Rita Maya

Rita Maya

Sabtu, 03 Desember 2011

Coretan 4 Desember 2011

SASTRA INDONESIA


Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu(dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayuyang tinggal di Singapura.
PERIODESASI
Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
  • Angkatan Pujangga Lama
  • Angkatan Sastra Melayu Lama
  • Angkatan Balai Pustaka
  • Angkatan Pujangga Baru
  • Angkatan 1945
  • Angkatan 1950 - 1960-an
  • Angkatan 1966 - 1970-an
  • Angkatan 1980 - 1990-an
  • Angkatan Reformasi
  • Angkatan 2000-an


Rabu, 30 November 2011

Coretan 1 Desember 2011

Indonesian language




Indonesian (Bahasa Indonesia) is the official language of Indonesia. Indonesian is a normative form of the Riau Islands dialect of Malay, an Austronesian language which has been used as alingua franca in the Indonesian archipelago for centuries.
Indonesia is the fourth most populous nation in the world. Of its large population the number of people who fluently speak Indonesian is fast approaching 100%, thus making Indonesian one of the most widely spoken languages in the world.[1]
Most Indonesians, aside from speaking the national language, are often fluent in another regional language (examples include JavaneseMinangkabau and Sundanese) which are commonly used at home and within the local community. Most formal education, as well as nearly all national media and other forms of communication, are conducted in Indonesian. In East Timor, which was an Indonesian province from 1975 to 1999, Indonesian is recognised by the constitution as one of the two working languages (the other is English, alongside the official languages of Tetumand Portuguese).
The Indonesian name for the language is Bahasa Indonesia (literally "the language of Indonesia"). This term can sometimes still be found in written or spoken English. In addition, the language is sometimes referred to as "Bahasa" by English speakers, though this simply means "language" and thus does not technically specify the Indonesian language.

Rabu, 23 November 2011

Coretan 24 November 2011

mereka bukan benalu bukan??
ini untuk bersama? kenapa mereka seperti tidak peduli?
apa mereka tidak berpikir, bisa saja 'kan tega menghapus nama mereka dari daftar?!
tuli, buta,,,,,hati mereka!!!!

Selasa, 22 November 2011

Coretan 22 November 2011

Tips Mendidik Anak Cara Rasullulah

Salah satu amal yang tidak pernah terputus pahalanya sekalipun kita telah meninggalkan dunia ini adalah anak yang shaleh. Doa anak yang shaleh merupakan salah satu doa yang insya Allah pasti terkabul. Karenanya, orangtua harus mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, anak akan tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian rusak dan hancur yang pada gilirannya akan merugikan orangtua itu sendiri.
Sesungguhnya memang tidak mudah memikul beban untuk membesarkan anak hingga menjadi pribadi yang kita harapkan dapat meraih sukses dunia dan akhirat. Semua butuh kesabaran, kerja keras, keikhlasan, dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud menyederhanakan, berikut beberapa tips yang diaplikasikan oleh orangtua yang disarikan dari tata cara mendidik anak ala Rasulullah Saw.
1. Menanamkan Nilai-nilai Ketauhidan
Mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Selain itu, orangtua harus menekankan bahwa setiap langkah manusia selalu dalam pengawasan Allah Swt. dan penerapan konsep tersebut adalah dengan berusaha menaati peraturan dan menjauhi larangan-Nya. Terlebih dahulu, orangtua selaku guru (pertama) bagi anak-anaknya harus mampu menyesuaikan tingkah lakunya dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Ini adalah pendidikan yang paling urgen di atas hal-hal penting lainnya.
2. Menjadi Sahabat dan Mendidik dengan Keteladanan
Setiap anak akan belajar dari lingkungannya dan dalam hal ini lingkungan keluarga akan sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya. Orang-orang di sekelilingnya akan menjadi model dan contoh dalam bersikap. Sudah selayaknyalah orangtua memberi keteladanan kepada anak-anaknya. Para orangtua sebaiknya memberikan contoh yang baik sesuai dengan nasihat dan ucapannya kepada para anaknya. Akan sangat lucu jika yang disampaikan orangtua kepada anak-anaknya ternyata tidak dilakukan oleh orangtua itu sendiri. Dalam Islam, keteladanan dari orangtua sangat menentukan terlebih di zaman sekarang media tontonan tidak dapat diharapkan menjadi contoh yang baik bagi pembentukan akhlak anak-anak muslim.
3. Mendidik dengan Kebiasaan
Suatu kebaikan harus dimulai dengan pembiasaan. Anak harus dibiasakan bangun pagi agar mereka gemar melaksanakan shalat Subuh. Anak harus dibiasakan ke masjid agar mereka gemar melakukan berbagai ritual ibadah di masjid. Pembiasaan itu harus dimulai sejak dini, bahkan pembiasaan membaca Al-Quran pun bisa dimulai sejak dalam kandungan. Pembiasaan shalat pada anak harus sudah dimulai sejak anak berumur tujuh tahun.
4. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Anak
Sebagai upaya menumbuhkan rasa percaya diri anak, Rasulullah Saw. menggunakan beberapa cara berikut. Saat sedang berpuasa, Rasulullah mengajak anak-anak bermain sehingga siang yang panjang terasa cepat. Anak-anak akan menyongsong waktu berbuka dengan gembira. Hal ini juga membuat anak memiliki kepercayaan diri sehingga sanggup berpuasa sehari penuh. Sering membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, resepsi, atau bersilaturahim ke rumah saudara sebagai upaya menumbuhkan kepercayaan diri sosialnya. Mengajari Al-Quran dan As-Sunnah serta menceritakan sirah nabi untuk meningkatkan kepercayaan diri ilmiahnya. Menanamkan kebiasaan berjual-beli untuk meningkatkan kepercayaan diri anak terkait ekonomi dan bisnis. Di samping itu, sejak dini anak akan terlatih mandiri secara ekonomi.
5. Memotivasinya Anak Berbuat Baik
Seorang anak, meski kecil, juga terdiri dari jasad dan hati. Mereka dilahirkan dalam keadaan bersih dan suci sehingga hatinya yang putih dan lembut itu pun akan mudah tersentuh dengan kata-kata yang hikmah. Anak-anak, terutama pada usia emas (golden age), cenderung lebih mudah tersentuh oleh motivasi ketimbang ancaman. Karenanya, hendaknya orangtua tidak mengandalkan ancaman untuk mendidik buah hati. Ketimbang mengancam, lebih baik orangtua memotivasi anak dengan mengatakan bahwa kebaikan akan mendapat balasan surga dengan segala kenikmatannya. Itu pulalah yang dicontohkan oleh Rasulullah kepada kita ketika beliau mendidik para sahabat.
6. Sediakan Waktu untuk Makan Bersama Anak
Rasulullah Saw. senantiasa menyempatkan untuk makan bersama anak-anak. Cara tersebut akan mempererat keterikatan batin antara orangtua dan anaknya. Dengan begitu kita dapat meluruskan kembali berbagai kekeliruan yang mereka lakukan melalui dialog terbuka dan diskusi. Alangkah baiknya jika ibu dan bapak berkumpul dengan anak-anak ketika makan bersama sehingga mereka merasakan pentingnya peran kedua orangtuanya. Hal ini juga dapat mempermudah meresapnya segala nasihat tentang perilaku, keimanan, atau pendidikan.
7. Mendidik dengan Reward/Hadiah
Memberi hadiah adalah salah satu penghargaan yang dapat melunakkan hati anak sehingga mereka akan bersimpati kepada kita dan akhirnya mau melaksanakan nasihat yang kita berikan. Namun perlu diingat, tidak semua perbuatan baik anak harus dihargai dengan materi. Lakukan reward yang bervariasi, bisa dengan pujian, ciuman, belaian, uang, dan lain-lain.
8. Memilih Sekolah yang Islami
Saat anak menginjak usia sekolah, orangtua berperan dalam memilihkan sekolah, mengajarkan Al-Quran, mengembangkan pola pikir anak, memberikan data dan ilmu semaksimal mungkin. Meski anak sudah mulai sekolah (mendapatkan ilmu di sekolah), orangtua hendaklah selalu belajar tentang pendidikan anak karena semakin bertambah usia anak, maka akan semakin kompleks pula problem (pendidikan anak) yang harus kita hadapi.
9. Mendidik dengan Hukuman
Cara ini boleh dilakukan jika cara-cara di atas tidak berhasil. Memang di dalam Islam, menghukum diperbolehkan selama tidak berlebihan seperti sampai menyebabkan luka. Hukuman tersebut usahakan menimbulkan efek jera kepada anak agar ia tidak mengulangi perbuatannya. Akan tetapi harus diperhatikan adab-adabnya, jangan sampai berlebihan yang akhirnya akan membuat anak menjadi dendam.
10. Memahami Keadaan Anak Secara Baik dan Menggunakan Metode yang Tepat
Setiap anak memiliki karakter dan pribadi yang berbeda walaupun berasal dari orangtua yang sama. Cari metode yang tepat dan jitu sehingga anak dapat diarahkan dengan lebih mudah.

 

Senin, 21 November 2011

Coretan 22 November 2011

Emha Ainun Nadjib
Titik Nadir Demokrasi

Korupsi sebagai Kasus Penyakit Jiwa
Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari
pamong-pamong desa hingga yang paling atas.
Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir,
bahkan pun sampai di sekitar koper dan surban ratusan ribu para
calon haji.
Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit,
dan detik.
Korupsi menjadi salah satu "sahabat" sehari-hari kita. Korupsi
menjadi salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini,
bangsa yang selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesarbesarkan
dirinya ini.
Korupsi atas uang orang banyak.
Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.
Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah
langsung.
Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat
merasa "GR", tak tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah
atasannya rakyat.
Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsipprinsip
dasar kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturanaturan.
Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di
sel-sel dan jaringan otak mereka.
Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan
"petunjuk". Kegilaan nasional kita semua dalam menggunakan
kosakata "petunjuk"--tak lain tak bukan--adalah perbuatan takabur
kepada Tuhan, pemilik tunggal hidayah.
Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu tetapi tak
boleh ada dua atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka tak
diperlukan persatuan atau pun kesatuan.
Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai
korupsi atas kasunyatan yang lembut, yang amat.
Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara,
gelondongan kayu, sampai korupsi atas informasi mengenai para
nabi dan Tuhan.
Korupsi informasi tak hanya di koran-koran yang memasang jargon
maha indah di leher penampilannya.
Korupsi dari tingkat yang halus ringan dan hanya merugikan nilai itu
sendiri serta yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar-besaran
yang memotong usus nasib berjuta-juta orang.
Korupsi d kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, gubernur, di
rombongan kloter sekian di hotel-hotel Madinah, di batok kepala
orang-orang yang setiap saat dijunjung-junjung sebagai pemimpin--
sampai si terjunjung sampai percaya bahwa ia memang benar-benar
manusia yang tak pernah korup dan layak dijunjung-junjung, dipikul
dhuwur dan kelak dipendhem jero.
Korupsi tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan
bersama, ditutupi dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum
wewangian retorika dan excusing yang bisa didaftar berpuluh-puluh
dari berbagai sudut, sisi, dan disiplin.
Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari.
Menjadi "naluri alamiah" tradisi kebudayaan kita.
Menjadi makanan pokok sehari-hari.
Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak
melakukannya.
Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan
pribadi, maupun karena secara kolektif tak pernah ada jaminan
bahwa kalau seseorang tidak korup maka lainnya pun tidak.
Tentu saja kehidupan kita bukannya sedemikian gelap pekat dan tak
ada kebaikan, tak ada kejujuran atau kejernihan.
Tapi tulisan ini mengajak kita untuk bercermin.
Dan bercermin yang dimaksudkan bukanlah sejenis narsisisme: kita
mengagumi kegantengan dan kecantikan wajah kita.
Yang kita tatap di cermin terutama justru jerawat-jerawat kita.
Jangan khawatir, Anda tidak termasuk para koruptor, pada level
mana pun.
Anda orang jujur dan selalu menatap Tuhan berdiri tepat dihadapan
Anda setiap saat.
Anda orang yang selalu berdua dengan-Nya dalam kepatuhan dan
kejujuran.
Tuhan tidak Anda "letakkan" di samping, tidak Anda perlakukan
sebagai "pihak ketiga" sehingga Anda sebut "Ia"--dan bukan
"Engkau".
Tapi pandanglah wajah-wajah kami!
Lihatlah ornamen-ornamen jerawat korupsi dan ngembeng-nya wajah
korupsi di wajah kami.
Ya, kami-kami yang pejabat tinggi maupun pejabat rendahan.
Kami-kami yang orang sentral maupun orang perifekal.
Kami-kami orang atas maupun orang bawah.
Kami-kami orang penting maupun orang tak penting.
Kami-kami para pemerintah maupun pejuang kepentingan rakyat.
Kami-kami para aktivis, seniman, intelektual, LSM, penyangga
demokrasi.
Kami-kami semua, memiliki kadar, sifat dan wilayah korupsi ini?
Mau diilmiah-ilmiahkan dan diakademis-akademiskan bagaimana
lagi?
Mau dianalisis kayak apa lagi korupsi ini: "makhluk" bikinan manusia
yang jauh lebih besar dan jauh lebih kuat dbanding manusia ini?
Mau dipandang dari macam-macam sudut-sudut pandang dan sisisisi
penilaian sampai berapa dekade sejarah lagi.
Sudut sistem. Sudut budaya. Sudut antropologi.
Atau segala macam latarbelakang yang sebelah mana lagi yang
akan kita papar-paparkan demi agar kita tampak serius mengurusi
dan memprihatinkan masalah korupsi--untuk kemudian kita
kecapekan karena tema satu ini tak pernah usai, tak makin mereda,
membosankan untuk dipersoalkan namun menikmatkan untuk terus
dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Atau bertanya apakah engkau, wahai Emha, sedang marah-marah
oleh berita tentang korupsi dan korupsi dan korupsi? Padahal
korupsi dan korupsi dan korupsi--yang dibeberkan, yang diurus, yang
dibawa ke altar pengadilan--itu sesungguhnya hanya sepersekian
persen dari realitas yang sebenarnya dari korupsi dan korupsi dan
korupsi?
Emha menjawab: Tidak. Ambillah dunia seluruhnya, genggam di
tanganmu, kepalkan, padatkan seluruh harta dunia ini, ngangakan
mulutmu, masukkan padatan itu, telanlah, suruh ia mengembara di
ususmu yang melingkar-lingkar, kemudian aku doakan: duburmu
tidak sobek karena itu.
Ambillah negara ini, tanah ini, tambang ini, aset ini, akses ini, modal
ini, perusahaan ini, hutan ini, gedung-gedung ini, nurani rakyatmu ini-
-apapun saja, ambillah.
Ambillah, monopolilah, curilah, rampoklah, begallah. Dan aku tak
punya urusan pribadi dengan semua itu. Aku tak punya kepentingan
pribadi terhadap itu semua.
Bertengkarlah manusia.
Bersainglah pembesar-pembesar.
Sikut-sikutanlah kakap-kakap.
Sabot-menyabotlah kalian kaum raksasa. Aku tak punya urusan
pribadi dengan itu semua. Caploklah planet bumi ini, kluwungilah
tujuh samudera, rendamlah badanmu di kawah-kawah gunung.
Jaringlah waktu, zaman, kurun. Cengkeramlah kukumu hinga ke
1998, 2003, dan nyanyikan lagu penyair romantik "Aku ingin hidup
seribu tahun lagi!"
Itu semua tak menyedihkanku. Tak membuat diriku prihatin atau
berang. "Aku pribadi" tak punya urusan dengan keserakahan apapun
di sekelilingku. Adapun kalau engkau mendengarkan ada semacam
keprihatinan, kemarahan atau kesedihan--itu tak berasal dari "diri
pribadi"-ku melainkan dari "diri sosial".
"Diri pribadi"-ku abadi hingga ke Tuhan. "Diri sosial"-ku terbatas:
kalau engkau tiba pada tahap di mana Tuhan mengalungkan
tanganmu sendiri di lehermu, sambil menutup mata, hati, dan
telingamu, serta membuatmu "tak bisa kembali"--maka diri pribadiku
akan tertawa keras-keras karena diri pribadi itu diberi hak oleh
Tuhan untuk bersikap acuh dan meninggalkan segala kebodohan,
segala ketegangan dan penyakit jiwa manusia di muka bumi.
Orang yang capek-capek menghabiskan hidupnya untuk hanya
mencari harta, memeras enerjinya untuk menyabet uang siang dan
malam, serta yang menjual harga kemanusiaannya untuk maling hak
orang lain alias melakukan korupsi--tak ada julukan lain kecuali,
bodoh, tegang, dan sakit jiwa.
Ilmu pengetahuannya tentang dirinya, tentang manusia, tentang
dunia, harta, serta tentang hidup dan mati--mengalami kekeliruan
dan ketidakilmiahan secara mendasar. Ia sangat tegang terhadap
segala yang sudah dimilikinya, yang akan dimilikinya, yang bisa
dimilikinya, yang tak bisa dimilikinya, serta yang ingin dimilikinya.
Itu membuatnya sakit jiwa. Dan merusak negara dan rakyatnya.
Ainun Nadjib, Emha. 1999 (Cet. Ke-2). Titik Nadir Demokrasi, Kesunyian Manusia dalam Negara.
Yogyakarta: Penerbit Zaituna.Hal.229--235.

Minggu, 20 November 2011

Coretan 21 November 2011

Pengertian Membaca Cepat
Membaca cepat adalah perpaduan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitif seseorang dalam membaca. Membaca cepat merupakan perpaduan antara kecepatan membaca dengan pemahaman isi bacaan. Kecepatan membaca yang seseorang harus seiring dengan kecepatan memahami bahan bacaan yang telah dibaca.
Ketika kita membaca cepat suatu bacaan, tujuan sebenarnya bukan untuk mencari kata dan gambar secepat mungkin, namun untuk mengidentifikasi dan memahami makna dari bacaan tersebut seefisien mungkin dan kemudian mentransfer informasi ini kedalam memori jangka panjang dalam otak kita. Kemampuan membaca cepat merupakan keterampilan memilih isi bacaan yang harus dibaca sesuai dengan tujuan, yang ada relevansinya dengan pembaca tanpa membuang-buang waktu untuk menekuni bagian-bagian lain yang tidak diperlukan.
Dalam membaca cepat terkandung di dalamnya pemahaman yang cepat pula. Pemahaman inilah yang diperioritaskan dalam kegiatan membaca cepat, bukan kecepatan. Akan tetapi, tidak berarti bahwa membaca lambat akan meningkatkan pemahaman, bahkan orang yang biasa membaca lambat untuk mengerti suatu bacaan akan dapat mengambil manfaat yang besar dengan membaca cepat. Sebagaimana pengendara mobil, seorang pembaca yang baik akan mengatur kecepatannya dan memilih jalan terbaik untuk mencapai tujuannya. Kecepatan membaca seseorang sangat tergantung pada materi dan tujuan membaca, dan sejauh mana keakraban pembaca dengan materi bacaan.
Media Berlatih Membaca Cepat
Dalam Kegiatan Belajaran Mengajar (KBM), siswa selalu berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru melalui proses pembelajaran. Lingkungan belajar tersebut meliputi tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, dan metodologi pembelajaran. Dalam metodologi pembelajaran, ada dua aspek yang paling menonjol, yaitu metode pembelajaran dan media pembelajaran sebagai alat bantu pembelajaraan.
Media yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca cepat siswa bisa menggunakan transparansi yang dibantu dengan OHP, bisa juga dengan menggunakan software membaca cepat. Media ini memiliki manfaat antara lain (1) pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa, (2) materi pembelajaran lebih jelas maknannya sehingga siswa lebih menudah memahami, (3) metodologi pembelajaran lebih bervariasi, dan (4) pembelajaran terfokus kepada siswa dengan melakukan berbagai aktivitas.
Media pembelajaran membaca cepat yang dapat digunakan dalam meningkatkan kemampuan membaca cepat terbagi atas dua jenis, yaitu (1) media pembelajaran membaca cepat untuk pelatihan awal, dan (2) media pembelajaran membaca cepat untuk pengukuran. Kedua jenis media ini diuraikan secara rinci sebagai berikut.
1) Media Pelatihan Awal
Media pembelajaran membaca cepat yang digunakan untuk pelatihan awal memiliki berbagai variasi. Variasi media pelatihan membaca cepat ini bertujuan untuk (1) melatih gerak mata siswa (fiksasi), (2) melatih konsentrasi, (3) melatih persepsi siswa, dan (4) melatih daya ingat. Keempat variasi media pelatihan awal ini disampaikan kepada siswa sebelum dilakukan pengukuran membaca cepat siswa secara utuh.
Media pelatihan awal membaca cepat yang bertujuan untuk melatih gerak mata memiliki dua variasi. Media pertama berupa dua lingkaran kecil dalam satu garis horizon yang memiliki jarak yang berbeda dalam setiap barisnya. Siswa perlu melihat lingkaran tersebut secara cepat tanpa menggerakkan kepala.
Media yang kedua berupa urutan angka maupun abjad yang diacak dalam sebuah kotak (persegi panjang). Di dalam persegi panjang berikut terdapat dua puluh enam huruf (A – Z) dan angka 1 – 50. Siswa perlu menarik secepat mungkin garis yang menghubungkan huruf atau angka yang ada secara berurutan dengan cepat dan dicatat waktu tempuhnya dengan mengurangi waktu selesai baca dengan waktu mulai baca.
Media pelatihan awal membaca cepat yang bertujuan untuk melatih konsentrasi siswa berupa urutan gambar yang disusun secara vertikal dengan jumlah yang berbeda. Bentuk gambar yang disusun secara vertikal tersebut disesuaikan dengan kebutuhan siswa atau yang biasa ditemui siswa di sekolah. Tanpa menggunakan jari, siswa menghitung jumlah gambar dengan durasi waktu tidak lebih dari 30 detik dan menuliskan pada lingkaran yang tersedia.
Media pelatihan awal lainnya bertujuan untuk melatih persepsi siswa. Media ini berbentuk deretan kata yang disusun secara horisontal maupun vertikal. Siswa mencoret atau berusaha menemukan kata yang sama dengan kata kunci yang telah ditentukan.             Selanjutnya, media pelatihan awal yang bertujuan untuk melatih daya ingat siswa berupa serangkaian gambar maupun angka yang ditunjukkan secara cepat (tidak lebih dari 30 detik) kepada siswa, selanjutnya siswa menggambarkan kembali.
Dari berbagai media pelatihan awal tersebut diharapkan siswa memiliki kemampuan dalam menggerakkan mata dan memiliki daya ingat yang cukup baik.
Media Pengukuran Kemampuan Membaca Cepat Siswa
Sesesorang yang sedang membaca cepat sebuah bacaan hendaknya dapat mengondisikan otak bekerja lebih cepat sehingga konsentrasi akan lebih membaik secara otomatis. Dengan demikian, kemampuan membaca cepat merupakan kemampuan seseorang dalam memadukan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitifnya atau pemahaman isi bacaan melalui menjawab pertanyan-pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan.
Di negara-negara maju, khususnya Amerika, telah dilakukan penelitian tentang kecepatan membaca siswa dalam setiap jenjang pendidikan. Kecepatan membaca siswa Amerika untuk setingkat SD/Diniyah di Indonesia adalah 140 kpm, setingkat SLTP/MTs adalah 140 s.d 175 kpm, setingkat SMA/SMK/MA adalah 175 s.d 245 kpm, dan setingkat perguruan tinggi 245 s.d 280 kpm. Untuk kaum profesional, kecepatan membacanya bisa mencapai 500 kpm.
Untuk mengukur kemampuan membaca cepat siswa, ada dua aspek yang perlu diukur, yaitu aspek kecepatan membaca dan aspek pemahaman. Aspek kecepatan membaca dapat diukur dengan jumlah kata dalam bacaan yang dibaca dibagi dengan selisih antara waktu akhir baca dengan awal baca, sedangkan pemahaman dihitung dengan membagi skor yang diperoleh siswa dengan skor maksimal yang bisa didapat siswa. Hasil perkalian antara kecepatan membaca dengan pemahaman menghasilkan kecepatan efektif membaca (KEM). Secara konkret, rumus kecepatan efektif membaca (KEM) adalah sebagai berikut.
(1)   K x    B = …… kpm (kata permenit)
Wm      Si atau
(2)   K.   (60) x    B = ……. Kpm (kata permenit)
Wd                 Si
Keterangan:
K : jumlah kata yang dibaca                  B : Skor yang diperoleh siswa
Wn: waktu baca dalam satuan menit      Si : Skor ideal atau skor maksimal
Wd: waktu baca dalam satuan detik       kpm : kata perminit
Media pembelajaran untuk mengukur kemampuan kecepatan membaca cepat siswa tentunya berupa sebuah bacaan dan pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur pemahaman siswa. Bacaan dapat diambil dari berbagai media informasi, baik media elektronik maupun nonelektronik.
Media pembelajaran membaca cepat yang bersifat manual ini tentunya membutuhkan tenaga lebih dari para guru, terutama dalam mengoreksi hasil pemahaman siswa. Hal ini bisa diatasi dengan penggunaan software membaca cepat. Software ini telah penulis buat dan sampai saat ini belum penulis hak patentkan, tetapi sudah penulis uji cobakan.
Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Cepat
Kemampuan membaca cepat merupakan kemampuan seseorang dalam memadukan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitifnya atau pemahaman isi bacaan melalui menjawab pertanyan-pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan. Untuk itu, untuk meningkatkan kemampuan membaca cepat, seseorang harus dapat meningkatkan kemampuan motorik dan kemampuan kognitifnya.
Kemampuan motorik dapat ditingkatkan dengan selalu berlatih viksasi. Pelatihan viksasi dapat dilakukan dengan cara: (1) senam mata yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik (melihat lingkaran hitam, mengurutkan abjad dan angka, membaca per kelompok kata, mendata kata yang sama), (2) meningkatkan kemampuan kognitif dengan melatih daya ingat (mengingat angka, mengingat gambar), dan (3) terus berlatih membaca cepat (membaca bacaan dan menjawab pertanyaan).
Dengan demikian, tidak ada kata lain untuk meningkatkan kemampuan membaca seseorang selain berlatih terus menerus dan menjadikan kegiatan membaca sebauh budaya, bukan dipaksakan. Tanpa membaca kita akan menjadi orang yang kerdil, buta pengetahuan luar, dan kurang dapat bersosialisasi. Ingat, informasi terus berjalan dengan derasnya, sedangkan waktu kita tetap dapat setiap harinya, yaitu 24 jam per hari. Untuk itu, tingkatkan kemampuan membaca cepat Anda.

Coretan 20 November 2011

Borobudur, the Biggest Buddhist Temple in the Ninth Century

Who does not know Borobudur? This Buddhist temple has 1460 relief panels and 504 Buddha effigies in its complex. Millions of people are eager to visit this building as one of the World Wonder Heritages. It is not surprising since architecturally and functionally, as the place for Buddhists to say their prayer, Borobudur is attractive.
Borobudur was built by King Samaratungga, one of the kings of Old Mataram Kingdom, the descendant of Sailendra dynasty. Based on Kayumwungan inscription, an Indonesian named Hudaya Kandahjaya revealed that Borobudur was a place for praying that was completed to be built on 26 May 824, almost one hundred years from the time the construction was begun. The name of Borobudur, as some people say, means a mountain having terraces (budhara), while other says that Borobudur means monastery on the high place.
Borobudur is constructed as a ten-terraces building. The height before being renovated was 42 meters and 34.5 meters after the renovation because the lowest level was used as supporting base. The first six terraces are in square form, two upper terraces are in circular form, and on top of them is the terrace where Buddha statue is located facing westward. Each terrace symbolizes the stage of human life. In line with of Buddha Mahayana, anyone who intends to reach the level of Buddha's must go through each of those life stages.
The base of Borobudur, called Kamadhatu, symbolizes human being that are still bound by lust. The upper four stories are called Rupadhatu symbolizing human beings that have set themselves free from lust but are still bound to appearance and shape. On this terrace, Buddha effigies are placed in open space; while the other upper three terraces where Buddha effigies are confined in domes with wholes are called Arupadhatu, symbolizing human beings that have been free from lust, appearance and shape. The top part that is called Arupa symbolizes nirvana, where Buddha is residing.
Each terrace has beautiful relief panels showing how skillful the sculptors were. In order to understand the sequence of the stories on the relief panels, you have to walk clockwise from the entrance of the temple. The relief panels tell the legendary story of Ramayana. Besides, there are relief panels describing the condition of the society by that time; for example, relief of farmers' activity reflecting the advance of agriculture system and relief of sailing boat representing the advance of navigation in Bergotta (Semarang).
All relief panels in Borobudur temple reflect Buddha's teachings. For the reason, this temple functions as educating medium for those who want to learn Buddhism. YogYES suggests that you walk through each narrow passage in Borobudur in order for you to know the philosophy of Buddhism. Atisha, a Buddhist from India in the tenth century once visited this temple that was built 3 centuries before Angkor Wat in Cambodia and 4 centuries before the Grand Cathedrals in Europe.
Thanks to visiting Borobudur and having supply of Buddha teaching script from Serlingpa (King of Sriwijaya), Atisha was able to improve Buddha's teachings after his return to India and he built a religion institution, Vikramasila Buddhism. Later he became the leader of Vikramasila monastery and taught Tibetans of practicing Dharma. Six scripts from Serlingpa were then summarized as the core of the teaching called "The Lamp for the Path to Enlightenment" or well known as Bodhipathapradipa.
A question about Borobudur that is still unanswered by far is how the condition around the temple was at the beginning of its foundation and why at the time of it's finding the temple was buried. Some hypotheses claim that Borobudur in its initial foundation was surrounded by swamps and it was buried because of Merapi explosion. It was based on Kalkutta inscription with the writing 'Amawa' that means sea of milk. The Sanskrit word was used to describe the occurrence of disaster. The sea of milk was then translated into Merapi lava. Some others say that Borobudur was buried by cold lava of Merapi Mountain.
With the existing greatness and mystery, it makes sense if many people put Borobudur in their agenda as a place worth visiting in their lives. Besides enjoying the temple, you may take a walk around the surrounding villages such as Karanganyar and Wanurejo. You can also get to the top of Kendil stone where you can enjoy Borobudur and the surrounding scenery. Please visit Borobudur temple right away...

Coretan 20 November 2011

Prambanan, the Most Beautiful Hindu Temple in the World

Prambanan temple is extraordinarily beautiful building constructed in the tenth century during the reigns of two kings namely Rakai Pikatan and Rakai Balitung. Soaring up to 47 meters (5 meters higher than Borobudur temple), the foundation of this temple has fulfilled the desire of the founder to show Hindu triumph in Java Island. This temple is located 17 kilometers from the city center, among an area that now functions as beautiful park.
There is a legend that Javanese people always tell about this temple. As the story tells, there was a man named Bandung Bondowoso who loved Roro Jonggrang. To refuse his love, Jonggrang asked Bondowoso to make her a temple with 1,000 statues only in one-night time. The request was nearly fulfilled when Jonggrang asked the villagers to pound rice and to set a fire in order to look like morning had broken. Feeling to be cheated, Bondowoso who only completed 999 statues cursed Jonggrang to be the thousandth statue.
Prambanan temple has three main temples in the primary yard, namely Vishnu, Brahma, and Shiva temples. Those three temples are symbols of Trimurti in Hindu belief. All of them face to the east. Each main temple has accompanying temple facing to the west, namely Nandini for Shiva, Angsa for Brahma, and Garuda for Vishnu. Besides, there are 2 flank temples, 4 kelir temples and 4 corner temples. In the second area, there are 224 temples.
Entering Shiva temple, the highest temple and is located in the middle, you will find four rooms. One main room contains Shiva statue, while the other three rooms contain the statues of Durga (Shiva's wife), Agastya (Shiva's teacher), and Ganesha (Shiva's son). Durga statue is said to be the statue of Roro Jonggrang in the above legend.
In Vishnu temple, to the north of Shiva temple, you will find only one room with Vishnu statue in it. In Brahma temple, to the south of Shiva temple, you find only room as well with Brahma statue in it.
Quite attractive accompanying temple is Garuda temple that is located close to Vishnu temple. This temple keeps a story of half-bird human being named Garuda. Garuda is a mystical bird in Hindu mythology. The figure is of golden body, white face, red wings, with the beak and wings similar to eagle's. It is assumed that the figure is Hindu adaptation of Bennu (means 'rises' or 'shines') that is associated with the god of the Sun or Re in Old Egypt mythology or Phoenix in Old Greek mythology. Garuda succeeded in saving his mother from the curse of Aruna (Garuda's handicapped brother) by stealing Tirta Amerta (the sacred water of the gods).
Its ability to save her mother made many people admire it to the present time and it is used for various purposes. Indonesia uses the bird as the symbol of the country. Other country using the same symbol is Thailand, with the same reason but different form adaptation and appearance. In Thailand, Garuda is known as Krut or Pha Krut.
Prambanan also has panels of relief describing the story of Ramayana. Experts say that the relief is similar to the story of Ramayana that is told orally from generation to generation. Another interesting relief is Kalpataru tree that - in Hindu - the tree is considered tree of life, eternity and environment harmony. In Prambanan, relief of Kalpataru tree is described as flanking a lion. The presence of this tree makes experts consider that Javanese society in the ninth century had wisdom to manage its environment.
Just like Garuda, Kalpataru tree is also used for various purposes. In Indonesia, Kalpataru is used as the logo of Indonesian Environment Institution. Some intellectuals in Bali even develop "Tri Hita Karana" concept for environment conservation by seeing Kalpataru relief in this temple. This tree of life is also seen in the gunungan (the puppet used as an opening of traditional puppet show or wayang kulit). This proves that relief panels in Prambanan have been widely known throughout the world.
If you see the relief in detail, you will see many birds on them; they are real birds as we can see on the earth right now. Relief panels of such birds are so natural that biologists can identify their genus. One of them is the relief of the Yellow-Crest Parrot (Cacatua sulphurea) that cites unanswered question. The reason is that the bird only exists in Masakambing Island, an island in the middle of Java Sea. Then, did the bird exist in Yogyakarta? No body has succeeded in revealing the mystery.
You can discover many more things in Prambanan. You can see relief of Wiracarita Ramayana based on oral tradition. If you feel tired of enjoying the relief, you can take a rest in the beautiful garden in the complex. Since 18 September 2006, you can enter zone 1 area of Prambanan temple. The damage caused by the earthquake on 27 May 2006 is being reconstructed. Please come and enjoy Prambanan temple.

Coretan 20 November 2011


PESONA WAJAH GUNUNGKIDUL
Kabupaten Gunungkidul adalah kabupaten yang berada di ujung selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bebarapa tahun terakhir kabupaten ini semakin gagah mengepakan sayap-sayap kesenian, kebudayaan, dan pariwisatanya. Sejumlah objek wisata di Gunungkidul bahkan menjadi tujuan utama wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Kesenian khas dari daerah penghasil ketela pohon ini adalah bersih desa atau istilah di masyarakat Gunungkidul disebut Rasulan. Hampir setiap desa di setiap tahunnya mengadakan acara Rasulan dengan menghadirkan pagelaran wayang kulit, kethoprak, ledhek (tayub), reog, campursari atau kesenian lainnya  yang juga dimeriahkan pasar malam dan berbagai perlombaan pada waktu acara tersebut dilaksanakan. Sehingga tak jarang acara Rasulan berlangsung 4-7 hari dan menelan biaya yang tidak sedikit. Selain biaya, warga juga harus menyediakan masakan-masakan khas Rasulan seperti nasi uduk, rempeyek, sayur cabai, abon atau srondeng, gudheg , mie, daging ayam atau telur untuk ingkung dan sebagainya. Tradisi besar ini biasanya dilaksanakan setelah musim panen yang kedua atau sesudah musim kemarau. Biaya untuk melaksanakan tradisi ini berkisar 30 juta-40 juta. Pada hakikatnya, Rasulan adalah wujud permohonan kepada Tuhan agar kehidupannya diberi keselamatan dan kemudahan mencari rezeki dan juga sekaligus sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas pemberian hasil panen pada tahun itu.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa termasuk Gunungkidul. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden yang umumnya mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ).
Kesenian yang tak kalah terkenal di Gunungkidul adalah Jathilan. Jathilan merupakan kesenian yang menyatukan antara unsur gerakan tari dengan magis. Kesenian yang juga sering disebut dengan nama jaran kepang atau jaran dor ini dapat dijumpai di desa-desa di Jawa, tak hanya di DIY. Pagelaran ini dimulai dengan tari-tarian. Kemudian para penari bak kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Di saat para penari bergerak mengikuti irama musik dari jenis alat musik jenis alat gamelan seperti saron, kendang, dan gong ini, terdapat pemain lain yang mengawasi dengan memegang pecut atau cemeti. Para penari ini juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang tak dapat dinalar oleh akal sehat, misalnya kebal terhadap senjata tajam. Kesenian berikutnya yang sangat memesona adalah reog yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi Rasulan. Reog Gunungkidul biasanya hanya berupa tarian pertempuran antara kelompok kiri dan kanan: hitam dan putih atau merah dan putih yang ditambah dengan adegan warok, bujangganong, kuda lumping, dan penthul-tembem. Musik yang digunakan adalah gamelan dengan komposisi yang amat sederhana, hanya mengandalkan kendang, kenong-kempul dan gong, malam itu ditambah drum atau bedug untuk lebih menimbulkan efek berdegub, seolah panggilan bagi seluruh warga desa untuk menyatu.
Kekhasan Gunungkidul yang membedakannya dengan kabupaten di DIY adalah kesenian musik campursari. Musik campursari menggunakan bahasa jawa dan diiringi alat-alat musik gamelan dengan instrumen langgam dan gending, sehingga dapat dikombinasi dengan instrumen musik barat, atau sebaliknya. Selain, campursari juga dikenal kesenian musik yang mencerminkan rakyat Gunungkidul yang sederhana, ulet, dan dekat dengan alam, yaitu kesenian Rinding Gumbeng yang menyajikan alunan musik khas, indah, melodius, serta dinamis nan ekspresif. Alat musik rinding dan gumbeng adalah seperangkat alat musik yang dibuat dari bahan bambu.
Gunungkidul juga menyuguhkan wisata budaya yang menakjubkan, seperti upacara adat Cing-cing Goling, yaitu upacara selamatan yang berskala besar. Keperluan untuk upacara tersebut misalnya pembuatan tempat upacara, pembelian ayam yang berkisar 500-800 ekor untuk keperluan upacara, pembelian berbagai sesaji, pementasan berbagai kesenian adat berupa cerita rakyat dalam bentuk fragmen yang berkisah tentang cerita pelarian orang-orang dari Kerajaan Majapahit (pada salah satu adegan terlihat puluhan orang berlarian menginjak-injak tanaman pertanian yang terdapat di sekitar bendungan. Berdasarkan kepercayaan masyarakat, tanaman yang diinjak-injak saat berlangsung Upacara Cing-cing Goling itu akan bertambah subur), dan pementasan Tari Cing-cing Goling. Perayaan Upacara Cing-cing Goling digelar di Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul atau 8 km di sebelah timur Kota Wonosari.
Selain sebagai daerah yang sarat dengan nilai seni dan budya, Gunungkidul adalah daerah yang berbatasan langsung dengan laut selatan, sehingga mempunyai obyek wisata pantai handal yang melimpah. Keindahan kecup laut dan daratan menjadi potensi pariwisata Gunung kidul yang akan menjadi penyumbang bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Obyek wisata pantai di Gunungkidul ini mencapai 46 pantai, yang tersebar di kecamatan Tepus, Tanjungsari, Saptosari, Panggang, Girisubo, dan Purwosari.
Dengan berbagai keistimewaan yang dimiliki Gunungkidul, tak salah jika Gunungkidul pun ikut meningkatkan minat wisatawan untuk berkunjung ke Yogyakarta sebagai kota wisata kedua di Indonesia setelah Bali. (Rita Maya)
                  
                 Rinding Gumbeng                              Jathilan                                  Campursari
      
       Tradisi Rasulan          Reog Gunungkidul             Wayang Kulit

Selasa, 15 November 2011

Coretan 15 November 2011

MENGKRITISI SEBUAH KARYA SASTRA
MELALUI EMPAT PENDEKATAN UTAMA
Nama : Oratna Sembiring
Data Karya Sastra:
Novel Berjudul : “Biola Tak Berdawai”
Pengarang : Seno Gumira Ajidharma
(Adaptasi Film BiolaTak Berdawai)
Penulis Skenario Sekar Ayu Asmara
Tahun Terbit : 2004
Tebal buku : 198 halaman
PENGANTAR
Secara garis besar, berbagai macam pendekatan terhadap karya sastra yang berkembang dalam studi sastra, menurut Abram (Wiyatmi, 2006:78), terdiri dari empat pendekatan utama, yaitu pendekatan (1) mimetik, (2) ekspresif, (3) pragmatik, (4) objektif. Keempat pendekatan tersebut kemudian mengalami perkembangan hingga muncul berbagai pendekatan seperti pendekatan struktural, semiotik, sosiologi sastra, resepsi sastra, psikologi sastra, dan moral.
Lewat makalah ini penulis akan mendekati Novel “Biola Tak Berdawai” Karya Seno Gumira Ajidharma dengan keempat pendekatan utama tersebut. Pengkajian diawali dengan mengetengahkan sinopsis, teori tiap pendekatan dan kemudian “membedah” novel dengan pendekatan yang bersangkutan.
SINOPSIS
Renjani meninggalkan Jakarta, untuk mengubur masa lalunya dan keinginannya untuk menjadi penari balet. Ia pindah ke Yogya dan mengabdikan hidupnya dengan merawat anak-anak tuna daksa yang tidak dikehendaki orang tuanya. Ia dibantu oleh seorang dokter berumur 40 tahun. Mbak Wid. Dewa 8 tahun, menjadi anak kesayangan Renjani dan diperlakukan sebagai anak normal. Renjani terkejut melihat reaksi Dewa, ketika iseng-iseng menari balet.
Hal ini yang membuatnya membawa Dewa ke resital biola. Disitu ia berjumpa dengan Bhisma, mahasiswa musik, 23 tahun. Bhisma tertarik pasa penampilan Renjani dari situlah persahabatan terjalin.
1. PENDEKATAN MIMETIK
Karya sastra tidak lahir dari situasi kosong budaya (Teew, 1980:11). Novel ini didekati secara mimetik. Pendekatan mimetic memiliki pandangan bahwa karya sastra sebagai tiruan alam, kehidupan atau dunia ide. Bagian refleksi sosial budaya menjadi bahan kajian pendekatan ini. Berikut ini akan disajikan synopsis, analisis dan penilaian terhadap novel “Biola Tak Berdawai”. Sebuah novel yang ditulis oleh Seno Gumira Adjidharma yang sebelumnya berbentuk Film yang skenarionya ditulis oleh sekar Ayu Asmara. Berikut ini lewat pendekatan mimesis kita akan meninjau apakah ada kesesuaian antara dunia nyata dengan dunia ide atau apakah karya ini merupakan cerminan dunia nyata.
TANGGAPAN
Latar realitas bagi novel ini kondisi Yogyakarta, lebih luas lagi Indonesia tahun 2002. Sebuah peradaban yang diwarnai dengan penurunan nilai-nilai moral. Ketika dunia diterjang arus globalisasi sekaligus dengan dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Berbagai bentuk pelanggaran menjadi menu harian berbagai media. Termasuk kasus-kasus pembuangan bayi menjadi liputan berita. Sering terjadi bayi-bayi tersebut sebagai hasil hubungan gelap. Ada juga bayi-bayi yang dibuang karena dianggap sebagai aib entah karena lahir cacat atau karena kelahirannya tidak diinginkan.
Tidak jarang juga terjadi pengguguran kandungan atau abortus. Secara etika moral dari saat pertama zigot sudah mempunyai identitas genetis. Semua yang dilakukan di dunia harus menyatakan bahwa dalam arti tertentu mereka beradaa pada saat pembuahan, walaupun embrio muda belum mempunyai identitas persona. (Bertens, 2003:114).
“Kamu buang anakmu?! Sinting kamu Renjani! Kamu gugurkan anakmu ya? Iya Renjani?! Iya?!” (hal 54).
Tokoh Renjani seorang sosok yang pernah menggugurkan kandungannya. Kendati bayi tak berdosa tersebut harus terbentuk akibat hasil perkosaan seharusnya sang bayi memiliki hak untuk hidup. Tetapi tidak terlalu mudah bagi Renjani menerima begitu saja bayi yang tidak diinginkannya itu berkembang dalam rahimnya. Demikianlah dalam kegalauan yang mendalam ia memilih mengakhiri kehidupan sang embrio dari rahimnya.
Moralitas menentang abortus demikian pendapat Soe Tjen marching dalam tulisannya yang bertajuk: “Aborsi, pro life atau pro choice” kompas, 7/7/2003 melibatkan diri dalam suatu diskusi aktual…Pembicaraan ini mengakibatkan pro dan kontra antara legalisir VS anti abortus. Masalahnya adalah apabila kehamilan tidak dikehendaki misalnya karena hasil perkosaan, si wanita tidak menginginkan kehamilannya, di sisi lain janin dalam kandungan juga mempunyai hak hidup. Maka timbullah polarisasi tajam antara pro-chice (pro pilihan) dan pro-life (pro kehidupan) (Bertens, 2004: 139).
Konflik ini diangkat oleh Sekar Ayu Asmara dalam Film Biola Tak Berdawai, yang akhirnya di Novelkan oleh Seno Gumirah Ajidharma.
Memang bayi Cempaka adalah bayi kesekian yang diletakkan di muka pintu pagar…tentu kita masih boleh terheran-heran, jika bayi-bayi tuna daksa dibuang karena keganjilan bentuk upanya, maka alasan membuang bayi yang bukan saja sehat, tetapi juga cantik, montok, dan membuat bahagia setiap orang yang memandangnya? Apakah pembuang bayi itu orang- orang miskin yang kurang pengetahuan? Sepanjang pengalaman pak Kliwon, hanya sekali terjadi da bayi diletakkan seorang pejalan kaki yang datang mengendap-endap di pagi buta. Selebihnya selalu diturunkan dari mobil, yang tidak jarang mewah, dan banyak juga yang nomornya dengan awalan B: mobil-mobil Jakarta. Bahkan Pak Kliwon merasa pernah mengenali wajah salah seorang dari mereka, sebagai wajah yang sering muncul di layer TV. (hal.25).
Fenomena lain diangkat dalam Biola Tak berdawai ini adalah maraknya pembuangan bayi-bayi tak berdosa. Ada yang dibuang di tempat sampah. Ada pula yang diletakkan di depan pintu panti asuhan. Fenomena memprihatinkan ini membawa sebuah kontras yang sangat jelas antara semangat cinta kasih dan ketidakpedulian dalam dalam setiap detil alur cerita novel ini.
Kesimpulan
Gambaran fenomena yang dimuat di dalam novel “Biola tak berdawai” tidak jauh dari realitas sosial yang terjadi saat ini. Hampir setiap hari media massa, baik berupa media cetak maupun televisi menayangkan kasus pembuangan bayi dan abortus. Pergaulan bebas dan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai hidup menjadi salah satu penyebab terjadinya pelanggaran ini.
Di sisi lain diantara keprihatinan yang kian memuncak masihkah ada insan-insan yang menghargai kehidupan seperti sosok Renjani? Renjani yang dulu pernah jatuh dalam pelanggaran pemusnahan sebuah hidup. Pengguguran. Kendati janin itu merupakan hasil perkosaan. Ketidakberdayaannya menerima kehidupan yang lain itu hadir dalam rahimnya membawanya pada suatu bentuk kehidupan yang lain. Yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.
Meninggalkan gegap-gempitanya hidup sebagai penari balet dan mengasingkan diri merangkul jiwa-jiwa tak berdaya, mendekap biola-biola tak berdawai hingga samara-samar bunyinya terdengar kerelung-relung hati terdalam seorang manusia yang berhati. Kontas antara cinta dan ketidakpedulian terpampang jelas dalam novel ini.
Satu hal yang terlalu ideal dalam novel ini adalah: totalitas seorang Renjani yang sudah sangat langka ditemukan pada zaman ini. Kalau pun itu ada pengabdian yang setotal ini hanya ada satu pribadi dalam satu dekade, misalnya: pengabdian penuh cinta Beata Theresia dari Calcutta yang berjuang untuk orang orang miskn dan penderita kusta di India. Totalitas seorang Renjani menjadi semacam bius penghilang rasa sakit atau peri penolong dari negeri dongeng pengantar tidur di saat dunia zaman ini semakin terkoyak oleh kaburnya penghayatan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai warisan leluhur kita.
2. PENDEKATAN EKSPRESIF
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam memandang dan mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan dan luapan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imaginasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. (Wiyatmi, 2006:82).
TANGGAPAN
Pendekatan ekspresif mengkaji sastra bertitik-tolak dari kehidupan pengarangnya. Ini berkaitan dengan latar belakang kehidupan, daerah kelahiran, latar belakang sosialnya, pendidikan, dan pengalaman yang pernah dilewatkannya. Dalam hal ini karya sastra dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang, gerak jiwa, pengembangan imajinasi, fantasi pengarang yang tertuang dalam karyanya.
Novel Biola Tak Berdawai tidak dapat dipisahkan dari dua pengaruh kehidupan dua orang besar Seno Gumira Adjidharma dan Sekar Ayu Asmara. Seno Gumira lahir di Boston, 19 Juni 1958. Adjidharma adalah seorang wartawan dan penulis serba bisa dari generasi baru dalam sastra Indonesia. Tak kurang dari 25 judul buku yang ditulis Seno, terdiri dari esai, cerpen, roma dan juga scenario drama dan film. Buku-buku karya Seno beberapa di antaranya yakni: Atas Nama Malam, Wisanggeni, Sang Buronan, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Biola tak berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja. Seno dikenal sebagai seorang penulis situasi di Timor Timor tempo dulu. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkannya dalam Trilogi buku Saksi Mata (Kumpulan Cerpen), Jazz, dan insiden (Roman) dan ketika Jurnalisme dibungkam, sastra Harus Bicara (kumpulan Esai). Seno juga dianugerahi sejumlah penghargaan, diantaranya South East Asia Write Award.
Sekar Ayu Asmara, adalah sosok kreatif yang enerjik. Lahir di Jakarta, dan pernah bermukim di Afganistan, Turki serta Belanda. Enerji kreatifnya telah muncul selama beberapa dasawarsa dalam bentuk dan dimensi yang berbeda-beda. Sekar pernah berkarir dalam dunia iklan, serta pernah menjadi komposer dan juga penulis lirik lagu untuk artis-artis papan atas. Ia juga tercatat sebagai pelukis yang telah berpameran tunggal. Di dunia penerbitan, buku untuk anak-anak berjudul Ondel-ondel dan Misteri Es Krim yang Hilang merupakan kaarya tulis pertamanya. Karir dalam dunia film, dimulai dengan menjadi produser dan sutradara sejumlah video klip dan program televisi. Tahun 2001, sekar terjun kedunia film menjadi menjadi produser dan produser musik untuk film cerita Ca-bau-kan. Tahun 2003, Sekar memulai debutnya sebagai penulis, produser dan sutraara untuk film karya fenomenal Biola tak Berdawai.
Novel Biola Tak Berdawai lahir dari curahan inspirasi dua tokoh besar yang aktif dalam kehidupan humanistik. Kedua tokoh ini memiliki pengalaman yang holistik dan menyeluruh. Mereka pernah hidup di beberapa benua. Dunia timur dan barat. Pengalaman intelek mereka juga luas. Tidak mengherankan bila karya yang mereka lahir ini sarat dengan muatan pendidikan.
3. PENDEKATAN PRAGMATIK
Pendekatan pragmatik mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, semakin tinggi nilai karya sastra tersebut (Wiyatmi, 2006:86).
TANGGAPAN
Saat kutelan makanan yang disuapkan ibuku.” Anak pintar, dan hanya anak-anak pintar seperti kamu yang boleh tinggal di sini.”Tapi mbak Wid, entah kenapa tersinggung dengan perhatian ibuku yang dianggapnya berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba meninggi. “Anak-anak yang dibuang orang tuanya.Anak-anak yang bikin malu keluarga. Anak-anak yang cacatnya dobel-dobel. Anak-anak yang umurnya tidak lama!” ibuku mengimbangi dengan perlahan. “ Sssst… mbak Wid pun bicara tentang diriku. “Duh Renjani, Renjani, Renjani… saya tahu kamu sangat sayang sama Dewa, tetapi anak itu mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa…” Kuperhatikan kedua perempuan itu. Renjani begitu nama ibuku, seperti selalu mencoba memaklumi Mbak Wid yang betapa pun seperti telah menyerahkan hidupnya demi bayi-bayi cacat di rumah asuh ibu Sejati (hlm.18).
Pada dasarnya novel ini sarat dengan nilai-nilai moral. Dewa sebgai pribadi autis dan tuna daksa secara fisik seorang cacat yang diyakini tidak memiliki kemampuan untuk mengerti bahasa komunikasi manusia normal. Dalam keberadaannya itu renjani tetap memperlakukan Dewa sebagai mana manusia normal. Ia patut dihargai sebagai manusia yang bermartabat.
Ketika kehidupan tidak dihargai lagi, ketika nilai-nilai moral dan semangat cinta kasih tercabik-cabik. Renjani hadir membawa inspirasi dan pengharapan bagi orng-orang yang tidak berdaya. Apa yang dianggap sebagai mitos bahw a dengan cinta kasih dan ketulusan hidup dapat diubah. Ini tercermin dalam kisah ini. Ketulusan cinta Bhisma mendorongnya merawat Dewa ketika Renjani akhirnya meninggal akibat kanker rahim yang ia derita.
“.Aku ternyata memang mendongak di kuburan, bagaikan melihat ibuku terbang seperti bidadari di langit. Bhisma tertegun dengan biolanya. Tanpa kusadari dari mulutku keluar suara. “D…de…f…faa shaa… aaang ..iii..bu..” Bhisma mengangkat dan mendekapku, seperti mendekap cinta ke dalam hatinya (hlm.191).
Hampir keselurauhan watak Renjani dan Bhisma merupakan idealisme sebuah totalitas hidup dalam mencintai. Karya ini menjadi sangat patut dihargai karena memiliki muatan nilai moral yang tinggi. Cocok utnuk dijadikan sebagai sarana penyampaian pesan moral bagi para pembaca. Novel ini mempengaruhi pembaca untuk memiliki ketulusan dan semangat untuk mencintai orang-orang yang tidak berdaya sperti Dewa dan bayi-bayi tuna daksa lainnya sehingga mereka dapat bertumbuh atau setidaknya mampu bertahan hidup dengan penderitaan dan situasi kurang menguntungkan yang mereka alami. Yang menjadi kelemahan dari novel ini adalah jalan cerita yng terlalu idealis. Apakah masih ada seorang Renjani yang totalitasnya seperti yang terdapat dalam Novel ini? Apakah novel ini menjadi hanya sebuah dongeng pengantar tidur belaka?
PENDEKATAN OBJEKTIF
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebgai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek & Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. ( Wellek, melalui Wiyatmi, 2006:87).
TANGGAPAN
Novel biola Tak Berdawai berlatar kota Yogyakarta pada era tahun 2003. pada umumnya setting diketengahkan di Panti asuhan anak-anak tuna daksa. Dengan alur penceritaan flashback hal ini dapat dilihat pada episode novel pada bab 11 (hlm. 77) secara mundur mengisahkan kembali pengalaman buruk atas tindak perkosaan yang dialami Renjani. Penceritaan adegan-adegan dalam novel ini diselingi dengan kisah pewayangan hal ini menyempurnakan penyampaian lapis arti di mana kisah Renjani memiliki kesamaan dengan kisah pewayangan. Kisah-kisah peayangan ini sekaligus digunakan untuk menyampaikan stratum metafisika sebagai unsur yang intrinsik dalam keagungan sebuah tindakan totalitas seorang Renjani dalam pengabdian kepada anak-anak tuna daksa.
Dengan mengetahui norma-norma karya sastra ini, tahulah kita sekarang bahwa menilai karya sastra haruslah kita menilai berdasarkan norma-norma karya sastra itu, kita tidak hanya menilai “isi” dan “bentuk” karya sastra saja tetapi harus menilai sampai di mana kekuatan bunyi dapat dilaksanakan pengarang, bagaimana sastrawan menyusun kata-kata, atau kalimat, menyusun plot, berhasil atau tidakkah, juga sampai di manakah harga atau nilai pikiran-pikiran pengarang yang diungkapkan dalam karya lewat norma-normanya itu, dan bagaimana segi-segi atau norma-norma lainnya (Pradopo,1994:56).
Tanpa dawai, bagaimana biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh, dan suara itulah jiwanya-tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu baaikan biola tak berdawai….(Ajidharma, 2003:1).
Refleksi penulis tentang korelasi antara jiwa dan tubuh digambarkan dengan memetaforakan antara biola dan dawai dengan badan dan jiwa. Tanpa dawai bagaimana biola bisa bersuara? Pilihan kata biola menjadi manifestasi keberadaan tubuh dan jiwa manusia. “menjelmakan jiwa” pilihan kata yang memiliki peran menghadirkan lapis arti syntgma sekaligus lapis suara yang menimbulkan efek bunyi yang indah untuk didengar.
“Kehidupan kepompong bergunakah kehidupan seperti itu? Tentu berguan, jika kepompong Itu akan menjelma menjadi kupu-kupu kembali, melayang menemukan dirinya kembali. Begitu kuat keinginanku untuk mengembalikan kebahagiaan ibuku.” (Ajidharma, 2003:81).
Secara keseluruhan gaya penceriataan novel ini memiliki keseimbangan antara gaya bahasa yang lugas sekaligus penggunaan metafora. Meski pun pemakaian makna khias cukup tinggi intentitasnya namun bahasa dapat dipahami. Makna dan pesan mudah dicerna karena bahasanya sederhana dan menarik.
PENUTUP
Dengan mendekati Novel ini dengan keempat pendekatan yakni lewat pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik dan objektif, pemahaman tentang esensi terdalam dari pesan Novel Biola tak Berdawai semakin dapat ditemukan. Selain lewat pengkajian karya sastra ini ditunjukkan betapa kompleksnya aspek-aspek yang membangun terciptanya novel biola Tak Berdawai.
Pengalaman ini sangat berguna bagi penulis sebagai mahasiswi PBSID karena lewat pengkajian ini pemahaman tentang hubungan antara ketiga disiplin ilmu Sejarah Sastra, Kritik Sastra dan Sastra semakin diperkaya. Pengkajian yang sederhana ini diharapkan dapat diperkembangkan menjadi sesuatu yang berguna bagi kemajuan bersastra dan kegiatan ilmiah penulis.