Rita Maya

Rita Maya

Kamis, 10 November 2011

Coretan 11 November 2011



TUGAS INDIVIDU
FILSAFAT ILMU
Arti Penting Filsafat Ilmu untuk Perkembangan Karakter Mahasiswa

Rita Mayasari
10201241037
PBSI / L

Arti Penting Filsafat Ilmu untuk Perkembangan Karakter Mahasiswa
            Filsafat ilmu adalah proses atau kegiatan mengkaji, merefleksi, dan menelaah ilmu yang memiliki objek, sistem, metode, dan bersifat universal secara komprehensif, kritis, dan integral. Tujuannya adalah untuk mengenalkan alur-alur berpikir dalam kegiatan keilmuan dan terapannya dalam  masalah-masalah praktis dalam kehidupan seperti permasalahan yang aktual di bidang akademi, yaitu permasalahan etika dalam kegiatan keilmuan yang didalamnya terdapat moral atau kesusilaan.
            Pada dasarnya setiap ilmu akan dipertanyakan manfaatnya dan untuk menjawabnya terlebih dahulu harus dikaji tentang masalah nilai. Kattsoff (dalam  Soetriono dan Rita Hanafie, 2007) mengemukakan tiga cara pendekatan terhadap nilai:
1.    Pendekatan subyektivisme, dimana nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku berdasarkan pengalamannya.
2.    Pendekatan obyektivisme-logis, dimana nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal.
3.    Pendekatan obyektivisme-metafisik, dimana nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sebenarnya sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus (abad ke-16), yang mengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari, sedangkan agama pada saat itu menyebutkan yang sebaliknya. Timbullah interaksi antara ilmu dan moral (nilai) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataaan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan diantaranya agama. Oleh karena itu, para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas Nilai! Setelah saat itu, ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitian-penelitian dalam  rangka mempelajari alam sebagaimana adanya (Jujun S. Suriasumantri, 2007: 233).
Ilmu akhirnya berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak  ke manapun arahnya. Tetapi kemudian konsep-konsep keilmuan yang dikembangkan manusia dipertanyakan kepentingan praktisnya. Untuk itu manusia memikirkan penerapan dari konsep ilmiah itu yang kemudian dikenal dengan teknologi. Dalam perkembangan tersebut manusia kembali berpikir tentang perlunya moral dalam aplikasi ilmu, dimana terjadi sikap nilai lagi, tetapi diukur dari manusia yang memberikan nilai, karena manfaat ilmu bersifat relatif, tergantung pada sisi mana melihatnya.
Berbicara moral (nilai) sama artinya dengan berbicara tentang etika atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Dalam bidang keilmuan hal itu sangat berkaitan erat dengan tanggung jawab moral dan sosial terhadap pemikiran, tanggung jawab moral adalah bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggung jawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya, yakni untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak umat manusia. Sedangkan tanggung jawab sosial ilmuwan merupakan suatu kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau berada di tengah-tengah manusia lainnya. Tanggung jawab ini menuntut agar ilmuwan dalam mengaplikasikan ilmunya mengenal konteks di mana ilmunya diaplikasikan, sehingga kekhawatiran bahwa ilmu akan menjajah manusia tidak akan terjadi, karena ilmu yang diterapkan adalah ilmu yang sesuai dengan kondisi konteks dimana ilmu itu diterapkan. Moral hanya merupakan sebagian dari suatu kebudayaan. Hal itu erat kaitannya dengan hubungan ilmu dengan kebudayaan. Kebudayaan  berkembang karena pengetahuan manusia, dan pengetahuan itu sendiri berkembang karena kebudayaan manusia. Dilihat dari konteksnya secara umum, akhirnya kembali kepada manusianya sendiri, apakah mereka berpikir hanya melihat alam semesta yang dapat diamati dengan panca indera saja? Atau memahami ada kekuatan lain yang tidak bisa diamati dari pengalaman dan juga sukar diterima dengan rasio? Dan apakah benar bahwa ilmu tanpa agama itu buta? (Soetriono dan Rita Hanafie, 2007: 128-131).
Di dalam kehidupan manusia terdapat dua sikap yang saling bertentangan. Sikap pertama adalah sikap manusia yang mengembangkan ilmu dan teknologi untuk menguasai alam dan menundukkan alam. Keberhasilan manusia dalam menguasai alam, mengolah, dan mengeksplorasi alam akan membawa manusia ke arah sikap superior yang  berkehendak untuk menguasai alam tanpa memperhitungkan kemampuan dan kelestariannya. Sikap kedua adalah sikap manusia yang mendewakan alam, sehingga manusia hanya menyerah kepada struktur dan norma yang ada pada alam. Akibatnya manusia tidak mampu membedakan mana objek dan mana subjek. Selain itu, manusia juga tidak mampu mengembangkan ilmu dan teknologi yang membawa ke arah kemajuan manusia (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010: 178-179). Oleh karena itu, filsafat ilmu salah satunya digunakan untuk membekali para mahasiswa yang nantinya akan melanjutkan proses pengembangan ilmu dan teknologi untuk dapat menghindari sikap-sikap tersebut.
Manusia merupakan bagian dari alam dan senantiasa berintegrasi dengannya, sehingga diantara manusia dengan alam ada hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu, menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya merupakan kewajiban moral manusia, terlebih bagi seorang ilmuwan. Norma moral yang muncul di antara mereka memilki ruang lingkup yang khusus namun tanggung jawab serta kewajiban moral itu berlaku juga baginya yang diperlukan dalam rangka menghadapi masa depan yang semakin rumit dan sulit. Hal ini akan menjadi suatu kesulitan yang lebih besar ketika para ilmuwan tidak memiliki cita-cita masa depan tentang peran manusia dan kemanusiaannya. Sebaliknya jika mereka telah siap, maka ia akan dapat menikmati hasil ilmu dan teknologi serta mampu menghindari diri dari dampak negatif. Disebabkan oleh hal-hal tersebut maka penting bagi para ilmuwan termasuk mahasiswa memiliki moral dan akhlaq. Moral Pancasila sebagai moral bangsa dan akhlaq sebagai moral religi atau loral agama perlu mendampingi dan melekat dalam diri para pekerja ilmu itu. Selain itu, mereka juga harus memiliki visi moral yaitu moral khusus sebagai ilmuwan yang dalam filsafat ilmu disebut sebagai sikap ilmiah, karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bukanlah untuk membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010: 179-180).
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan termasuk oleh para mahasiswa tersebut, yaitu:
1.    Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2.    Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar mereka mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi.
3.    Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera serta budi (mind).
4.    Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5.    Adanya suatu kegiatan rutin bahwa mereka harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6.    Sikap etis (akhlaq) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, khususnya untuk pembangunan bangsa dan negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuwan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan tak terkecuali oleh para mahasiswa, karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu, yaitu objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal. Dengan demikan, taat azas dan kepatuhan terhadap norma-norma etis yang berlaku bagi mereka beserta dengan pencapaian objektivitas dan kemajuan ilmu untuk kemanusiaan diharapkan akan menghilangkan kegelisahan serta ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi serta diharapkan agar manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010: 181).





















DAFTAR PUSTAKA

Azhim, Ali Abdul. 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Alquran. Bandung: Rosda Offset.
Soetriono, Rita Hanafie.. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha.
Taryadi, Alfons. 1991. Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2007. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Salam, Burhanuddin. 2008. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar