Rita Maya

Rita Maya

Rabu, 04 Januari 2012

Coretan 5 Januari 2012

Narasi Sugestif


PEREMPUAN KAMI
Perempuan itu tengah sibuk menata dagangannya di atas lapak tikarnya. Berbagai macam makanan ringan disajikannya. Beberapa diantaranya dibuat ketika orang-orang sedang tahajud. Dia duduk di depan berbagai jajanan itu. Menatap satu per satu pintu ruang kelas dihadapannya. Dalam hatinya dia berharap limpahan rezeki datang berhamburan dari pintu-pintu itu. Kukira harapannya selalu didengar, anak-anak kecil mulai mengerumuninya. Bagaikan semut menyerbu gula. Mereka membeli jajanan itu. Seulas senyum mengembang di wajahnya yang mulai mengendur ketika perempuan itu meladeni satu per satu pelanggannya. Sesekali dia megeluarkan letupan-letupan humor khas ndeso untuk menghibur hati pelanggan kecilnya.
“Anggap saja ini sebagai pelayanan tambahan dari kunjungan kalian ke lapakku,” ujarnya dalam hati.
Seusai melayani serbuan dari serdadu-serdadu kecil itu, langkahnya tidak terhenti disitu. Dia berjalan menyusuri jalanan berdebu di tengah terik matahari yang menyengat kulitnya dengan tergesa-gesa. Berharap waktu tak membunuh deadline yang ia susun semalaman. Deru kendaraan sesekali terdengar, namun tak satupun yang memberinya tumpangan. Itu tidak dihiraukannya, dengan kaki yang meopang tubuh rentanya, langkahnya masih kokoh tak terperi menyusuri jalan berbatu menuju kediamannya.
Bagaikan di atas bukit rumah sederhana itu berdiri tegak. Dipagari dengan bunga sepatu yang bermekaran. Setelah tertatih dalam jalanan yang menanjak. Perempuan itu mengumpulkan semangatnya masih dengan seulas senyuman. Dia mulai membersihkan dan menata rumahnya serta menyiapkan hidangan sederhana untuk keluarganya. Selain itu, dia juga harus merumput untuk ternak milik juragannya. Ternak itu adalah tabungannya.  
“Ketika tiba masa bahagia nanti, aku mungkin tak disini. Jadi, takkan kulewatkan setiap jengkal moment di rumah ini,” ucapnya lirih seraya terus larut dalam pekerjaannya.
Tepat ketika anggota keluarganya pulang ke rumah. Dia sudah bersiap diri menyambut mereka satu per satu masih dengan seulas senyuman. Di atas dipan sederhana mereka menyatu melahap habis hidangan yang disajikan. Suapan demi suapan mereka masukkan ke mulut-mulut mereka. Mereka berharap tetap bisa merasakan hidangan itu di hari-hari selanjutnya, meskipun itu hanya hidangan sederhana.
Saat matahari tenggelam di sebelah barat, perempuan itu seperti tidak menghentikan pekerjaannya. Jika siang dia menjual barang, malamnya dia menjual jasa. Jangan salah paham! Jasa yang dia tawarkan adalah sebagai motivator dan mentor. Kami adalah pelanggan tetapnya, selalu saja ada keluhan yang kami rasakan. Dan hanya obat buatannya yang dapat menyembuhkan.
“Hidup itu bagaikan roda yang berputar setiap saat tanpa dapat kau prediksi. Suatu saat kau dapat berada diatas atau tiba-tiba terperosok ke bawah. Yang dapat kau lakukan hanyalah ikhtiar dan doa, selebihnya kuasa-Nya,” katanya suatu ketika.
Lalu dalam diam terpaku, kami terus mendengar celotehnya yang menggetarkan jiwa kami. Jika kami merasa lelah dan putus asa, semangat kami ditumbuhkannya hingga berkobar-kobar seakan membakar semua rintangan yang menghalangi jalan kami. Jika hati kami menyusut ciut, dia hembuskan kesejukan dengan kata-kata yang merasuk ke rongga-rongga sanubari kami. Tuhan telah mengirimnya untuk menguatkan kami.
Seperti pada malam-malam sebelumnya, kami tidur lebih awal, satu bapak dan dua anak. Tapi tidak bagi perempuan usil itu. Ada saja yang dia lakukan. Kali ini dia membuat satu jenis penganan baru untuk dia niagakan esok hari. “Inovasi tanpa henti” mungkin itu slogan untuk dagangannya. Lelah seakan takut melihat kobaran semangatnya, hingga dia tak berani mendekati barang sejengkal sekalipun, meski keringat telah membasahi tubuh perempuan itu. Menjelang tengah malam, dia mulai melangkah ke peraduan dengan harapan semoga keluarganya ini dapat merasa bahagia suatu saat nanti. Doanya mengalir dari mulutnya yang setengah terkatup menuruti hadirnya rasa kantuk.
Lagu langit mengalun lirih dari sudut-sudut perkampungan yang masih lelap dalam tidurnya. Seperti sebelumnya, hanya yang mendengarnya yang terjaga untuk tahajud. Aku harap perempuan ini juga begitu, dan ternyata benar! Perempuan itu perlahan melangkah menuju belakang rumahnya untuk bersuci. Basuhan-basuhannya seakan melunturkan segala noda gelisah dalam dirinya. Memancarkan ketenangan dari dalam jiwanya.
Ternyata sujud-sujudnyalah yang selama ini menguatkannya! Jika hari-hari biasa kau temukan dia dengan seulas senyum yang tak lepas dari bibirnya, kali ini berlainan. Tetes air mata perlahan jatuh dari sudut matanya, tidak hanya pada sujudnya, tapi pada semua gerakan sholatnya. Senandung salawat terdengar lirih dari tutur lembutnya. Entah mengapa perempuan ini justru tampak lebih cantik saat dia seperti ini. “Berkahilah mereka, suami dan anak-anakku”, itulah kalimat yang beberapa kali dia ucapkan dalam setiap sujudnya. Dan bagi kami yang mendengarnya, itu adalah bukti bahwa perempuan inilah yang oleh-Nya menjadi surga kami dan pengantar surga untuk ayah kami.
Lalu sayup-sayup terdengar rangkaian ayat-Nya mengalun indah memecah keheningan pagi itu. Segalanya seakan turut hanyut dalam indah ayat-ayat itu. Setelah percakapannya dengan Sang Rabb berakhir, dia kembali pada deadline yang disusun sebelumnya. Dia mulai bergelut dengan berbagai bahan makanan dan adonan di ruang berasap dalam rumah itu. Tak ada guratan-guratan rasa lelah di wajah lembutnya. Yang ada hanyalah wajah yang selalu berbinar dengan cahaya yang tak pernah padam. Dia siap memulai hari baru dengan senyuman baru dan harapan baru.       
Sebagai sesosok perempuan, dia sangat tangguh di mata keluarganya. Dalam lemah atau lelah sekalipun dia masih mampu menopang beban dan menjadi sandaran keluarganya. Tak peduli apa yang dia rasakan, baginya yang terpenting adalah suami dan anak-anaknya. Tak pernah sekalipun perempuan ini membuat keluarganya kecewa. Semua yang dia katakan, dia lakukan pasti ada benarnya. Kalau keluarganya katakan itu salah, maka saat itu mereka sedang khilaf.
Dalam senyum dan tangisnya, hanya mereka yang ada disetiap lantunan doanya. Tapi sayangnya mereka terlambat mengerti dan memahami. Mereka terlalu acuh terhadap limpahan kasihnya. Mereka justru terlalu terpaku dengan semua omong kosong dunia ini yang membuatnya mengesampingkan keberadaannya. Mungkin suatu waktu perempuan ini membutuhkan mereka, tapi mereka bagai lenyap ditelan bumi. Namun ketika perempuan ini dilimpahi anugerah justru saat mereka berada disisinya. Ini keberuntungan atau kepicikan mereka?
Setelah berpikir sejenak, kau akan menemukan bahwa ini adalah kepicikan mereka yang tidak mengerti arti dari sebuah keluarga yang sejati. Bodohnya mereka selalu berpikir mandiri, padahal perempuan ini yang selama ini menyokongnya. Perempuan yang indah dengan ketangguhan yang dia miliki, yang baginya mereka adalah sang pujaan dan buah hati. Sedangkan mereka yang begitu ramah dengan waktu, membiarkannya berjalan dan cepat berlalu. Hingga tiba saat dimana mereka tak bisa bersamanya dalam kefanaan dunia ini. Saat dimana mereka tak bisa membayar hutang yang telah dia berikan. Saat dimana kami benar-benar harus mandiri. Saat dimana perempuan ini telah pergi tanpa menunggu mereka kembali. Saat dimana puncak dari segala kesedihan hati.
Mereka katakan itu bencana. Bencana yang datang dari dalam tanah menyeruak keluar dengan getaran maha dasyat. Bencana yang membawa perempuan itu dan tak pernah berniat mengembalikannya. Bencana itu datang saat doa perempuan kami mulai dikabulkan. Di saat mereka mulai mengenal senyuman yang sejati dari dalam hati. Tapi kuasa-Nya melebihi pikir manusia. Bencana datang karena kehendak-Nya. Itu tak bisa mereka pungkiri, sekarang yang ditanamkan hanya ikhlas di hati.
“Dia perempuan yang sempurna, dia akan terlelap dengan mimpi indahnya. Tangan-Nya akan memeluk dan menjaganya. Dia masih dengan seulas senyum di bibirnya,” kata ayah kami saat itu. Mendung memuramkan wajahnya. Sesekali bulir-bulir air jatuh dari kelopak matanya. Dekapannya kepada kami semakin menguat sejalan dengan hatinya berupaya untuk kuat. Kami berjalan tersuruk-suruk mengantar perempuan itu ke kehidupan berikutnya. Sebuah dunia yang berbeda dengan kami.
Untuk terakhir kalinya, kulihat wajahnya yang semakin berbinar. Terpancar sebuah kebahagiaan untuk menghadap-Nya. Sesuatu yang amat dia rindukan ketika nafasnya masih bersatu dengan parunya. Itu juga keinginan keluarganya, tapi egois memang karena mereka belum sempurna melepasnya. Kesedihan dan kehilangan, mereka harapkan jatuh seiring jatuhnya bunga-bunga di pusaranya. Tapi tidak!
Ini adalah tahun kelima sejak sepeninggalnya, tapi mereka masih sulit mengikhlaskannya. Benih-benih keikhlasan yang mereka tanam dulu bahkan layu tak tumbuh. Tak peduli berapa ratus kali jarum mengitari jam, tetap semua serasa baru kemarin. Masih teringat jelas seulas senyuman dibibirnya. Masih terdengar desah suaranya memanggil satu per satu keluarganya. Masih terasa lembut kecup juga hangat dekap darinya. Semua seperti masih sama, hanya dia yang tak ada disini.
“Dia tak sepenuhnya pergi. Dia tak sepenuhnya meninggalkan kita. Dia tetap bersama kita. Dia ada di dalam hati kita,” kata ayah suatu ketika. Wajahnya memang belum sepenuhnya bersih dari mendung, tapi terlihat usahanya untuk tidak memperlihatkan kesedihannya di hadapan kami.
“Lepaskan dia pergi, Anakku. Dia akan terus menengok ke belakang kalau kau seperti ini. Dia akan bersedih dalam kebahagiaannya. Bantulah perempuan ini untuk menggapai kemuliaannya,” ujarnya, kali ini air mata mulai mengalir dari sudut matanya.
“Jalani hidup seperti apa yang diajarkannya, maka kalian akan selalu merasa dekat dengannya. Jangan pernah membuatnya kecewa lagi karena dia tahu dan akan bersedih. Sesekali bawakan anggrek untuknya, meskipun di sana dia memiliki banyak anggrek tapi kurasa dia merindukan anggrek yang dirawatnya sendiri,” terangnya.
Anggrek? Ya, anggrek itu juga kehilangan empunya. Beberapa daun dan tangkainya patah karena bencana itu, mungkin tertimpa reruntuhan rumah. Satu ketika dia tersenyum ketika tahu tangkai bunganya kupetik untuk kuberikan kepada perempuan kami.
“Bawalah aku kepadanya, aku merindukannya, aku mau menemani setiap jengkal mimpinya. Dia tuanku dan aku pengabdinya. Ini ucapan terima kasihku kepadanya karena menjagaku selama ini,” kira-kira seperti itu yang dia katakan.
Anggrek itu kuletakkan didekat nisan kayu yang teguh dalam diamnya. Kutaburkan bunga-bunga lain di atas pusaranya. Aku pikir ini bisa menjadi aroma terapi atau parfum baginya di sana. Lalu aku mulai bercerita.
“Esok adalah hari pertama aku kuliah. Mungkin beberapa hari selanjutnya aku akan jarang mengunjungimu. Jika bisa aku akan membawamu turut bersamaku, tapi kurasa kau lebih baik disini bukan?” Satu bunga Kamboja gugur dari tangkainya. “Sebenarnya aku bimbang dengan pilihan ini, kau tahu bukan kakak ipar telah bersamamu sekarang. Itu artinya ayah yang menanggung aku, kakak, dan cucunya. Apa aku terlalu egois? Apa keserakahanku mulai terlahir? Dua bunga Kamboja gugur dari tangkainya. “Jika suatu saat kakak ipar datang padamu atau kau yang menggunjunginya, tolong sampaikan maafku. Ini akan menjadi sulit tapi aku takkan mengecewakanmu. Suatu saat nanti jika aku kembali mengunjungimu, aku akan sangat berubah. Kebahagiaan yang selalu kau puja dari doa-doamu akan aku bawa digenggamanku”. Tiga bunga Kamboja gugur dari tangkainya.
Langkah kakiku tersuruk-suruk meninggalkan pusara itu dalam teduhnya. Derai tangis membanjiri wajahku. Ini akan jadi awal masa depanku, aku sudah berjanji padanya dan aku tidak ingin membuatnya menunggu lama untuk melihatku kembali. Suatu saat nanti dengan bahagia digenggamanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar