketua) dan Oeij Oen Ho (sekretaris). Tak lama kemudian, tanggal 10 Mei 1934, Java Budhists Association Afdeeling Batavia melepaskan diri dari Java Budhists Association pusat dan berdiri sendiri dengan nama Batavia Budhists Association dibawah pimpinan Kwee Tek Hoay (ketua) dan Ny. Tjoa Hin Hoey (sekretaris). Dalam majalah Moestika Dharma, Kwee Tek Hoay menjelaskan bahwa pemisahan ini bukan merupakan pemecahan tapi untuk dapat bergerak lebih leluasa. Batavia Budhists Association ini condong menyebarkan ajaran Mahayana, berbeda dengan Java Budhist Association yang Theravada.
Pada tahun 1934 itu juga dibentuk suatu organisasi pusat (semacam Walubi) yang bernama Central Budhistische Institut Voor Java dengan media cetak berbahasa Belanda yang bernama De Dharma in Nederlandsche Indie.
Pada tahun 1935 oleh Kwee Tek Hoay telah banyak dibentuk Sam Kauw Hwee, yaitu organisasi-organisasi setempat yang anggotanya terdiri dari penganut agama Budha, Konghucu dan Tao, dengan media cetak bernama Sam Kauw Goat Poo yang berbahasa Indonesia. Tujuan Organisasi ini pada dasarnya adalah untuk mencegah orang Cina dan keturunan Cina menjadi penganut ajaran agama lain. Selama pendudukan Jepang, semua kegiatan organisasi Budhist terhenti. Baru kemudian pada tahun 1952, Sam Kauw Hwee (Sam Kauw Hwee ini digiatkan kembali dengan menggabungkan diri menjadi Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia).
                  e.     Masa Setelah Kemerdekaan Indonesia
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1969 telah terdapat berbagai organisasi Budhis yang merupakan organisasi sosial kemasyarakatan dan sekaligus melakukan pengembangan kualitas umat dan kualitas kehidupan beragama umat Budha, antara lain:
1)   Gabungan Tridharma Indonesia (GTI)
Gabungan Tridharma Indonesia adalah merupakan penggabungan beberapa Sam Kauw Hwee. Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia bergabung dengan Thian Lie Hwee yang dipimpin oleh almarhum Ong Tiang Biauw (yang kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta) dan Gabungan Khong Kauw Hwee Indonesia (GAPAKSI).
Bagian kebaktian dari Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial Candrayana) dan Budha Tengger, membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GKSI) di bawah pimpinan The Boan An sebagai ketua pada tahun 1953. Setelah The Boan An di tasbihkan menjadi Bhikkhu pada tahun 1954 di Myanmar dengan nama Bhikkhu Jinarakkhita, ketua GKSI beralih kepada DRS. Khoe Soe Kiam (Drs. Sasana Surya). Pada tahun 1962, GKSI berganti nama menjadi Gabungan tridharma Indonesia(GTI).
2)   Perhimpunan Budhis Indonesia (PERBUDHI)
Beberapa tokoh umat Budha dari suku Jawa, diantaranya Sosro Utomo dari Budha Tengger, melihat bahwa sukar bagi orang Jawa untuk tetap bergabung dengan GTI. Oleh sebab itu untuk pertumbuhan umat disarankan membentuk organisasi baru yang memungkinkan orang Jawa menjadi anggotanya. Tahun 1967 dibentuk Persatuan Budhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum pertamanya Sosro Utomo. Dalam kongres pertamanyatahun 1978 diganti namanya menjadi Perhimpunan Budhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum Sariputra Sudono, dan kemudian berturut-turut sebagai ketua umum adalah Kolonel Soemantri M.S. dan Brigjen. Suraji A.A. Atas usaha Bhikkhu JInarakkhita Perbuddhi dengan cepat berkembang dan menyebar ke luar pulau Jawa.
Sejak permulaan tahun 60-an kelihatan ketidak-serasian antara Bhikkhu Jinarakkhita dan Perbudhi dengan GTI, yang pada akhirnya berakibat GTI melarang anggotanya menjadi anggota Perbudhi.
3)   Musyawarah Umat Budha Seluruh Indonesia (MUSBI)
Dalam tubuh Perbudhi terdapat kelompok Upasaka dan Upasika yang merupakan kelompok elit dalam Perbudhi. Kelompok ini harus menjadi anggota perbudhi dan terikat dalam persaudaraan yang disebut Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang dibentuk pada tahun 1956 oleh Bhikkhu Jinarakkhita dan merupakan pembantu Sangha dan bertanggung jawab kepada Sangha Suci Indonesia pimpinan Bhikkhu Jinarakkhita. Beberapa anggota Perbudhi dari Yogya dan Jawa Tengah menentang adanya kelompok ini. Mereka berpendapat bahwa roda organisasi Perbudhi tidak dapat berjalan dengan baik karena Upasaka-Upasika ini tidak tunduk kepada keputusan kongres, tetapi kepada Sangha. Sedangkan pihak lainnya memandang perlu adanya PUUI. Tahun 1962 mereka yang menolak PUUI menyatakan keluar dari Perbudhi dan membentuk Musyawarah Umat Budha Seluruh Indonesia (MUSBI) dibawah pimpinan Drs. Soeharto Djojosumpeno dari Yogya, yang terakhir menjabat sebagai staf pada Lemhanas.
4)   Budhis IndonesiaTahun 1965
Perbudhi cabang Semarang melepaskan diri dari Perbudhi dan membentuk Budhis Indonesia yang bermarkas di Vihara Tanah Putih Semarang. Budhis Indonesia mendapat dukungan dari berbagai cabang Perbudhi di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menyatakan diri menjadi cabang Budhis Indonesia. Awal perpecahan ini adalah ketidak-serasian dan masalah pribadi antara tokoh-tokoh Busshid di Semarang dan Jawa Tengah dengan tokoh sentral umat Budha, tetapi sebagai alasan untuk keluar dari Perbudhi adalah keikut-sertaan Perbudhi dalam Konferensi World Budhists of Fellowship (WFB) di Bangkok yang hadir pula utusan dari Malaysia.
Pada waktu itu Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Pada bulan Juli 1965 diadakan pertemuan antar organisasi-organisasi Budhis yang ada untuk membuat landasan kerukunan dan kerjasana. Pertemuan ini dilanjutkan lagi pada bulan Agustus 1966 dan Oktober 1966. Pada pertemuan mereka bulan Februari 1967 berhasil dibentuk Federasi Umat Budha Indonesia yang anggotanya adalah :
a)    Budhis Indonesia
b)   Gabungan Tridharma Indonesia
c)    Musyawarah Umat Budha Seluruh Indonesia
d)    Agama Hindu-Budha Tengger
e)    Agama Budha Wisnu Indonesia
Perbudhi tidak mau bergabung dengan Federasi Umat Budha Indonesia karena diantara anggota Federasi Umat Budha Indonesia ini ada yang telah mengeluarkan pernyataan bersama yang merugikan Sangha Suci Indonesia dan Perbudhi. Dalam Maha Samaya II (kongres PUUI) yang diselenggarakan 16-18 Maret 1969 di Bandung, yang dihadiri pula oleh Perbudhi dan Maha Sangha Indonesia, dibentuk Majelis Tertinggi Seluruh Umat Budha Indonesia yang berfungsi menetapkan kebijaksanaan dalam keagamaan dan bertanggung jawab kepada Maha Sangha Indonesia. Pimpinan majelis ini adalah Bhikkhu Girirakkhito (ketua umum) dan Brigjen Suraji Aryakertawijaya (sekjen).
Pada tahun 1959 oleh Bhikkhu Jinarakkhita dibentuk Sangha Indonesia yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu dan samanera yang ditasbihkan menurut mazhab Theravada. Kemudian Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Suci Indonesia dan pada tahun 1968 diubah lagi menjadi Maha Sangha Indonesia yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu Theravada dan Mahayana.
Perpecahan dan perselisihan diantara umat Budha sampai tahun 1969 pada umumnya didasarkan pada perselisihan pribadi. Perpecahan diantara para bhikkhu dalam Maha Sangha Indonesia diwarnai dengan adanya perbedaan dalam pemahaman Vinaya dan Dharma.
Beberapa bhikkhu Theravada menghendaki para bhikkhu tidak campur tangan mengenai perpecahan ini dan berdiri sendiri sebagai panutan. Karena usaha ini tidak berhasil, maka para bhikkhu tersebut keluar dari Maha Sangha Indonesia ada membentuk Sangha Indonesia pada tanggal 12 Januari 1972.
Sangha Indonesia mendapat dukungan dari organisasi-organisai yang terhimpun dalam Federasi Umat Budha Indonesia dan dari organisasi lain seperti Perbudhi dan Persaudaraan Umat Budha Salatiga. Dukungan PErbudhi terhadap Sangha Indonesia dan menyatakan sebagai Pengayom Perbudhi disamping Maha Sangha Indonesia telah menyebabkan PUUI, yang namanya telah diganti menjadi Majelis Ulama Agama Budha Indonesia (MUABI) menyatakan keluar dari Perbudhi.
Untuk mencegah perpecahan supaya tidak meluas, atas prakarsa Brigjen Saparjo, dilakukan pertemuan untuk mengadakan musyawarah. Setelah beberapa kali pertemuan, pada tanggal 26 Mei 1972 dibuat ikrar di Candi Borobudur untuk membentuk wadah tunggal umat Budha Indonesia. Ikrar tersebut ditanda-tangani oleh:
a)    Suryaputta Ks Suratin (Budhis Indonesia)
b)   Brigjen Sumantri MS (MUABI)
c)    Brigjen Suraji Ariya kertawijaya (Perbudhi)
d)   Djoeri (MUSBI)
e)    Drs. Sasana Surya (GTI)
f)    Soepangat Prawirokoesoemo SH (Persaudaraan Umat Budha Salatiga)
Wadah tunggal itu merupakan peleburan semua organisasi Budhis dan bernama Budha Dharma Indonesia disingkat BUDHI. Disamping itu juga dibentuk Majelis Budha Dharma Indonesia yang anggotanya terdiri dari para pemuka agama Budha dan cendikiawan Budhis dari berbagai sekte. Majelis ini berfungsi menetapkan kebijaksanaan keagamaan.
Pada tanggal 14 Januari 1974, atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu-Budha, diadakan pertemuan antara Sangha Indonesia dan Maha Sangha Indonesia. Dalam peretemua itu, disepakati untuk melebur Sangha Indonesia dan Maha Sangha Indonesia menjadi Sangha Agung Indonesia dan setiap bhikkhu akan melaksanakan Vinaya berdasarkan sekte masing-masing. Terpilih sebagai ketua adalah MNS Jinarakkhita dan wakilnya Bhikkhu Jinapiya Thera.
Akan tetapi, pertemuan selanjutnya untuk menetapkan antara lain struktur dan fungsi organisasi Sangha Agung Indonesia tidak pernah dpat dilaksanakan. Konsensus yang dibuat pada tanggal 14 Januari tersebut tidak dapat diwujudkan.
Sebegitu jauh kerukunan, persatuan dan kesatuan masih belum dapat diwujudkan, sedangkan pertentangan antar organisasi makin meningkat, atas dasar Dirjen Bimas Hindu-Budha dilakukan pertemuan pimpinan organisasi Budhis dan para pemuka agama Budha pada tahun 1976 di Jakarta. Dalam pertemuan itu disadari bahwa organisasi Budhis mempunyai dua bentuk kegiatan, yaitu : aspek sosial kemasyarakatan dan aspek pembinaan kehidupan keagamaan yang dilakukan oleh para rohaniawan dari sekte yang bersangkutan. Dalam keadaan yang demikian sukarlah untuk terbentuk satu wadah tunggal bagi umat Budha karena masing-masing sekte mempunyai tradisi dan upacara keagamaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu kedua aspek kegiatan organisasi Budhis yang ada dipisahkan dan masing-masing dihimpun dalam wadah tunggal.
Aspek sosial kemasyarakatan dihimpun dalam wadah tunggal non sektarial yang dinamakan Gabungan Umat Budha Seluruh Indonesia (GUBSI) dibawah pimpinan R. Eko Sasongko Pratomo SH (ketua) dan Drs. Aggi Tjetje (sekjen). Aspek kerohanian menjadi Majelis Agama yang mewakili sekte agama Budha yang ada. Bidang kerohanian BUDHI tumbuh menjadi Majelis Pandita Budha Dharma Indonesia ( MAPANBUDHI). Dari kelompok Tridharma, dinamakan Majelis Rohaniawan Tridharma se Indonesia ( Martrisia). Kemudian dalam pertemuan berikutnya, dibentuk Majelis Agung Agama Budha Indonesia MABI yang berbebtuk federasi.
MUABI kemudian mengundurkan diri dari MABI. MUABI pecahannya menjadi Lembaga Dharmaduta Kasogatan Indonesia yang akhirnya menjadi Majelis Dharmaduta Kasogatan Tantrayana Indonesia, yang di pimpin oleh alm. Giriputta Sumarsono dan kemudian Drs. Oka Diputhera. MUABI kemudian diganti menjadi Majelis Budhayana Indonesia (MBI). Bhikkhu-bhikkhu Theravada yang terhimpun dalam Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan bersama-sama dengan bhikkhu-bhikkhu Theravada yang baru pulang dari belajar diluar negri, membentuk Sangha Theravada Indonesia. Demikian pula dengan Bhikkhu Mahayana yang ada di Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan kemudian membentuk Sangha Mahayana Indonesia. Dengan demikian di Indonesia terdapat tiga Sangha : Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana Indonesia.
Lebih lanjut, Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara mengadakan pertemuan dengan pimpinan semua majelis dan sangha yang ada di Indonesia. Dalam pertemuan ini semua majelis ada sangha menyatakan semua sekte agama Budha yang ada, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebutan yang berbeda-beda. Dalam pertemuan ini dibentuk Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI) yang mewakili umat Budha pada tahun 1978. Nama Perwalian Umat Budha Indonesia di berikan oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara.
                   f.     Era Walubi
Masa selanjutnya adalah masa Walubi yang dibentuk pada tahun 1978. Walubi dalam rapat anggotannya tanggal 21 desember 1978 mendukung pernyataan MABI yang menyatakan bahwa seluruh aliran dan sekte-sekte agama Budha berkeyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun demikian MUABI dan Sangha Agung Indonesia masih berada di luar Walubi.
Disamping itu atas jasa baik seorang pejabat tinggi pemerintah, pada bulan Januari itu juga diadakan pertemuan para pemuka agama dan organisasi Budhis. Dalam pertemuan itu dibahas apa yang menjadi persoalan diantara umat Budha dan disepakati akan mengadakan lokakarya sebelum bulan Pebruari 1979. Dalam pertemuan itu Niciren Syosyu Indonesia (NSI) tidak diikut-sertakan karena salah seorang pemuka umat Budha dari MUABI tidak memandang NSI sebagai bagian dari rumpun umat Budha. NSI yang mengakui sebagai agama Budha yang sama dengan Majelis-majelis lainnya dan menyetujui kesepakatan yang telah dihasilkan dalam pertemuan tersebut diatas diikut sertakan dalam lokakarya yang diselenggarakan bulan Februari 1978.
Lokakarya yang dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 1978 di Jakarta menghasilkan dokumen “Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Budha dalam kepribadian Nasional Indonesia”. Hasil lokakarya ini merupakan dasar untuk mengadakan Kongres Umat Budha Indonesia.
Setelah diadakan prakongres, Kongres Umat Budha Indoensia diselenggarakan pada tanggal 8 Mei 1979 di Yogyakarta. Hasil kongres itu antara lain Kode Etik, Kriteria agama Budha, Ikrar Umat Budha Indoensia dan pengukuhan Hasil Keputusan Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Budha Dengan Kepribadian Nasional Indonesia. Ikrar Umat Budha yang isinya antara lain akan melaksanakan dengan sepenuh hati dan sebaik- baiknya semua Ketetapan dan Keputusan Kongres Umat Budha Indonesia, dinyatakan dalam forum terbuka dihadapan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam Upacara Waisak Nasional pada tanggal 10 Mei 1979 di Candi Mendut dan ditandatangani oleh semua Sangha dan Majelis Agama Budha, termasuk NSI yang pada waktu itu mengakui sebagai agama Budha yang sama dengan Majelis-majelis lainnya.
Hasil Kongres Umat Budha tersebut merupakan dasar dan besar artinya untuk mewujudkan kerukunan, persatuan dan kesatuan umat Budha di Indonesia. Oleh sebab itu, dikukuhkan dalam Kongres I Walubi pada tahun 1986 di Jakarta.
Dengan adanya hasil Kongres yang merupakan dasar kerukunan, persatuan dan kesatuan umat Budha bukanlah berarti kerukunan itu akan segera tercipta. Tidaklah mudah untuk melaksanakan program Walubi pada tahun-tahun pertama terbentuknya.
Pada tahun 1981 dengan dalih Anggaran Dasar Walubi tidak sah diadakan Kongres Luar Biasa Walubi untuk membuat Anggaran Dasar baru. hasil Kongres Luar Biasa tersebut ternyata adalah penggantian DPP Walubi. Ketua umum yang baru adalah Soemantri Mohammad Saleh dan Sekjen Seno Sunoto dari NSI.
Penggantian pimpinan Walubi tidaklah membawa peningkatan pada kerukunan intern Umat Budha dan terlaksananya program Walubi, tetapi sebaliknya Sambutan Hari Raya Waisak dari Seno Sutono selaku Sekjen Walubi yang dimuat dalam surat kabar ‘Sinar Harapan’ pada tahun 1983 adalah bertentangan dengan kode etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran agama Budha. Dalam sambutannya itu Seno Sutono mengubah Hari Raya Waisak sebagai hari balas Budi bagi umat Budha yang didasarkan pada filsafat dan pandangan hidup orang Jepang.
Protes-protes dalam surat kabar dapat dihentikan agar tidak menimbulkan keresahan dan mengganggu kerukunan lebih lanjut dikalangan umat Budha. Masalah tersebut akan diselesaikan oleh DP Walubi Pusat. Akan tetapi masalah tersebut tidak pernah diselesaikan.
Kemudian pada awal tahun 1985 timbul kembali kepermukaan keresahan dikalangan umat Budha di Jawa Tengah, terutama di Wonogiri tentang adanya Budha lain disamping Budha Gautama. Dalam konsultasi pejabat Direktorat Jendral Bimas Hindu-Budha dengan pemuka agama Budha, Seno mengakui bahwa NIciren Daisyonim adalah seorang Budha.
Permasalahan tentang adanya dua Budha yang bertentangan dengan kriteria agama Budha, kode etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran agama Budha dan merusak kerukunan intern umat Budha, tidak diselesaikan oleh DPP Walubi sampai pada Kongres I Walubi tahun 1986. Kongres I Walubi diselenggarakan tanggal 8 – 11 Juli 1986 mengukuhkan hasil-hasil kongres umat Budha Indonesia tentang kode etik, kriteria agama Budha di Indonesia, agama Budha dengan kepribadian nasional Indonesia, ikrar umat Budha Indonesia. Dalam kongres I Walubi itu terpilih sebagai ketua umum adalah Bhikkhu Girirakkhita Maha Thera dan wakilnya adalah Drs. Aggi Tjetje.
Berdasarkan fatwa Widyeka Sabha Walubi dan secara historis, faktual dan keimanan, Budha masa kini adalah tetap Budha Gautama. Hal ini berakibat tidak diakuinya Niciren Syosyu Indoensia sebagai bagian dari rumpun agama Budha, Oleh karena itu NSI dikeluarkan dari Walubi pada tanggal 10 Juli 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar