Rita Maya

Rita Maya

Rabu, 04 Januari 2012

Coretan 5 Januari 2012

MUSEUM SONOBUDOYO YOGYAKARTA
PKL di Museum Sonobudoyo sangat bermanfaat bagi para mahasiswa yang mengikutinya karena mengandung nilai-nilai pedagogis (menambah pengetahuan), sosiokultural (apresiasi budaya khususnya Jawa), dan religius (tampak pada benda-benda peninggalan Islam). Berikut adalah penjelasan singkat tentang museum.
Museum Negeri Sonobudoyo merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah pada Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, berfungsi mengelola benda museum yang memiliki nilai budaya ilmiah, meliputi koleksi pengembangan dan bimbingan edukatif kultural dan bertugas mengumpulkan, merawat, pengawetan, melaksanakan penelitian, pelayanan pustaka, bimbingan edukatif kultural serta penyajian benda koleksi Museum Negeri Sonobudoyo. Museum Sonobudoyo terdiri dari dua unit. Museum Sonobudoyo Unit I terletak di Jl. Trikora No. 6 Yogyakarta, sedangkan Unit II terdapat di Dalem Condrokiranan, Wijilan, di sebelah timur Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta.
Bangunan Museum Sonobudoyo merupakan rumah joglo dengan arsitektur masjid keraton kesepuhan Cirebon. Bangunan utama museum ini adalah: pendapa, ruang pameran, auditorium, laboratorium konservasi, dan perpustakaan. Di ruang pameran, tepatnya di dalam ruang klasik dan peninggalan Islam terdapat koleksi berupa arca Ganesa. Berikut adalah gambar dari arca tersebut.
Keterangan:

Ganesa dalam posisi duduk di atas padmasana dengan telapak kaki bertemu di depan, di belakang terdapat sandaran, pada bagian muka agak aus, memakai mahkota, ardhacandrakapala, mata sipit, dua gading, belalai membengkok ke kiri, masuk dalam mangkuk yang di bawa oleh tangan kiri depan, memakai kelat bahu, gelang, upawita, celana panjang, bertangan 4 ; 2 di depan kiri bawa mangkuk, belakang bawa kapak, kanan bawa sebuah gading, belakang putus dan tidak ada sebatas telapak tangan dan belakang.

Ganesa (bahasa Sanskerta) adalah salah satu dewa terkenal dalam agama Hindu dan banyak dipuja oleh umat Hindu. Dewa ini memiliki gelar sebagai Dewa pengetahuan dan kecerdasan, Dewa pelindung, Dewa penolak bala/bencana dan Dewa kebijaksanaan. Dalam relief, patung dan lukisan, ia sering digambarkan berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan gemuk. Ia dikenal pula dengan nama Ganapati, Winayaka, dan Pilleyar. Dalam tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara Gana, dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara Guru (Siwa). Berbagai sekte dalam agama Hindu memujanya tanpa memedulikan golongan. Pemujaan terhadap Ganesa amat luas hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India.
Meskipun ia dikenal memiliki banyak atribut, kepalanya yang berbentuk gajah membuatnya mudah untuk dikenali. Ganesa dikenal sebagai "Pengusir segala rintangan" dan lebih umum dikenal sebagai "Dewa saat memulai pekerjaan" dan "Dewa segala rintangan" (Wignesa, Wigneswara), "Pelindung seni dan ilmu pengetahuan", dan "Dewa kecerdasan dan kebijaksanaan". Ia dihormati saat memulai suatu upacara dan dipanggil sebagai pelindung/pemantau tulisan saat keperluan menulis dalam upacara. Beberapa kitab mengandung anekdot mistis yang dihubungkan dengan kelahirannya dan menjelaskan ciri-cirinya yang tertentu.
Ganesa muncul sebagai dewa tertentu dengan wujud yang khas pada abad ke-4 sampai abad ke-5 Masehi, selama periode Gupta, meskipun ia mewarisi sifat-sifat pelopornya pada zaman Weda dan pra-Weda. Ketenarannya naik dengan cepat, dan ia dimasukkan di antara lima dewa utama dalam ajaran Smarta (sebuah denominasi Hindu) pada abad ke-9. Sekte para pemujanya yang disebut Ganapatya (bahasa Sansekerta), yang menganggap Ganesa sebagai dewa yang utama, muncul selama periode itu. Kitab utama yang didedikasikan untuk Ganesa adalah Ganesapurana, Mudgalapurana, dan Ganapati Atharwashirsa.

Ganesa digambarkan berkepala gajah semenjak awal kemunculannya dalam kesenian India.  Mitologi dalam Purana memberi beberapa penjelasan mengenai kejadian yang menyebabkannya berkepala gajah. Salah satu perwujudannya yang terkenal, yakni Heramba-Ganapati, memiliki lima kepala gajah, dan variasi kecil lainnya pada jumlah kepala diketahui. Sementara beberapa kitab mengatakan bahwa Ganesa terlahir dengan kepala gajah, pada cerita yang terkenal dikatakan bahwa ia memperoleh kepala gajah di kemudian hari. Motif utama yang terulang dalam cerita-cerita tersebut adalah bahwa Ganesa lahir dengan tubuh dan kepala manusia, kemudian Siwa memenggalnya ketika Ganesa mencampuri urusan antara Siwa dan Parwati. Kemudian Siwa mengganti kepala asli Ganesa dengan kepala gajah. Detail kisah pertempuran dan penggantian kepala, memiliki beragam versi menurut sumber yang berbeda-beda. Dalam kitab Brahmawaiwartapurana terdapat kisah yang cukup menarik. Saat Ganesa lahir, ibunya, Parwati, menunjukkan bayinya yang baru lahir ke hadapan para dewa. Tiba-tiba, Dewa Sani (Saturnus), yang konon memiliki mata terkutuk, memandang kepala Ganesa sehingga kepala si bayi terbakar menjadi abu. Dewa Wisnu datang menyelamatkan dan mengganti kepala yang lenyap dengan kepala gajah. Kisah lain dalam kitab Warahapurana mengatakan bahwa Ganesa tercipta secara langsung oleh tawa Siwa. Karena Siwa merasa Ganesa terlalu memikat perhatian, ia memberinya kepala gajah dan perut buncit.
Nama Ganesa pada mulanya adalah Ekadanta (satu gading), merujuk kepada gadingnya yang utuh hanya berjumlah satu, sedangkan yang lainnya patah. Beberapa citra menunjukkan ia sedang membawa patahan gadingnya. Hal penting di balik penampilan khusus ini dikandung dalam kitab Mudgalapurana, yang mengatakan bahwa nama penjelmaan Ganesa yang kedua adalah Ekadanta. Perut buncit Ganesa muncul sebagai ciri-ciri khusus pada kesenian patung sejak zaman dulu, yang ditaksir sejak periode Gupta (sekitar abad IV-VI). Penampilan ini amat penting, karena menurut Mudgalapurana, dua penjelmaan Ganesa yang berbeda memakai nama yang diambil dari Lambodara (perut buncit, atau, secara harfiah, perut bergelantungan) dan Mahodara (perut besar).
Kedua nama tersebut merupakan kata majemuk dalam bahasa Sanskerta yang melukiskan bagaimana keadaan perutnya. Kitab Brahmandapurana mengatakan bahwa Ganesa bernama Lambodara karena segala semesta (yaitu "telur alam semesta"; IAST: brahmanda) di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang ada di dalam tubuhnya. Jumlah lengan Ganesa bervariasi; wujudnya yang terkenal memiliki sekitar dua sampai enam belas lengan. Banyak penggambaran tentang Ganesa yang menampilkan ia bertangan empat, yang telah disebut dalam Purana dan ditetapkan sebagai wujud standar dalam beberapa kitab tentang ikonografi. Wujudnya pada masa awal memiliki dua lengan. Wujud dengan 14 dan 20 lengan muncul di India Tengah selama abad ke-9 dan abad ke-10. Ular adalah tampilan yang umum dalam penggambaran tentang Ganesa dan muncul dalam beragam bentuk.

Menurut Ganesapurana, Ganesa melilitkan ular Basuki di lehernya. Penggambaran lain tentang ular meliputi kegunaannya sebagai benang suci (IAST: yajnyopavita) yang dililitkan melingkari perut sebagai sabuk, dipegang di tangan, dililitkan di pergelangan kaki, atau dipakai sebagai mahkota.
Pada dahi Ganesa kemungkinan ada mata ketiga atau simbol sekte Siwa (Sanskerta: tilaka), yang berupa tiga garis mendatar. Ganeshapurana mengatakan bahwa tanda tilaka sama saja dengan bulan sabit pada dahi kepala. Wujud tertentu dari Ganesa yang disebut Bhalachandra (IAST: bhalacandra; "Bulan di dahi") memasukkan unsur penggambaran tersebut. Namun warna lain yang spesifik dihubungkan dengan wujud tertentu.
Beberapa contoh mengenai hubungan warna dengan gerakan meditasi tertentu dinyatakan dalam Sritattvanidhi, sebuah buku tentang ikonografi dalam Hinduisme. Sebagai contoh, putih dihubungkan dengan wujud Ganesa sebagai Heramba-Ganapati dan Rina-Mochana-Ganapati (Ganapati yang membebaskan dari belenggu). Ekadanta-Ganapati digambarkan berwarna biru selama bermeditasi dalam wujud itu.
Keberadaan Ganesa seperti yang tersimpan dalam di Museum Sonobudoyo tersebut membuktikan bahwa di tanah Jawa pernah melalui suatu periode bersejarah yaitu periode klasik yang didominasi oleh kebudayaan Hindu-Budha dan berakhir ketika Islam masuk ke tanah Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar