Rita Maya

Rita Maya

Kamis, 10 November 2011

Coretan 11 November 2011


PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN
Hakikat pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatuan harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup yang berdasarkan pemanusiaan yang memuat hominisasi dan humanisasi. Hominisasi adalah proses pemanusiaan secara umum, yakni memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Humanisasi adalah proses yang lebih jauh, kelanjutan hominisasi, yaitu manusia bisa meraih perkembangan yang lebih tinggi seperti pada kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (Driyarkara dalam Rukiyati, dkk, 2008). Pendidikan erat hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan suatu hasil kreasi rohani manusia yaitu cipta, rasa, dan karsa. Oleh karena itu pengembangan iptek tidak terlepas dari pendidikan moral. Dalam hal pembangunan nasional Indonesia, maka Pancasila telah memberikan dasar nilai-nilai bagi pengembangannya demi kesejahteraan hidup manusia. Pengembangan iptek sebagai hasil budaya manusia harus senantiasa didasarkan moral Ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain itu dalam UU No. 2o Tahun 2003 menjelaskan tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Bab I Umum, dinyatakan bahwa gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi moral dan hak azasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan membawa dampak yang mendasar pada proses, isi, dan manajemen penyelenggaraan sistem pendidikan yang menyangkut pembaharuan penyelenggaraan pendidikan, diantaranya pelaksanaan pendidikan yang memiliki orientasi seimbang antara iptek dan moral. Selanjutnya pada Pasal 51 Ayat (2) ditegaskan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas, moralitas,  otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang trasparan.
Meski begitu di Indonesia masih mengalami krisis dalam hal itu, sehingga upaya yang penting untuk dilakukan untuk mengatasinya adalah melalui pendidikan karakter yang mencakup pendidikan nilai, pendidikan akhlak, dan pendidikan budi pekerti. Dalam hal ini peran pendidik sangat vital. Mereka tidak hanya dituntut untuk menyampaikan ide-ide, tetapi menjadi suatu wakil dari suatu cara hidup yang kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu dunia yang dicemaskan dan dianiaya, menjadi penjaga peradaban dan pelindung kemajuan (Frederick Mayer, 1963). Oleh karena itu, Lickona (1991) dalam I Wayan Koyan (1997) menyatakan bahwa untuk mewujudkan karakter yang baik, memerlukan pendekatan pendidikan moral yang komprehensif yang meliputi komponen pengetahuan moral (moral knowing) mencakup moral awareness (kesadaran moral/hati), knowing moral values (pengetahuan nilai/moral), perspectives-taking (perspektif yang memikat hati), moral reasoning (pertimbangan moral), decision-making (pengambilan keputusan), dan self-knowledge (mengenal diri sendiri); perasaan moral (moral feeling) yang mencakup conscience (kata hati/nurani), self-esteem (harga diri), emphaty (empati), loving the good (cinta pada kebaikan), self-control (kontrol diri), dan humility (kerendahan hati); dan tindakan moral (moral action) yang mencakup competence (kompetensi moral), will (kemauan), dan habit (kebiasaan).
Tugas pendidik dalam pendidikan moral adalah membantu peserta didik agar memiliki karakter/budi pekerti yang baik, sekaligus pengetahuan, perasaan, dan tindakan moral yang saling melengkapi satu sama lain dalam suatu kesatuan organis harmonis dinamis, sedangkan tujuannya adalah membantu peserta didik agar menjadi bijak, pintar, dan membantu menjadi orang yang baik (memiliki nilai-nilai yang memperkokoh martabat manusia dan mengembangkan kebaikan individu dan masyarakat). Oleh karena itu, para pelaku pendidikan nasional harus memenuhi tugas dan tujuan tersebut dengan dipersatukan berdasarkan Pancasila agar krisis yang terjadi di Indonesia bisa teratasi. Menurut Notonagoro (1973), perlu disusun sistem ilmiah tentang pendidikan berdasarkan Pancasila tentang ajaran, teori, filsafat, praktik pendidikan nasional, yang menjadi dasar tunggal, pemberi pedoman dan tujuan bagi penyelesaian masalah-masalah pendidikan nasional. Penggunaan sistem dan ajaran yang berasal dari luar dilakukan setelah diintegrasikan dengan sistem pendidikan nasional dan digunakan hanya sebagai pembantu, perbandingan, pemerkayaan, dan dalam lain peranan tidak langsung atau sekuler, sehingga bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil, serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan Nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial (MPR: 1988). Secara konseptual isi tujuan pendidikan nasional tersebut merujuk pada dimensi-dimensi spiritual, intelektual, sosial, dan personal yang menerapkan konsep Confluent Taxonomy yang bermakna bahwa tujuan pendidikan seyogyanya memadukan proses pengembangan antara ranah kognitif yang meliputi ingatan/pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian; dengan afektif yang  meliputi penerimaan, penanggapan, penghargaan, pengorganisasian, dan pengkarakterisasian; serta psikomotorik yang meliputi persepsi, kesiapan, respon terbimbing, mekanisme, respon nyata kompleks, penyesuaian, dan penciptaan. Proses instruksional pendidikan tersebut dapat diorganisasikan dalam berbagai model belajar mengajar yang meliputi model-model yang berorientasi pada penalaran moral, interaksi sosial, pembinaan pribadi, dan sistem perilaku dan sikap, sehingga proses belajar mengajar akan memberi dan menjadi sasaran dan suasana yang kondusif untuk meningkatkan taraf perkembangan moral peserta didik. Dalam hal ini peranan seorang pendidik sangat diperlukan, yaitu sebagai planner, introducer, questioner and sustainer of inquiry, manager, rewader, serta value investigator. Selain beberapa hal tersebut, strategi lain yang harus dilaksanakn untuk memwujudkan keseimbangan antara Iptek dan moral berdasarkan Pancasila adalah isi pembelajaran yang terjabarkan dalam kurikulum, pedoman/model pembelajaran, dan komponen-komponen pembelajaran (pendidik, peserta didik, iklim pembelajaran, materi, media, dan sistem).
Dalam proses pendidikan tersebut penting diadakannya suatu evaluasi pendidikan. Pengertian dan lingkup yang luas dari evaluasi pendidikan merupakan “formal assessment of the worth of educational phenomena” (Popham dalam Udin saripuddin, 1989: 166), yang sekurang-kurangnya meliputi kegiatan-kegiatan pengukuran hasil belajar (measurement), pengangkaan (grading and scoring), pengkajian (assessment), dan akontabilitas (accountability). Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana tujuan pendidikan sudah tercapai (tingkat keberhasilan) yang digunakan sebagai acuan untuk melakukan perbaikan pada masa selanjutnya.
Hakikat sila-sila Pancasila harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir, serta basis moralitas bagi pendidikan nasional yang berperan untuk membangun bangsa serta dengan mempertimbangkan berbagai strategi yang komprehensif, menyangkut komponen-komponen peran pemerintah, masyarakat, sekolah, guru, kurikulum, sampai strategi  pembelajaran, maka orientasi pendidikan dan pembangunan untuk iptek dan moral sebagai pengembangan manusia seutuhnya mutlak melibatkan komponen-komponen tersebut secara komprehensif dan terbuka. Oleh karena itu, untuk peningkatan komunikasi di lingkungan institusi pemerintah, masyarakat, ruang kelas secara lebih terbuka, agar ada semacam peralihan penekanan dari aktivitas pembelajaran dan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan sekolah, ke pembelajaran dan pendidikan yang dimiliki oleh semua, dari semua, untuk semua masyarakat bangsa.


Daftar Pustaka:
Dwi Parwanto, Isnawan. 2007. Pendidikan Falsafah Kemanusiaan Indonesia. Yogyakarta: Fitramaya.
Rukiyati, dkk. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press.
Saripuddin, Udin. 1989. Konsep dan Strategi Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Menengah. Jakarta: Depdikbud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar