Rita Maya

Rita Maya

Kamis, 10 November 2011

Coretan 11 November 2011


Buletin Rahsas
Ajang Pembelajaran Menulis Mata Kuliah ”Sejarah Sastra Indonesia” Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY
edisi III/1, Juni 2011

Sekilas Info

Mata kuliah ini diampu oleh Dr. Nurhadi, M.Hum, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Pengajar asal Pemalang ini menyele­saikan kuliah S3 di UGM, Yogyakarta dengan menulis disertasi yang mengangkat karya-karya Seno Gumira Ajidarma.
____________


Penulisan esai tentang Sejarah Sastra Indonesia ini diikuti  oleh para mahasiswa PBSI kelas K, L, M dan N tahun ajaran 2010/2011 semester genap. Tulisan-tulisan ini sebagai bentuk bagian ujian akhir matakuliah.
____________


Seseorang akan dikenang dan dicatat oleh sejarah lewat tulisan-tulisannya. Pepatah yang mengatakan ”publish or perish” mengingat­kan kita bahwa jika mem­publika­si­­kan diri, kita akan eksis, dan jika tidak melakukannya, kita akan musnah ditelan zaman.


Tulisan ini merupakan karya sendiri, bukan jiplakan atau karya orang lain




Buletin Rahsas terbit setiap minggu pada hari Sabtu, mengangkat tulisan-tulisan tentang sejarah sastra Indonesia oleh peserta kuliah. Redaksi  edisi kali ini: Rita Mayasari,
NIM 10201241037;
HP: 085729911351,

Dalam novel ini pengarang mencoba memperlihatkan pengetahuan dan pengalamanya tentang manusia yang dalam. Dalam novel ini Y.B. Mangunwijaya mencoba melihat revolusi Indonesia dari segi yang obyektif bahkan agak cenderung melihatnya dari segi Belanda dengan memasang protagonist orang Indonesia yang anti republik. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel burung-burung manyar cukup menarik. Nadanya disana-sini humoritis tapi kadang-kadang bermakna tajam mengiris. Bahasa yang segar dan kata-kata majemuk berkadar tinggi untuk mengungkapkan sebanyak mungkin makna; lucu dan sarat sindiran. Bahasa yang digunakan mampu membawa pembaca ke alam pikiran sang tokoh.


Y.B. Mangunwijaya
(pengarang dan arsitek produktif)




Sementara itu, Atik adalah seorang gadis nasionalis yang sangat membenci orang-orang Belanda. Bahkan, ia bekerja sebagai relawan administrasi di sebuah lembaga milik pemerintah Indonesia. Meskipun begitu, Teto tetap mencintai Atik dan menghormati keluarga ayah Atik, Antana.




Cover novel Burung-Burung Manyar


Adakah yang mencintai Indonesia lebih dari Teto? Ini pertanyaan retoris, bukan karena kita semua pasti tahu jawabannya, tapi justru karena terlalu sulit untuk dijawab. Apa itu cinta dan apa itu Indonesia? Teto adalah tokoh dalam peralihan. Bapaknya Jawa yang jadi tentara Belanda, Koninklijk Nederlands Indisch Leger asli lulusan Breda. Ibunya Belanda totok walaupun Teto tidak yakin karena Mami “sangat cantik” dan “tak punya sistem pendidikan yang berdisiplin” (hal. 5).

Y.B. Mangunwijaya

Burung-burung Manyar terbagi menjadi tiga periode sejarah Indonesia. Pertama, kurun warsa 1933-1944, rangkaian waktu di mana para pejuang bangsa Indonesia kala itu sangat gigih melawan para penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang, terutama pada masa kependudukan Jepang, dimana banyak perempuan menjadi budak seks serdadu Jepang, yang sekarang ini dikenal dengan Jugun Ianfu. Kedua, warsa 1945-1950, ketika bangsa Indonesia telah memperoleh ‘kemerdekaan’.



Y.B. Mangunwijaya



Roman ini terbit tahun l981. Banyak yang menyebut roman ini sebagai roman yang sarat dengan pengungkapan sejarah perjalanan nusantara sampai pada orde baru. Roman ini bisa dikatagorikan sejarah karena menyingkap tiga kurun waktu perjalanan sejarah Republik Indonesia.





Romo Mangun







Mangunwijaya: Burung-Burung Manyar
Oleh Rita Mayasari

Pendahuluan
“Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang. Termasuk itu penghianat-penghianat Soekarno-Hatta. Dan seluruh bangsa yang disebut Indonesia, yang membungkuk- bungkuk pada Jepang dan berteriak-teriak di alun alun oleh hasutan Soekarno: ‘Inggris kita linggis, Amerika kita seterika, Dai Nippon, Banzai!’. Sejak itu aku bersumpah untuk mengikuti jejak papi: menjadi KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut, tapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan, dan mental-mental serba kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis....”
Di atas tadi adalah sepenggal kutipan dari novel yang berjudul Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. Novel setebal 261 halaman ini menceritakan tentang kisah perjalanan hidup Setadewa, seorang laki-laki anti Republik peranakan Jawa-Belanda yang jatuh cinta dengan teman sepermainannya waktu kecil, seorang wanita Indonesia asal Bogor, Larasati alias Atik. Latar sejarah Indonesia dari tahun 1934-1978 melekat dan menjiwai seluruh novel yang mencoba melihat revolusi Indonesia secara objektif dan bahkan cenderung lebih dari sisi Belanda dengan memasang protagonis orang Indonesia anti Republik ini. Dengan gaya bercerita yang khas, penulis mampu membawa pembaca novel ini ke alam pikiran sang tokoh. Saat kita membaca bagian awal novel ini, seakan-akan kita ikut terbawa ke dalam suasana masa revolusi Indonesia yang penuh konflik antara bangsa Indonesia dengan Belanda, dan bahkan pertentangan antar Bangsa Indonesia yang pro dan anti Republik. Ada salah satu bagian dari novel ini yang tidak dimiliki oleh kebanyakan novel-novel sastra lain. Dalam novel ini penulis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari tokohnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat diterima dangan akal dan dapat dipikirkan secara logis. Selain itu, novel karya Y.B. Mangunwijaya ini juga sering disebut sebagai novel spikologis karena novel ini berkisah tentang anak manusia yang merasa gagal dalam menjalani kehidupannya karena trauma masa lalunya. Dalam novel ini pengarang mencoba memperlihatkan pengetahuan dan pengalamanya tentang manusia yang dalam. Dalam novel ini Y.B. Mangunwijaya mencoba melihat revolusi Indonesia dari segi yang obyektif bahkan agak cenderung melihatnya dari segi Belanda dengan memasang protagonist orang Indonesia yang anti republik. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel burung-burung manyar cukup menarik. Nadanya disana-sini humoritis tapi kadang-kadang bermakna tajam mengiris. Bahasa yang segar dan kata-kata majemuk berkadar tinggi untuk mengungkapkan sebanyak mungkin makna; lucu dan sarat sindiran. Bahasa yang digunakan mampu membawa pembaca ke alam pikiran sang tokoh. Pengarang mencoba membuka lembaran sejarah dengan titik pandang yang berbeda. Dimana setiap peristiwa-peristiwa yang diungkapkan mengungkapkan sebuah analisis diri dan mengungkapkan kritikan-kritikan dan sindiran-sindiran tentang kepalsuan dan jati diri manusia. Pada tahun 1984 dan 1996, novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya ini mendapatkan penghargaan dari South East Asia Write Award dan Ramon Magsasay Award. Sekarang, novel ini telah diterjemahkan ke dalam tiga bahasa, yaitu Bahasa Inggris (The Weaverbirds), Jepang (Arashi no Naka no Manyaru), dan Belanda (Het Boek van de Wevervogel).

 Sinopsis Burung-Burung Manyar
Novel ini  mengisahkan suatu kisah anak manusia yang merasa gagal dalam hgidupnya. Dia adalah Teto anak seorang Letnan Barjabasuki, seorang letnan tamatan akademi militer belanda dan menjabat kepala Garnesun devisi II di magelang. Letnan barjabasuki masuih keturunan keratin sedanngkan istrinya adalah keturunan Indo belanda oleh sebab itu keluarga mereka cukup terpandang. Teto benar-benar hidup dalam kejaan kedua orang tuanya, Teto sangat lah bangga terhadap ayahnya hingga ia bercita-cita ingin menjadi seperti ayahnya. Kemewahan dan kebahagiaan Teto berlalu sudah ketika tentara jepang berhasil mengusir tantara KNIL Belanda dari Indonesia. Teto merasa sangat terpukul, kehidupan keluarganya menjadi kacau, ayahnya di tangkap dan di siksa oleh tentara jepang sedangkan ibunya rela menjadi wanita penghibur pimpinan tentara jepang demi menyelamatkan nyawa suaminya. Waktu berlalu dan keinginan Teto pun terkabul, Belanda datang lagi ke Indonesiadan jepang hengkang dari Indonesia. Teto berhasil menjadi tentara KNIL belanda. Dia bekerja dengan penuh disiplin semua yang dibebankan pimpinannya selalu dapat diselesaikan dengan baik. Itu sebabnya ia sangat disayang oleh pimpinannyadan hanya dengan waktu beberapa bulan dia diangkat menjadi Letnan Dua komandan Patroli. Kejayaan Letnan Dua Teto sebagai komandan patroli KNIL tidak berjalan lama. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap gempuran – gempuran belanda tidak pernah surut. Belanda semakin lemah dan hati tetopun semakin ciut melihat kekalahan tentara KNIL belanda dan ia merasa malu setelah ia tahu bahwa ayahnya bergabung dengan tentara RI, dan larasati wanita yang sangat dia cintai juga bergabung dengan RI. Ia malu karena telah membela musuh. Karena terus dihantui oleh rasa malunya itu akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari Indonesia . ia pun berangkat ke Amerika dan masuk kesalah satu pergurun tinggi disana. Setelah mendapat gelar doctor Teto bekerja disebuah perusahaan besar diamerica. Selama bekerja disana hidupnya sangat terjamin, segala kebutuhannya terpenihi, namun ia tidak bahagia ia selalu teringat oleh ibu dan larasati dua orang wanita yang sangat ia cintai. Akhirnya Teto memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
Betepa gusar hati Teto ketika tiba di Indonesia Ia melihat negaranya tak seperti dulu lagi. Negara yang ia tinggalkan selama bertahun-tahun kini telah berkembang sangat pesat di berbagai bidang. Peristiwa – peristiwa masa lalunya tersirat dalam benaknya. Ia teringat masa-masa bersama ayah dan ibuny, masa kecil yang penuh dengan kebahagiaan dan kejayaan. Dan masa-masa bersama larasati wanita yang sangat iam cintai.Teto ingin sekali bertemu larasati namun ia malu dan tak mampu ia melakukannya. Suatu hari ia terkejut melihat larasati dan suaminya datang menemuinya, suami larasati tahu bahwa diantara Teto dan Larasati ada kisah tertentu.namun sebagai suami yang baik dengan bijak ia menawarkan untuk menjadikan teto sebagai kakak larasati. Alangkah bahagia hati Teto  akhirnya ia bisa menjadi keluarga larasati. Namun kebahagiaan itupun tak berjalan lama karena Teto harus rela ditinggalkan adik barunya dan suaminya untuk selama-lamanya. Sebuah pesawat yang mereka naiki ketika hendak menunaikan ibadah haji mengalami kecelakaan dan membawa Larasati dan suaminya kehadapan yang maha Esa. Demi cintanya kepada Larasatikini Teto  merawat dan membesarkan anak-anak Larasati.

Tanggapan Pembaca
Seorang pembaca Burung-Burung Manyar, Rani Widya dari Rumah Buku Kineruku mengatakan bahwa betapa penting dan mulianya mencintai tanah yang bernama Indonesia ini. Dan dia teringat Teto. Adakah yang mencintai Indonesia lebih dari Teto? Ini pertanyaan retoris, bukan karena kita semua pasti tahu jawabannya, tapi justru karena terlalu sulit untuk dijawab. Apa itu cinta dan apa itu Indonesia? Teto adalah tokoh dalam peralihan. Bapaknya Jawa yang jadi tentara Belanda, Koninklijk Nederlands Indisch Leger asli lulusan Breda. Ibunya Belanda totok walaupun Teto tidak yakin karena Mami “sangat cantik” dan “tak punya sistem pendidikan yang berdisiplin” (hal. 5). Ketika Jepang masuk, dunia serba gemilang anak kolong Teto berantakan. Ia benci Jepang, terlebih ketika Mami dijebak jadi gundik tentara Jepang demi menyelamatkan nyawa Papi. Dan Jepang menjelma jadi Indonesia merdeka. Teto memilih masuk KNIL, berperang melawan kaum republik. Celakanya, gadis pujaannya, Atik, ada di pihak ‘sana’, Indonesia. Tapi apakah Teto tidak cinta Indonesia? Jangan kacaukan keinginan Teto supaya Belanda tetap bercokol di Indonesia dengan kebencian. Itu sama saja dengan Teto yang mengacaukan gerakan Indonesia merdeka dengan bungkuk pada perintah fasis Jepang. “Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang karena durian yang jatuh karena sudah matang (hal. 89).” Dalam roman Burung-burung Manyar, Romo Mangun dengan bahasa yang aduhai luwes-lincah dan terkadang menggelitik, menyampaikan mimpinya tentang Indonesia. Bukan melalui Atik, yang menggebu-gebu, yang terbuai dengan kata-kata Soekarno. Justru melalui Teto, yang skeptis namun hormat tergagu di depan Syahrir. Sebuah Indonesia yang bukan bangsa kuli atau teroris, melainkan bangsa yang cendekia dan menjunjung elan kemanusiaan. Walaupun, diakui saja, menyimpan keragaman nyaris ironi di mana “yang putih dan halus rupa-rupanya (di sini) bisa bersahabat dengan yang kotor dan busuk (hal. 154)”. Kekuatan lainnya yang dimiliki oleh karya Y.B Mangunwijaya adalah Prawayang, yang tidak banyak dimiliki oleh novel-novel lain. Novel ini pun bisa dianggap sebagai novel sejarah yang menggambarkan kondisi bangsa Indonesia pada tiga zaman: pertama, masa penjajahan Belanda; kedua, masa pendudukan bangsa Jepang; dan yang ketiga, masa kemerdekaan bangsa Indonesia dan sesudahnya. Dalam roman ini Mangunwijaya secara tidak langsung melukiskan rentetan peristiwa kesejarahan di Tanah Air. Burung-burung Manyar terbagi menjadi tiga periode sejarah Indonesia. Pertama, kurun warsa 1933-1944, rangkaian waktu di mana para pejuang bangsa Indonesia kala itu sangat gigih melawan para penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang, terutama pada masa kependudukan Jepang, dimana banyak perempuan menjadi budak seks serdadu Jepang, yang sekarang ini dikenal dengan Jugun Ianfu. Kedua, warsa 1945-1950, ketika bangsa Indonesia telah memperoleh ‘kemerdekaan’. Dan ketiga, warsa 1968-1978, masa ketika Orde Baru berkuasa. Karena pernah mengalami ketiga zaman itu, sangat wajar jika Mangunwijaya begitu piawai menulis sehingga menghasilkan karya ini. Dari sejak kecil Setadewa dan Larasati berteman akrab. Ayah Setadewa bernama Brajabasuki, seorang kapten pada Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL), tentara Kerajaan Hindia Belanda. Ibunya bernama Marice, seorang perempuan keturunan. Setadewa lahir sebagai anak Kolong, anak serdadu yang tinggal di tangsi. Setadewa mempunyai nama panggilan Teto, sedangkan Larasati dengan nama Atik. Waktu Setadewa kecil,Kapten Brajabasuki hilang tak berjejak ketika jaman kependudukan Jepang. Kemudian Marice menjadi gundik tentara Jepang, meski ia tak menginginkannya. Namun ia terpaksa oleh keadaan, kalau tidak mau menjadi gundik tentara Jepang, maka suaminya, ayah Teto akan mati. Setelah dewasa, Teto berkeinginan memilih menjadi tentara Belanda. Ia menemui Mayoor Verbruggen dengan disertai membawa surat ibunya. Ternyata Mayoor Verbruggen adalah mantan kekasih ibunya waktu dulu. Alasan Teto memilih menjadi tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) adalah kemarahannya yang terpendam kepada Jepang yang telah memaksa ibunya menjadi gundik. Ia juga berpikiran bahwa orang-orang yang menentang Belanda adalah pengkhianat, termasuk orang-orang Republik. Sementara itu, Atik adalah seorang gadis nasionalis yang sangat membenci orang-orang Belanda. Bahkan, ia bekerja sebagai relawan administrasi di sebuah lembaga milik pemerintah Indonesia. Meskipun begitu, Teto tetap mencintai Atik dan menghormati keluarga ayah Atik, Antana. Ketika pertempuran terjadi, dan akhirnya penjajah Belanda kalah, setelah itu Teto hengkang dari negeri Indonesia. Ia berubah profesi menjadi ahli komputer dan bekerja sebagai manajer produksi Pasific Oil Wells Company. Suatu saat, Setadewa kembali ke Indonesia dan tanpa direncanakan ia bermaksud menghadiri ujian disertasi Atik. Pada acara tersebut, dia tidak menemui Atik. Justru Atik dan suaminya, Janakatamsi, yang mengunjungi Teto di tempat ia menginap. Atik mengajak Teto ke rumahnya untuk bertemu dengan Bu Antana, yang kemudian meminta agar Teto bersedia menjadi seorang kakak bagi Atik. Akhirnya, suatu kecelakaan merenggut nyawa Atik dan Janakatamsi, suaminya, ketika mereka berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah. Pesawat Martiair yang ditumpangi Atik dan Jana menabrak sebuah bukit di dekat Kolombo, Sri Lanka. Jadilah ketiga anak mereka yatim piatu. Kemudian Setadewa menganggap ketiga anak Atik dan Jana sebagai anak-­anaknya sendiri. Teto pun tak menikah lagi. Baginya, cukup Bu Antana yang menjadi ibu sekaligus nenek bagi ketiga anak itu. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karya ini melibatkan berbagai tokoh dengan karakter yang berbeda .Misalnya Setadewa, merupakan seorang tokoh utama yang di awal diceritakan sebagai tokoh yang berandal dan pemberontak, akhirnya bisa menjadi sesosok tokoh yang mempunyai sifat rendah hati dan sangat manusiawi. Ibunya yang bernama marice merupakan tokoh yang di ceritakan sebagai orang yang sangat setia hal ini di buktikan oleh kesediaanya menjadi gundik  untuk  menyelamatkan nyawa suaminya. Di dalam novel ini alurnya sangat menarik. Novel ini pun bisa dianggap sebagai novel sejarah yang menggambarkan kondisi bangsa Indonesia pada tiga zaman: pertama, masa penjajahan Belanda; kedua, masa pendudukan bangsa Jepang; dan yang ketiga, masa kemerdekaan bangsa Indonesia dan sesudahnya. Sedangkan alur cerita yang dibangun oleh pengarang adalah alur spiral. Di dalam novel ini menggunakan sudat pandang orang pertama pelaku utama.Karena pada  novel ini menceritakan tentang perjuangan teto sebagai tokoh utama . Cerita pada novel ini berpusat pada Teto, sehingga mayoritas ceritanya berkitar-kitar pada kehidupan privat Teto dan pergumulan batinnya.

 Titik Balik Burung-Burung Manyar dalam Sastra Indonesia
Burung-Burung Manyar adalah karya Y.B. Mangunwijaya yang akrab disapa Romo Mangun seperti memasuki dunia revolusi Indonesia antara tahun 1934 hingga 1950 yang penuh dengan konflik antara orang Indonesia sendiri dengan Belanda termasuk juga pertentangan dengan orang Indonesia yang anti Republik. Demikian pula dalam Burung-Burung Manyar, dalam konteks pembacaan post-kolonial, kita sering "mendengar" keyakinan Mangunwijaya bahwa dekolonisasi seharusnya merupakan proses menolak kolonisasi tanpa perlu menolak orang Belanda. Latar sejarah Indonesia pada tahun 1934-1944, kemudian tahun 1945-1950 dan tahun 1968-1978 menjiwai seluruh roman yang mencoba melihat revolusi Indonesia secara obyektif bahkan cenderung lebih dari sisi Belanda. Roman ini terbit tahun l981. Banyak yang menyebut roman ini sebagai roman yang sarat dengan pengungkapan sejarah perjalanan nusantara sampai pada orde baru. Roman ini bisa dikategorikan sejarah karena menyingkap tiga kurun waktu perjalanan sejarah Republik Indonesia. Dimulai dari bagian pertama, dari periode l934-l944; yang menceritakan tokoh Setadewa yang lahir pada saat Indonesia dijajah Belanda. Selain tokoh Setadewa, Romo Mangun juga menampilkan tokoh yang mengiringi perjalanan Setadewa meski berseberangan hingga di akhir cerita, yakni tokoh penting bernama Larasati. Kemudian dilanjutkan pada bagian kedua, dimulai periode l945-l950; yang melukiskan saat Indonesia dijajah Jepang, diceritakan tokoh Setadewa lebih memilih dijajah Belanda daripada Jepang. Romo Mangun mencoba meng-antagoniskan tokoh Setadewa dengan Larasati. Setadewa yang dalam masa penjajahan Belanda lebih memilih menjadi anthek Belanda dengan memilih menjadi tentara NICA. Sementara Larasati lebih memilih kemerdekaan Indonesia, dan berjuang di pihak gerakan Indonesia. Bertolak belakang dan berseberangan. Sedangkan pada bagian ketiga atau pada bagian pungkasan, yakni periode l968-l978, dikisahkan oleh Mangun wijaya situasi Indonesia pada jaman pemerintahan Orde Baru yang sangat lain situasinya dengan periode-periode sebelumnya. Pada bagian ketiga inilah dilukiskan konsep berfikir dua tokoh yang berseberangan yakni antara Larasati dengan Setadewa. Meski kedua tokoh yang tersebut di atas sebenarnya saling mencintai tetapi tidak dapat bersatu dalam perkawinan karena bertentangan dan sangat berlawanan.

Siapa Y.B. Mangunwijaya?
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr.(lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6 Mei 1929, meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada usia 69 tahun), dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik (bahasa Jawa untuk "rakyat kecil"). Dia juga dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca "Romo Mangun" dalam bahasa Jawa). Romo Mangun adalah anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah. Pendidikan Y.B. Mangunwijaya: HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang (1936-1943), STM Jetis, Yogyakarta (1943-1947), SMU-B Santo Albertus, Malang (1948-1951), Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta (1951), Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang (1952), Filsafat Teologi Sancti Pauli, Kotabaru, Yogyakarta (1953-1959), Teknik Arsitektur, ITB, Bandung (1959), Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman (1960-1966), dan Fellow Aspen Institute for Humanistic Studies, Colorado, AS (1978). Karir Y.B. Mangunwijaya:
1. Sastra: Romo Mangun dikenal melalui novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar. Mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Ia banyak melahirkan kumpulan novel seperti di antaranya: Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, Roro Mendut, Durga/Umayi, Burung-Burung Manyar dan esai-esainya tersebar di berbagai surat kabar di Indonesia. Bukunya Sastra dan Religiositas mendapat penghargaan buku non-fiksi terbaik tahun 1982.
2. Arsitektur: Dalam bidang arsitektur, beliau juga kerap dijuluki sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur, yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta.
3. Politik: Kekecewaan Romo terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta. Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati nurani" menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Biografi Y.B. Mangunwijaya: Pada tahun 1936, Masuk HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang. Tahun 1943 tamat HIS, meneruskan ke STM Jetis, Yogyakarta, mengikut kingrohosi yang diadakan tentara Jepang di lapangan Balapan, Yogyakarta, dan mulai tertarik mempelajari Sejarah Dunia dan Filsafat. Tahun 1944, STM Jetis dibubarkan, dan dijadikan markas perjuangan tentara RI, Romo Mangun ikut dalam aksi pencurian mobil-mobil tentara Jepang. Tahun 1945, dia menjadi prajurit TKR Batalyon X divisi III. Bertugas di asrama militer di Benteng Vrederburg, lalu di asrama militer di Kotabaru, Yogyakarta. Ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen.tahun 1946, melanjutkan sekolah di STM Jetis dan menjadi prajurit Tentara Pelajar, pernah bertugas menjadi sopir pendamping Panglima Perang Sri Sultan Hamengkubuwono IX memeriksa pasukan. Tahun 1947, lulus STM Jetis dan saat Agresi Militer Belanda I, tergabung dalam TP Brigade XVII sebagai komandan TP Kompi Kedu. Tahun 1948,  masuk SMU-B Santo Albertus, Malang. Tahun 1950, sebagai perwakilan dari Pemuda Katolik menghadiri perayaan kemenangan RI di alun-alun kota Malang. Di sini Mangun mendengar pidato Mayor Isman yang kemudian sangat berpengaruh bagi masa depannya. Tahun 1951,  lulus SMU-B Santo Albertus, melanjutkan ke Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta. Tahun 1952,  pindah ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang. Tahun 1953,  melanjutkan ke Seminari Tinggi. Sekolah di Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru. Salah satu pengajarnya adalah Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. Tahun 1959,  pada tanggal 8 September ditahbiskan menjadi Imam oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ dan melanjutkan pendidikan di Teknik Arsitektur ITB. Tahun 1960, melanjutkan pendidikan arsitektur di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman. Tahun 1963,  menemani saat Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ meninggal dunia di Biara Suster Pusat Penyelenggaraan Ilahi di Harleen, Belanda. Tahun 1966,  lulus pendidikan arsitektur dan kembali ke Indonesia. Tahun 1967-1980,  menjadi Pastor Paroki di Gereja Santa Theresia, Desa Salam, Magelang, mulai berhubungan dengan pemuka agama lain, seperti Gus Dur dan Ibu Gedong Bagoes Oka, menjadi Dosen Luar Biasa jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM, dan mulai menulis artikel untuk koran Indonesia Raya dan Kompas, tulisan-tulisannya kebanyakan bertema: agama, kebudayaan, dan teknologi. Juga menulis cerpen dan novel. Tahun 1975,  memenangkan Piala Kincir Emas, dalam cerpen yang diselenggarakan Radio Nederland. Tahun 1978,  atas dorongan Dr. Soedjatmoko, Romo Mangun mengikuti kuliah singkat tentang masalah kemanusiaan sebagai Fellow of Aspen Institute for Humanistic Studies, Aspen, Colorado, AS. Tahun 1980-1986,  mendampingi warga tepi Kali Code yang terancam penggusuran. Melakukan mogok makan menolak rencana penggusuran. Tahun 1986-1994,  mendampingi warga Kedung Ombo yang menjadi korban proyek pembangunan waduk. Tahun 1992,  mendapat The Aga Khan Award untuk arsitektur Kali Code. Tahun 1994,  mendirikan laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Model pendidikan DED ini diterapkan di SD Kanisius Mangunan, di Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Tahun 1998,  tepatnya tanggal 26 Mei, Romo Mangun menjadi salah satu pembicara utama dalam aksi demonstrasi peringatan terbunuhnya Moses Gatutkaca di Yogyakarta. Dan pada tanggal 10 Februari 1999,  wafat karena serangan jantung, setelah memberikan ceramah dalam seminar Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru di Jakarta. Y.B. Mangunwijaya Berpulang: Romo Mangun sebenarnya telah memasang alat pacu jantung sejak 1990. Lalu sejak 1994, ia berniat mengurangi aktivitasnya sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi. Meski demikian, pada tahun 1999, ia justru menghadiri kegiatan yang ia hindari itu. Pada tanggal 10 Februari 1999, Romo Mangun menghadiri Simposiom "Meningkatkan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia", yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Ia juga berbagian sebagai pembicara pada simposium tersebut, namun belum lama, badannya limbung, nyaris jatuh. Budayawan Mohamad Sobary langsung membaringkannya di lantai Ruang Puri. Dan tepat pukul 13:55 WIB, Romo Mangun dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Pemakamannya dihadiri oleh ribuan pelayat. Hal ini menunjukkan betapa ia merupakan pribadi yang sangat dikagumi sekaligus dihormati masyarakat dari berbagai kalangan. Tidak hanya kalangan rohaniawan dan penganut Katolik atau masyarakat Yogyakarta, berbagai lapisan masyarakat dan agama turut menghadiri. Budayawan Mudji Sutrisno mengapresiasi sosok Romo sebagai seorang rohaniawan yang menghidupi iman Katolik dan imamatnya dengan tindakan nyata. Tidak hanya seorang pastor yang melayani misa, tetapi juga pastor yang terlibat dalam membahasakan cinta. Masih menurutnya, Romo Mangun benar-benar mempraktikkan karya Yesus yang menyapa, peduli, berjuang, menyatu dengan kaum terpinggirkan, dan hidup bersama mereka. Cita-cita Romo Mangun memang banyak yang terlampaui. Sebagai arsitek, ia berhasil membangun beragam bangunan yang membuahkan penghargaan. Sebagai penulis, karyanya pun diakui di tingkat dunia. Hanya saja, obsesinya tentang pendidikan anak-anak miskin belum tercapai. Ia memang telah merintis Yayasan Dinamika Edukasi Dasar sejak tahun 1980-an, sebuah wadah pengajaran bagi anak-anak miskin dan telantar. Ia juga merintis sekolah di desa Mangunan, Kalasan, yang menurut Mudji Sutrisno merupakan karya intelektual yang nyata, yang melakukan penyebaran ide dan kritis. Intelektual yang tidak saja memiliki "laboratorium" tapi juga mewakili nurani bangsa. Sayang, perjuangannya harus terhenti oleh penyakit jantung, saat SD Mangunan tersebut baru berjalan lima tahun, kurang empat tahun untuk melihat hasil dari kurikulum pendidikan dasar sembilan tahun yang dirancang dan diaplikasikan oleh Romo Mangun sendiri. Mungkinkah ini menjadi tongkat estafet bagi semua orang, sebagaimana Yesus meninggalkan Petrus dan rekan-rekan lainnya untuk melanjutkan karya mereka bersama. Ya, tongkat estafet itu harus disambut oleh setiap orang percaya. Penghargaan kepada Y.B. Mangunwijaya: Penghargaan Kincir Emas untuk penulisan cerpen dari Radio Nederland, Aga Khan Award for Architecture untuk permukiman warga pinggiran Kali Code, Yogyakarta, penghargaan arsitektur dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk tempat peziarahan Sendangsono, dan pernghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Buku tentang Y.B. Mangunwijaya: Romo Mangun Di Mata Para Sahabat, Abdurrahman Wahid; Kanisius, 1999; Y.B. Mangunwijaya, Pejuang Kemanusiaan, Priyanahadi, dkk; Kanisius, 1999;Tektonika Arsitektur Y.B. Mangunwijaya, Eko A. Prawoto; Cemeti Art House Yogyakarta, 1999; Romo Mangun Imam bagi Kaum Kecil, Purwatma, Pr.; Kanisius, 2001;Y.B. Mangunwijaya : Karya dan Dunianya, B. Rahmanto; Grasindo, 2001;Mendidik Manusia Merdeka, Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun, Sumartana, dkk; Institut Dian/Interfedei dan Pustaka Pelajar, 1995;Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, Sindhunata; Kanisius, 1999; Menjadi Generasi Pasca-Indonesia, Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya; Kanisius, 1999; dan Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa, Iip D. Yahya dan I.B. Shakuntala; Kanisius, 2005.

Catatan Akhir
Karya tulis yang dihasilkan Romo Mangun bukanlah karya tulis sembarangan. Semua dihadirkan dengan alam pikir yang kompleks. Hal ini terwujud pula dari kalimatnya yang panjang-panjang, yang tak jarang sulit dipahami. Namun, ia berkata, "Tulisan saya realitas. Realitas itu kompleks, tidak sederhana, tidak satu dimensi, canggih, rumit, dan banyak segi. Kalimat mestinya begitu juga." Faruk H.T. berkomentar, "Karya-karya sastra Romo Mangun pada dasarnya berisi cerita tentang pengorbanan dan penyerahan kekuasaan yang tidak menutup kemungkinan bagi munculnya pengkhianatan" (Gatra 20 Februari 1999). Kekayaan tulisan Romo tidak hanya terlihat lewat bingkai sejarah yang dihadirkan, tetapi juga persoalan kultur turut dibahasnya. Dalam bukunya, "Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein" (1999), masalah kultur dan dikotomi Barat-Timur, ia bahas secara tajam. Dalam bidang kesusastraan, buah tangannya tidak dimungkiri pula. Sebut saja "Burung-Burung Manyar" (1981) yang menuai penghargaan dari Ratu Thailand Sirikit lewat ajang The South East Asia Write Award 1983. Ia juga menjadi orang Indonesia kedua setelah Goenawan Mohammad yang mendapat penghargaan The Professor Teeuw Award di Leiden, Belanda, untuk bidang susastra dan kepedulian terhadap masyarakat. Adapun karya sastra terakhirnya berjudul "Pohon-Pohon Sesawi", yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal.

Daftar Pustaka
Anonim. 2011.“Y.B. Mangunwijaya”. http://id.wikipedia.org/wiki/Y._B._Mangunwijaya. Diunduh pada 8 Juni.
Anonim. 2011. ”Mangunwijaya. www.goggle.com. Diunduh pada 8 Juni.
Anonim. 2011. “Mangunwijaya . www. tamanismailmarzuki.com. Diunduh pada 8 Juni.
Anonim. 2010. “ YB Mangunwijaya”. http://guruagungsuper.webnode.com. Diunduh pada 8 Juni.
Berkaryalah. 2010.”Burung-Burung Manyar Karya YB Mangunwijaya”. www.aku-dan-karya.blogspot.com. Diunduh pada 8 Juni. 
Blinksastrakasmas. 2010. “ Sinopsis Novel Burung-Burung Manyar”. http://blinksastrakumaster1988.blogspot.com. Diunduh pada 8 Juni.
Khalid, Umar. 2011.”Sinopsis Burung-Burung Manyar YB”. www.sastra33.co.cc. Diunduh pada 8 Juni.
Macan, Putro. 2010. “ Sinopsis Burung-Burung Manyar”. http://putromacan90.blogspot.com. Diunduh pada 8 Juni.
Ramlannarie. 2010. “Misi Pluralisme di Balik Novel Ayat-ayat Cinta” . https://ramlannarie.wordpress.com. Diunduh pada 8 Juni.
Widya, Rani. 2011."Burung-Burung Manyar, Y.B. Mangunwijaya, 1981”. http://zine.rukukineruku.com/?p=2624. Diunduh pada 8 Juni.

Artikel ini pernah dimuat di Jurnal Ilmiah Populer WUNY Th X, No 2, Mei 2008
____________________________________
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar