Rita Maya

Rita Maya

Rabu, 30 November 2011

Coretan 1 Desember 2011

Indonesian language




Indonesian (Bahasa Indonesia) is the official language of Indonesia. Indonesian is a normative form of the Riau Islands dialect of Malay, an Austronesian language which has been used as alingua franca in the Indonesian archipelago for centuries.
Indonesia is the fourth most populous nation in the world. Of its large population the number of people who fluently speak Indonesian is fast approaching 100%, thus making Indonesian one of the most widely spoken languages in the world.[1]
Most Indonesians, aside from speaking the national language, are often fluent in another regional language (examples include JavaneseMinangkabau and Sundanese) which are commonly used at home and within the local community. Most formal education, as well as nearly all national media and other forms of communication, are conducted in Indonesian. In East Timor, which was an Indonesian province from 1975 to 1999, Indonesian is recognised by the constitution as one of the two working languages (the other is English, alongside the official languages of Tetumand Portuguese).
The Indonesian name for the language is Bahasa Indonesia (literally "the language of Indonesia"). This term can sometimes still be found in written or spoken English. In addition, the language is sometimes referred to as "Bahasa" by English speakers, though this simply means "language" and thus does not technically specify the Indonesian language.

Rabu, 23 November 2011

Coretan 24 November 2011

mereka bukan benalu bukan??
ini untuk bersama? kenapa mereka seperti tidak peduli?
apa mereka tidak berpikir, bisa saja 'kan tega menghapus nama mereka dari daftar?!
tuli, buta,,,,,hati mereka!!!!

Selasa, 22 November 2011

Coretan 22 November 2011

Tips Mendidik Anak Cara Rasullulah

Salah satu amal yang tidak pernah terputus pahalanya sekalipun kita telah meninggalkan dunia ini adalah anak yang shaleh. Doa anak yang shaleh merupakan salah satu doa yang insya Allah pasti terkabul. Karenanya, orangtua harus mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, anak akan tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian rusak dan hancur yang pada gilirannya akan merugikan orangtua itu sendiri.
Sesungguhnya memang tidak mudah memikul beban untuk membesarkan anak hingga menjadi pribadi yang kita harapkan dapat meraih sukses dunia dan akhirat. Semua butuh kesabaran, kerja keras, keikhlasan, dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud menyederhanakan, berikut beberapa tips yang diaplikasikan oleh orangtua yang disarikan dari tata cara mendidik anak ala Rasulullah Saw.
1. Menanamkan Nilai-nilai Ketauhidan
Mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Selain itu, orangtua harus menekankan bahwa setiap langkah manusia selalu dalam pengawasan Allah Swt. dan penerapan konsep tersebut adalah dengan berusaha menaati peraturan dan menjauhi larangan-Nya. Terlebih dahulu, orangtua selaku guru (pertama) bagi anak-anaknya harus mampu menyesuaikan tingkah lakunya dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Ini adalah pendidikan yang paling urgen di atas hal-hal penting lainnya.
2. Menjadi Sahabat dan Mendidik dengan Keteladanan
Setiap anak akan belajar dari lingkungannya dan dalam hal ini lingkungan keluarga akan sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya. Orang-orang di sekelilingnya akan menjadi model dan contoh dalam bersikap. Sudah selayaknyalah orangtua memberi keteladanan kepada anak-anaknya. Para orangtua sebaiknya memberikan contoh yang baik sesuai dengan nasihat dan ucapannya kepada para anaknya. Akan sangat lucu jika yang disampaikan orangtua kepada anak-anaknya ternyata tidak dilakukan oleh orangtua itu sendiri. Dalam Islam, keteladanan dari orangtua sangat menentukan terlebih di zaman sekarang media tontonan tidak dapat diharapkan menjadi contoh yang baik bagi pembentukan akhlak anak-anak muslim.
3. Mendidik dengan Kebiasaan
Suatu kebaikan harus dimulai dengan pembiasaan. Anak harus dibiasakan bangun pagi agar mereka gemar melaksanakan shalat Subuh. Anak harus dibiasakan ke masjid agar mereka gemar melakukan berbagai ritual ibadah di masjid. Pembiasaan itu harus dimulai sejak dini, bahkan pembiasaan membaca Al-Quran pun bisa dimulai sejak dalam kandungan. Pembiasaan shalat pada anak harus sudah dimulai sejak anak berumur tujuh tahun.
4. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Anak
Sebagai upaya menumbuhkan rasa percaya diri anak, Rasulullah Saw. menggunakan beberapa cara berikut. Saat sedang berpuasa, Rasulullah mengajak anak-anak bermain sehingga siang yang panjang terasa cepat. Anak-anak akan menyongsong waktu berbuka dengan gembira. Hal ini juga membuat anak memiliki kepercayaan diri sehingga sanggup berpuasa sehari penuh. Sering membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, resepsi, atau bersilaturahim ke rumah saudara sebagai upaya menumbuhkan kepercayaan diri sosialnya. Mengajari Al-Quran dan As-Sunnah serta menceritakan sirah nabi untuk meningkatkan kepercayaan diri ilmiahnya. Menanamkan kebiasaan berjual-beli untuk meningkatkan kepercayaan diri anak terkait ekonomi dan bisnis. Di samping itu, sejak dini anak akan terlatih mandiri secara ekonomi.
5. Memotivasinya Anak Berbuat Baik
Seorang anak, meski kecil, juga terdiri dari jasad dan hati. Mereka dilahirkan dalam keadaan bersih dan suci sehingga hatinya yang putih dan lembut itu pun akan mudah tersentuh dengan kata-kata yang hikmah. Anak-anak, terutama pada usia emas (golden age), cenderung lebih mudah tersentuh oleh motivasi ketimbang ancaman. Karenanya, hendaknya orangtua tidak mengandalkan ancaman untuk mendidik buah hati. Ketimbang mengancam, lebih baik orangtua memotivasi anak dengan mengatakan bahwa kebaikan akan mendapat balasan surga dengan segala kenikmatannya. Itu pulalah yang dicontohkan oleh Rasulullah kepada kita ketika beliau mendidik para sahabat.
6. Sediakan Waktu untuk Makan Bersama Anak
Rasulullah Saw. senantiasa menyempatkan untuk makan bersama anak-anak. Cara tersebut akan mempererat keterikatan batin antara orangtua dan anaknya. Dengan begitu kita dapat meluruskan kembali berbagai kekeliruan yang mereka lakukan melalui dialog terbuka dan diskusi. Alangkah baiknya jika ibu dan bapak berkumpul dengan anak-anak ketika makan bersama sehingga mereka merasakan pentingnya peran kedua orangtuanya. Hal ini juga dapat mempermudah meresapnya segala nasihat tentang perilaku, keimanan, atau pendidikan.
7. Mendidik dengan Reward/Hadiah
Memberi hadiah adalah salah satu penghargaan yang dapat melunakkan hati anak sehingga mereka akan bersimpati kepada kita dan akhirnya mau melaksanakan nasihat yang kita berikan. Namun perlu diingat, tidak semua perbuatan baik anak harus dihargai dengan materi. Lakukan reward yang bervariasi, bisa dengan pujian, ciuman, belaian, uang, dan lain-lain.
8. Memilih Sekolah yang Islami
Saat anak menginjak usia sekolah, orangtua berperan dalam memilihkan sekolah, mengajarkan Al-Quran, mengembangkan pola pikir anak, memberikan data dan ilmu semaksimal mungkin. Meski anak sudah mulai sekolah (mendapatkan ilmu di sekolah), orangtua hendaklah selalu belajar tentang pendidikan anak karena semakin bertambah usia anak, maka akan semakin kompleks pula problem (pendidikan anak) yang harus kita hadapi.
9. Mendidik dengan Hukuman
Cara ini boleh dilakukan jika cara-cara di atas tidak berhasil. Memang di dalam Islam, menghukum diperbolehkan selama tidak berlebihan seperti sampai menyebabkan luka. Hukuman tersebut usahakan menimbulkan efek jera kepada anak agar ia tidak mengulangi perbuatannya. Akan tetapi harus diperhatikan adab-adabnya, jangan sampai berlebihan yang akhirnya akan membuat anak menjadi dendam.
10. Memahami Keadaan Anak Secara Baik dan Menggunakan Metode yang Tepat
Setiap anak memiliki karakter dan pribadi yang berbeda walaupun berasal dari orangtua yang sama. Cari metode yang tepat dan jitu sehingga anak dapat diarahkan dengan lebih mudah.

 

Senin, 21 November 2011

Coretan 22 November 2011

Emha Ainun Nadjib
Titik Nadir Demokrasi

Korupsi sebagai Kasus Penyakit Jiwa
Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari
pamong-pamong desa hingga yang paling atas.
Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir,
bahkan pun sampai di sekitar koper dan surban ratusan ribu para
calon haji.
Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit,
dan detik.
Korupsi menjadi salah satu "sahabat" sehari-hari kita. Korupsi
menjadi salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini,
bangsa yang selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesarbesarkan
dirinya ini.
Korupsi atas uang orang banyak.
Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.
Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah
langsung.
Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat
merasa "GR", tak tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah
atasannya rakyat.
Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsipprinsip
dasar kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturanaturan.
Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di
sel-sel dan jaringan otak mereka.
Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan
"petunjuk". Kegilaan nasional kita semua dalam menggunakan
kosakata "petunjuk"--tak lain tak bukan--adalah perbuatan takabur
kepada Tuhan, pemilik tunggal hidayah.
Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu tetapi tak
boleh ada dua atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka tak
diperlukan persatuan atau pun kesatuan.
Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai
korupsi atas kasunyatan yang lembut, yang amat.
Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara,
gelondongan kayu, sampai korupsi atas informasi mengenai para
nabi dan Tuhan.
Korupsi informasi tak hanya di koran-koran yang memasang jargon
maha indah di leher penampilannya.
Korupsi dari tingkat yang halus ringan dan hanya merugikan nilai itu
sendiri serta yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar-besaran
yang memotong usus nasib berjuta-juta orang.
Korupsi d kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, gubernur, di
rombongan kloter sekian di hotel-hotel Madinah, di batok kepala
orang-orang yang setiap saat dijunjung-junjung sebagai pemimpin--
sampai si terjunjung sampai percaya bahwa ia memang benar-benar
manusia yang tak pernah korup dan layak dijunjung-junjung, dipikul
dhuwur dan kelak dipendhem jero.
Korupsi tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan
bersama, ditutupi dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum
wewangian retorika dan excusing yang bisa didaftar berpuluh-puluh
dari berbagai sudut, sisi, dan disiplin.
Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari.
Menjadi "naluri alamiah" tradisi kebudayaan kita.
Menjadi makanan pokok sehari-hari.
Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak
melakukannya.
Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan
pribadi, maupun karena secara kolektif tak pernah ada jaminan
bahwa kalau seseorang tidak korup maka lainnya pun tidak.
Tentu saja kehidupan kita bukannya sedemikian gelap pekat dan tak
ada kebaikan, tak ada kejujuran atau kejernihan.
Tapi tulisan ini mengajak kita untuk bercermin.
Dan bercermin yang dimaksudkan bukanlah sejenis narsisisme: kita
mengagumi kegantengan dan kecantikan wajah kita.
Yang kita tatap di cermin terutama justru jerawat-jerawat kita.
Jangan khawatir, Anda tidak termasuk para koruptor, pada level
mana pun.
Anda orang jujur dan selalu menatap Tuhan berdiri tepat dihadapan
Anda setiap saat.
Anda orang yang selalu berdua dengan-Nya dalam kepatuhan dan
kejujuran.
Tuhan tidak Anda "letakkan" di samping, tidak Anda perlakukan
sebagai "pihak ketiga" sehingga Anda sebut "Ia"--dan bukan
"Engkau".
Tapi pandanglah wajah-wajah kami!
Lihatlah ornamen-ornamen jerawat korupsi dan ngembeng-nya wajah
korupsi di wajah kami.
Ya, kami-kami yang pejabat tinggi maupun pejabat rendahan.
Kami-kami yang orang sentral maupun orang perifekal.
Kami-kami orang atas maupun orang bawah.
Kami-kami orang penting maupun orang tak penting.
Kami-kami para pemerintah maupun pejuang kepentingan rakyat.
Kami-kami para aktivis, seniman, intelektual, LSM, penyangga
demokrasi.
Kami-kami semua, memiliki kadar, sifat dan wilayah korupsi ini?
Mau diilmiah-ilmiahkan dan diakademis-akademiskan bagaimana
lagi?
Mau dianalisis kayak apa lagi korupsi ini: "makhluk" bikinan manusia
yang jauh lebih besar dan jauh lebih kuat dbanding manusia ini?
Mau dipandang dari macam-macam sudut-sudut pandang dan sisisisi
penilaian sampai berapa dekade sejarah lagi.
Sudut sistem. Sudut budaya. Sudut antropologi.
Atau segala macam latarbelakang yang sebelah mana lagi yang
akan kita papar-paparkan demi agar kita tampak serius mengurusi
dan memprihatinkan masalah korupsi--untuk kemudian kita
kecapekan karena tema satu ini tak pernah usai, tak makin mereda,
membosankan untuk dipersoalkan namun menikmatkan untuk terus
dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Atau bertanya apakah engkau, wahai Emha, sedang marah-marah
oleh berita tentang korupsi dan korupsi dan korupsi? Padahal
korupsi dan korupsi dan korupsi--yang dibeberkan, yang diurus, yang
dibawa ke altar pengadilan--itu sesungguhnya hanya sepersekian
persen dari realitas yang sebenarnya dari korupsi dan korupsi dan
korupsi?
Emha menjawab: Tidak. Ambillah dunia seluruhnya, genggam di
tanganmu, kepalkan, padatkan seluruh harta dunia ini, ngangakan
mulutmu, masukkan padatan itu, telanlah, suruh ia mengembara di
ususmu yang melingkar-lingkar, kemudian aku doakan: duburmu
tidak sobek karena itu.
Ambillah negara ini, tanah ini, tambang ini, aset ini, akses ini, modal
ini, perusahaan ini, hutan ini, gedung-gedung ini, nurani rakyatmu ini-
-apapun saja, ambillah.
Ambillah, monopolilah, curilah, rampoklah, begallah. Dan aku tak
punya urusan pribadi dengan semua itu. Aku tak punya kepentingan
pribadi terhadap itu semua.
Bertengkarlah manusia.
Bersainglah pembesar-pembesar.
Sikut-sikutanlah kakap-kakap.
Sabot-menyabotlah kalian kaum raksasa. Aku tak punya urusan
pribadi dengan itu semua. Caploklah planet bumi ini, kluwungilah
tujuh samudera, rendamlah badanmu di kawah-kawah gunung.
Jaringlah waktu, zaman, kurun. Cengkeramlah kukumu hinga ke
1998, 2003, dan nyanyikan lagu penyair romantik "Aku ingin hidup
seribu tahun lagi!"
Itu semua tak menyedihkanku. Tak membuat diriku prihatin atau
berang. "Aku pribadi" tak punya urusan dengan keserakahan apapun
di sekelilingku. Adapun kalau engkau mendengarkan ada semacam
keprihatinan, kemarahan atau kesedihan--itu tak berasal dari "diri
pribadi"-ku melainkan dari "diri sosial".
"Diri pribadi"-ku abadi hingga ke Tuhan. "Diri sosial"-ku terbatas:
kalau engkau tiba pada tahap di mana Tuhan mengalungkan
tanganmu sendiri di lehermu, sambil menutup mata, hati, dan
telingamu, serta membuatmu "tak bisa kembali"--maka diri pribadiku
akan tertawa keras-keras karena diri pribadi itu diberi hak oleh
Tuhan untuk bersikap acuh dan meninggalkan segala kebodohan,
segala ketegangan dan penyakit jiwa manusia di muka bumi.
Orang yang capek-capek menghabiskan hidupnya untuk hanya
mencari harta, memeras enerjinya untuk menyabet uang siang dan
malam, serta yang menjual harga kemanusiaannya untuk maling hak
orang lain alias melakukan korupsi--tak ada julukan lain kecuali,
bodoh, tegang, dan sakit jiwa.
Ilmu pengetahuannya tentang dirinya, tentang manusia, tentang
dunia, harta, serta tentang hidup dan mati--mengalami kekeliruan
dan ketidakilmiahan secara mendasar. Ia sangat tegang terhadap
segala yang sudah dimilikinya, yang akan dimilikinya, yang bisa
dimilikinya, yang tak bisa dimilikinya, serta yang ingin dimilikinya.
Itu membuatnya sakit jiwa. Dan merusak negara dan rakyatnya.
Ainun Nadjib, Emha. 1999 (Cet. Ke-2). Titik Nadir Demokrasi, Kesunyian Manusia dalam Negara.
Yogyakarta: Penerbit Zaituna.Hal.229--235.

Minggu, 20 November 2011

Coretan 21 November 2011

Pengertian Membaca Cepat
Membaca cepat adalah perpaduan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitif seseorang dalam membaca. Membaca cepat merupakan perpaduan antara kecepatan membaca dengan pemahaman isi bacaan. Kecepatan membaca yang seseorang harus seiring dengan kecepatan memahami bahan bacaan yang telah dibaca.
Ketika kita membaca cepat suatu bacaan, tujuan sebenarnya bukan untuk mencari kata dan gambar secepat mungkin, namun untuk mengidentifikasi dan memahami makna dari bacaan tersebut seefisien mungkin dan kemudian mentransfer informasi ini kedalam memori jangka panjang dalam otak kita. Kemampuan membaca cepat merupakan keterampilan memilih isi bacaan yang harus dibaca sesuai dengan tujuan, yang ada relevansinya dengan pembaca tanpa membuang-buang waktu untuk menekuni bagian-bagian lain yang tidak diperlukan.
Dalam membaca cepat terkandung di dalamnya pemahaman yang cepat pula. Pemahaman inilah yang diperioritaskan dalam kegiatan membaca cepat, bukan kecepatan. Akan tetapi, tidak berarti bahwa membaca lambat akan meningkatkan pemahaman, bahkan orang yang biasa membaca lambat untuk mengerti suatu bacaan akan dapat mengambil manfaat yang besar dengan membaca cepat. Sebagaimana pengendara mobil, seorang pembaca yang baik akan mengatur kecepatannya dan memilih jalan terbaik untuk mencapai tujuannya. Kecepatan membaca seseorang sangat tergantung pada materi dan tujuan membaca, dan sejauh mana keakraban pembaca dengan materi bacaan.
Media Berlatih Membaca Cepat
Dalam Kegiatan Belajaran Mengajar (KBM), siswa selalu berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru melalui proses pembelajaran. Lingkungan belajar tersebut meliputi tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, dan metodologi pembelajaran. Dalam metodologi pembelajaran, ada dua aspek yang paling menonjol, yaitu metode pembelajaran dan media pembelajaran sebagai alat bantu pembelajaraan.
Media yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca cepat siswa bisa menggunakan transparansi yang dibantu dengan OHP, bisa juga dengan menggunakan software membaca cepat. Media ini memiliki manfaat antara lain (1) pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa, (2) materi pembelajaran lebih jelas maknannya sehingga siswa lebih menudah memahami, (3) metodologi pembelajaran lebih bervariasi, dan (4) pembelajaran terfokus kepada siswa dengan melakukan berbagai aktivitas.
Media pembelajaran membaca cepat yang dapat digunakan dalam meningkatkan kemampuan membaca cepat terbagi atas dua jenis, yaitu (1) media pembelajaran membaca cepat untuk pelatihan awal, dan (2) media pembelajaran membaca cepat untuk pengukuran. Kedua jenis media ini diuraikan secara rinci sebagai berikut.
1) Media Pelatihan Awal
Media pembelajaran membaca cepat yang digunakan untuk pelatihan awal memiliki berbagai variasi. Variasi media pelatihan membaca cepat ini bertujuan untuk (1) melatih gerak mata siswa (fiksasi), (2) melatih konsentrasi, (3) melatih persepsi siswa, dan (4) melatih daya ingat. Keempat variasi media pelatihan awal ini disampaikan kepada siswa sebelum dilakukan pengukuran membaca cepat siswa secara utuh.
Media pelatihan awal membaca cepat yang bertujuan untuk melatih gerak mata memiliki dua variasi. Media pertama berupa dua lingkaran kecil dalam satu garis horizon yang memiliki jarak yang berbeda dalam setiap barisnya. Siswa perlu melihat lingkaran tersebut secara cepat tanpa menggerakkan kepala.
Media yang kedua berupa urutan angka maupun abjad yang diacak dalam sebuah kotak (persegi panjang). Di dalam persegi panjang berikut terdapat dua puluh enam huruf (A – Z) dan angka 1 – 50. Siswa perlu menarik secepat mungkin garis yang menghubungkan huruf atau angka yang ada secara berurutan dengan cepat dan dicatat waktu tempuhnya dengan mengurangi waktu selesai baca dengan waktu mulai baca.
Media pelatihan awal membaca cepat yang bertujuan untuk melatih konsentrasi siswa berupa urutan gambar yang disusun secara vertikal dengan jumlah yang berbeda. Bentuk gambar yang disusun secara vertikal tersebut disesuaikan dengan kebutuhan siswa atau yang biasa ditemui siswa di sekolah. Tanpa menggunakan jari, siswa menghitung jumlah gambar dengan durasi waktu tidak lebih dari 30 detik dan menuliskan pada lingkaran yang tersedia.
Media pelatihan awal lainnya bertujuan untuk melatih persepsi siswa. Media ini berbentuk deretan kata yang disusun secara horisontal maupun vertikal. Siswa mencoret atau berusaha menemukan kata yang sama dengan kata kunci yang telah ditentukan.             Selanjutnya, media pelatihan awal yang bertujuan untuk melatih daya ingat siswa berupa serangkaian gambar maupun angka yang ditunjukkan secara cepat (tidak lebih dari 30 detik) kepada siswa, selanjutnya siswa menggambarkan kembali.
Dari berbagai media pelatihan awal tersebut diharapkan siswa memiliki kemampuan dalam menggerakkan mata dan memiliki daya ingat yang cukup baik.
Media Pengukuran Kemampuan Membaca Cepat Siswa
Sesesorang yang sedang membaca cepat sebuah bacaan hendaknya dapat mengondisikan otak bekerja lebih cepat sehingga konsentrasi akan lebih membaik secara otomatis. Dengan demikian, kemampuan membaca cepat merupakan kemampuan seseorang dalam memadukan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitifnya atau pemahaman isi bacaan melalui menjawab pertanyan-pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan.
Di negara-negara maju, khususnya Amerika, telah dilakukan penelitian tentang kecepatan membaca siswa dalam setiap jenjang pendidikan. Kecepatan membaca siswa Amerika untuk setingkat SD/Diniyah di Indonesia adalah 140 kpm, setingkat SLTP/MTs adalah 140 s.d 175 kpm, setingkat SMA/SMK/MA adalah 175 s.d 245 kpm, dan setingkat perguruan tinggi 245 s.d 280 kpm. Untuk kaum profesional, kecepatan membacanya bisa mencapai 500 kpm.
Untuk mengukur kemampuan membaca cepat siswa, ada dua aspek yang perlu diukur, yaitu aspek kecepatan membaca dan aspek pemahaman. Aspek kecepatan membaca dapat diukur dengan jumlah kata dalam bacaan yang dibaca dibagi dengan selisih antara waktu akhir baca dengan awal baca, sedangkan pemahaman dihitung dengan membagi skor yang diperoleh siswa dengan skor maksimal yang bisa didapat siswa. Hasil perkalian antara kecepatan membaca dengan pemahaman menghasilkan kecepatan efektif membaca (KEM). Secara konkret, rumus kecepatan efektif membaca (KEM) adalah sebagai berikut.
(1)   K x    B = …… kpm (kata permenit)
Wm      Si atau
(2)   K.   (60) x    B = ……. Kpm (kata permenit)
Wd                 Si
Keterangan:
K : jumlah kata yang dibaca                  B : Skor yang diperoleh siswa
Wn: waktu baca dalam satuan menit      Si : Skor ideal atau skor maksimal
Wd: waktu baca dalam satuan detik       kpm : kata perminit
Media pembelajaran untuk mengukur kemampuan kecepatan membaca cepat siswa tentunya berupa sebuah bacaan dan pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur pemahaman siswa. Bacaan dapat diambil dari berbagai media informasi, baik media elektronik maupun nonelektronik.
Media pembelajaran membaca cepat yang bersifat manual ini tentunya membutuhkan tenaga lebih dari para guru, terutama dalam mengoreksi hasil pemahaman siswa. Hal ini bisa diatasi dengan penggunaan software membaca cepat. Software ini telah penulis buat dan sampai saat ini belum penulis hak patentkan, tetapi sudah penulis uji cobakan.
Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Cepat
Kemampuan membaca cepat merupakan kemampuan seseorang dalam memadukan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitifnya atau pemahaman isi bacaan melalui menjawab pertanyan-pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan. Untuk itu, untuk meningkatkan kemampuan membaca cepat, seseorang harus dapat meningkatkan kemampuan motorik dan kemampuan kognitifnya.
Kemampuan motorik dapat ditingkatkan dengan selalu berlatih viksasi. Pelatihan viksasi dapat dilakukan dengan cara: (1) senam mata yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik (melihat lingkaran hitam, mengurutkan abjad dan angka, membaca per kelompok kata, mendata kata yang sama), (2) meningkatkan kemampuan kognitif dengan melatih daya ingat (mengingat angka, mengingat gambar), dan (3) terus berlatih membaca cepat (membaca bacaan dan menjawab pertanyaan).
Dengan demikian, tidak ada kata lain untuk meningkatkan kemampuan membaca seseorang selain berlatih terus menerus dan menjadikan kegiatan membaca sebauh budaya, bukan dipaksakan. Tanpa membaca kita akan menjadi orang yang kerdil, buta pengetahuan luar, dan kurang dapat bersosialisasi. Ingat, informasi terus berjalan dengan derasnya, sedangkan waktu kita tetap dapat setiap harinya, yaitu 24 jam per hari. Untuk itu, tingkatkan kemampuan membaca cepat Anda.

Coretan 20 November 2011

Borobudur, the Biggest Buddhist Temple in the Ninth Century

Who does not know Borobudur? This Buddhist temple has 1460 relief panels and 504 Buddha effigies in its complex. Millions of people are eager to visit this building as one of the World Wonder Heritages. It is not surprising since architecturally and functionally, as the place for Buddhists to say their prayer, Borobudur is attractive.
Borobudur was built by King Samaratungga, one of the kings of Old Mataram Kingdom, the descendant of Sailendra dynasty. Based on Kayumwungan inscription, an Indonesian named Hudaya Kandahjaya revealed that Borobudur was a place for praying that was completed to be built on 26 May 824, almost one hundred years from the time the construction was begun. The name of Borobudur, as some people say, means a mountain having terraces (budhara), while other says that Borobudur means monastery on the high place.
Borobudur is constructed as a ten-terraces building. The height before being renovated was 42 meters and 34.5 meters after the renovation because the lowest level was used as supporting base. The first six terraces are in square form, two upper terraces are in circular form, and on top of them is the terrace where Buddha statue is located facing westward. Each terrace symbolizes the stage of human life. In line with of Buddha Mahayana, anyone who intends to reach the level of Buddha's must go through each of those life stages.
The base of Borobudur, called Kamadhatu, symbolizes human being that are still bound by lust. The upper four stories are called Rupadhatu symbolizing human beings that have set themselves free from lust but are still bound to appearance and shape. On this terrace, Buddha effigies are placed in open space; while the other upper three terraces where Buddha effigies are confined in domes with wholes are called Arupadhatu, symbolizing human beings that have been free from lust, appearance and shape. The top part that is called Arupa symbolizes nirvana, where Buddha is residing.
Each terrace has beautiful relief panels showing how skillful the sculptors were. In order to understand the sequence of the stories on the relief panels, you have to walk clockwise from the entrance of the temple. The relief panels tell the legendary story of Ramayana. Besides, there are relief panels describing the condition of the society by that time; for example, relief of farmers' activity reflecting the advance of agriculture system and relief of sailing boat representing the advance of navigation in Bergotta (Semarang).
All relief panels in Borobudur temple reflect Buddha's teachings. For the reason, this temple functions as educating medium for those who want to learn Buddhism. YogYES suggests that you walk through each narrow passage in Borobudur in order for you to know the philosophy of Buddhism. Atisha, a Buddhist from India in the tenth century once visited this temple that was built 3 centuries before Angkor Wat in Cambodia and 4 centuries before the Grand Cathedrals in Europe.
Thanks to visiting Borobudur and having supply of Buddha teaching script from Serlingpa (King of Sriwijaya), Atisha was able to improve Buddha's teachings after his return to India and he built a religion institution, Vikramasila Buddhism. Later he became the leader of Vikramasila monastery and taught Tibetans of practicing Dharma. Six scripts from Serlingpa were then summarized as the core of the teaching called "The Lamp for the Path to Enlightenment" or well known as Bodhipathapradipa.
A question about Borobudur that is still unanswered by far is how the condition around the temple was at the beginning of its foundation and why at the time of it's finding the temple was buried. Some hypotheses claim that Borobudur in its initial foundation was surrounded by swamps and it was buried because of Merapi explosion. It was based on Kalkutta inscription with the writing 'Amawa' that means sea of milk. The Sanskrit word was used to describe the occurrence of disaster. The sea of milk was then translated into Merapi lava. Some others say that Borobudur was buried by cold lava of Merapi Mountain.
With the existing greatness and mystery, it makes sense if many people put Borobudur in their agenda as a place worth visiting in their lives. Besides enjoying the temple, you may take a walk around the surrounding villages such as Karanganyar and Wanurejo. You can also get to the top of Kendil stone where you can enjoy Borobudur and the surrounding scenery. Please visit Borobudur temple right away...

Coretan 20 November 2011

Prambanan, the Most Beautiful Hindu Temple in the World

Prambanan temple is extraordinarily beautiful building constructed in the tenth century during the reigns of two kings namely Rakai Pikatan and Rakai Balitung. Soaring up to 47 meters (5 meters higher than Borobudur temple), the foundation of this temple has fulfilled the desire of the founder to show Hindu triumph in Java Island. This temple is located 17 kilometers from the city center, among an area that now functions as beautiful park.
There is a legend that Javanese people always tell about this temple. As the story tells, there was a man named Bandung Bondowoso who loved Roro Jonggrang. To refuse his love, Jonggrang asked Bondowoso to make her a temple with 1,000 statues only in one-night time. The request was nearly fulfilled when Jonggrang asked the villagers to pound rice and to set a fire in order to look like morning had broken. Feeling to be cheated, Bondowoso who only completed 999 statues cursed Jonggrang to be the thousandth statue.
Prambanan temple has three main temples in the primary yard, namely Vishnu, Brahma, and Shiva temples. Those three temples are symbols of Trimurti in Hindu belief. All of them face to the east. Each main temple has accompanying temple facing to the west, namely Nandini for Shiva, Angsa for Brahma, and Garuda for Vishnu. Besides, there are 2 flank temples, 4 kelir temples and 4 corner temples. In the second area, there are 224 temples.
Entering Shiva temple, the highest temple and is located in the middle, you will find four rooms. One main room contains Shiva statue, while the other three rooms contain the statues of Durga (Shiva's wife), Agastya (Shiva's teacher), and Ganesha (Shiva's son). Durga statue is said to be the statue of Roro Jonggrang in the above legend.
In Vishnu temple, to the north of Shiva temple, you will find only one room with Vishnu statue in it. In Brahma temple, to the south of Shiva temple, you find only room as well with Brahma statue in it.
Quite attractive accompanying temple is Garuda temple that is located close to Vishnu temple. This temple keeps a story of half-bird human being named Garuda. Garuda is a mystical bird in Hindu mythology. The figure is of golden body, white face, red wings, with the beak and wings similar to eagle's. It is assumed that the figure is Hindu adaptation of Bennu (means 'rises' or 'shines') that is associated with the god of the Sun or Re in Old Egypt mythology or Phoenix in Old Greek mythology. Garuda succeeded in saving his mother from the curse of Aruna (Garuda's handicapped brother) by stealing Tirta Amerta (the sacred water of the gods).
Its ability to save her mother made many people admire it to the present time and it is used for various purposes. Indonesia uses the bird as the symbol of the country. Other country using the same symbol is Thailand, with the same reason but different form adaptation and appearance. In Thailand, Garuda is known as Krut or Pha Krut.
Prambanan also has panels of relief describing the story of Ramayana. Experts say that the relief is similar to the story of Ramayana that is told orally from generation to generation. Another interesting relief is Kalpataru tree that - in Hindu - the tree is considered tree of life, eternity and environment harmony. In Prambanan, relief of Kalpataru tree is described as flanking a lion. The presence of this tree makes experts consider that Javanese society in the ninth century had wisdom to manage its environment.
Just like Garuda, Kalpataru tree is also used for various purposes. In Indonesia, Kalpataru is used as the logo of Indonesian Environment Institution. Some intellectuals in Bali even develop "Tri Hita Karana" concept for environment conservation by seeing Kalpataru relief in this temple. This tree of life is also seen in the gunungan (the puppet used as an opening of traditional puppet show or wayang kulit). This proves that relief panels in Prambanan have been widely known throughout the world.
If you see the relief in detail, you will see many birds on them; they are real birds as we can see on the earth right now. Relief panels of such birds are so natural that biologists can identify their genus. One of them is the relief of the Yellow-Crest Parrot (Cacatua sulphurea) that cites unanswered question. The reason is that the bird only exists in Masakambing Island, an island in the middle of Java Sea. Then, did the bird exist in Yogyakarta? No body has succeeded in revealing the mystery.
You can discover many more things in Prambanan. You can see relief of Wiracarita Ramayana based on oral tradition. If you feel tired of enjoying the relief, you can take a rest in the beautiful garden in the complex. Since 18 September 2006, you can enter zone 1 area of Prambanan temple. The damage caused by the earthquake on 27 May 2006 is being reconstructed. Please come and enjoy Prambanan temple.

Coretan 20 November 2011


PESONA WAJAH GUNUNGKIDUL
Kabupaten Gunungkidul adalah kabupaten yang berada di ujung selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bebarapa tahun terakhir kabupaten ini semakin gagah mengepakan sayap-sayap kesenian, kebudayaan, dan pariwisatanya. Sejumlah objek wisata di Gunungkidul bahkan menjadi tujuan utama wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Kesenian khas dari daerah penghasil ketela pohon ini adalah bersih desa atau istilah di masyarakat Gunungkidul disebut Rasulan. Hampir setiap desa di setiap tahunnya mengadakan acara Rasulan dengan menghadirkan pagelaran wayang kulit, kethoprak, ledhek (tayub), reog, campursari atau kesenian lainnya  yang juga dimeriahkan pasar malam dan berbagai perlombaan pada waktu acara tersebut dilaksanakan. Sehingga tak jarang acara Rasulan berlangsung 4-7 hari dan menelan biaya yang tidak sedikit. Selain biaya, warga juga harus menyediakan masakan-masakan khas Rasulan seperti nasi uduk, rempeyek, sayur cabai, abon atau srondeng, gudheg , mie, daging ayam atau telur untuk ingkung dan sebagainya. Tradisi besar ini biasanya dilaksanakan setelah musim panen yang kedua atau sesudah musim kemarau. Biaya untuk melaksanakan tradisi ini berkisar 30 juta-40 juta. Pada hakikatnya, Rasulan adalah wujud permohonan kepada Tuhan agar kehidupannya diberi keselamatan dan kemudahan mencari rezeki dan juga sekaligus sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas pemberian hasil panen pada tahun itu.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa termasuk Gunungkidul. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden yang umumnya mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ).
Kesenian yang tak kalah terkenal di Gunungkidul adalah Jathilan. Jathilan merupakan kesenian yang menyatukan antara unsur gerakan tari dengan magis. Kesenian yang juga sering disebut dengan nama jaran kepang atau jaran dor ini dapat dijumpai di desa-desa di Jawa, tak hanya di DIY. Pagelaran ini dimulai dengan tari-tarian. Kemudian para penari bak kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Di saat para penari bergerak mengikuti irama musik dari jenis alat musik jenis alat gamelan seperti saron, kendang, dan gong ini, terdapat pemain lain yang mengawasi dengan memegang pecut atau cemeti. Para penari ini juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang tak dapat dinalar oleh akal sehat, misalnya kebal terhadap senjata tajam. Kesenian berikutnya yang sangat memesona adalah reog yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi Rasulan. Reog Gunungkidul biasanya hanya berupa tarian pertempuran antara kelompok kiri dan kanan: hitam dan putih atau merah dan putih yang ditambah dengan adegan warok, bujangganong, kuda lumping, dan penthul-tembem. Musik yang digunakan adalah gamelan dengan komposisi yang amat sederhana, hanya mengandalkan kendang, kenong-kempul dan gong, malam itu ditambah drum atau bedug untuk lebih menimbulkan efek berdegub, seolah panggilan bagi seluruh warga desa untuk menyatu.
Kekhasan Gunungkidul yang membedakannya dengan kabupaten di DIY adalah kesenian musik campursari. Musik campursari menggunakan bahasa jawa dan diiringi alat-alat musik gamelan dengan instrumen langgam dan gending, sehingga dapat dikombinasi dengan instrumen musik barat, atau sebaliknya. Selain, campursari juga dikenal kesenian musik yang mencerminkan rakyat Gunungkidul yang sederhana, ulet, dan dekat dengan alam, yaitu kesenian Rinding Gumbeng yang menyajikan alunan musik khas, indah, melodius, serta dinamis nan ekspresif. Alat musik rinding dan gumbeng adalah seperangkat alat musik yang dibuat dari bahan bambu.
Gunungkidul juga menyuguhkan wisata budaya yang menakjubkan, seperti upacara adat Cing-cing Goling, yaitu upacara selamatan yang berskala besar. Keperluan untuk upacara tersebut misalnya pembuatan tempat upacara, pembelian ayam yang berkisar 500-800 ekor untuk keperluan upacara, pembelian berbagai sesaji, pementasan berbagai kesenian adat berupa cerita rakyat dalam bentuk fragmen yang berkisah tentang cerita pelarian orang-orang dari Kerajaan Majapahit (pada salah satu adegan terlihat puluhan orang berlarian menginjak-injak tanaman pertanian yang terdapat di sekitar bendungan. Berdasarkan kepercayaan masyarakat, tanaman yang diinjak-injak saat berlangsung Upacara Cing-cing Goling itu akan bertambah subur), dan pementasan Tari Cing-cing Goling. Perayaan Upacara Cing-cing Goling digelar di Dusun Gedangan, Desa Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul atau 8 km di sebelah timur Kota Wonosari.
Selain sebagai daerah yang sarat dengan nilai seni dan budya, Gunungkidul adalah daerah yang berbatasan langsung dengan laut selatan, sehingga mempunyai obyek wisata pantai handal yang melimpah. Keindahan kecup laut dan daratan menjadi potensi pariwisata Gunung kidul yang akan menjadi penyumbang bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Obyek wisata pantai di Gunungkidul ini mencapai 46 pantai, yang tersebar di kecamatan Tepus, Tanjungsari, Saptosari, Panggang, Girisubo, dan Purwosari.
Dengan berbagai keistimewaan yang dimiliki Gunungkidul, tak salah jika Gunungkidul pun ikut meningkatkan minat wisatawan untuk berkunjung ke Yogyakarta sebagai kota wisata kedua di Indonesia setelah Bali. (Rita Maya)
                  
                 Rinding Gumbeng                              Jathilan                                  Campursari
      
       Tradisi Rasulan          Reog Gunungkidul             Wayang Kulit

Selasa, 15 November 2011

Coretan 15 November 2011

MENGKRITISI SEBUAH KARYA SASTRA
MELALUI EMPAT PENDEKATAN UTAMA
Nama : Oratna Sembiring
Data Karya Sastra:
Novel Berjudul : “Biola Tak Berdawai”
Pengarang : Seno Gumira Ajidharma
(Adaptasi Film BiolaTak Berdawai)
Penulis Skenario Sekar Ayu Asmara
Tahun Terbit : 2004
Tebal buku : 198 halaman
PENGANTAR
Secara garis besar, berbagai macam pendekatan terhadap karya sastra yang berkembang dalam studi sastra, menurut Abram (Wiyatmi, 2006:78), terdiri dari empat pendekatan utama, yaitu pendekatan (1) mimetik, (2) ekspresif, (3) pragmatik, (4) objektif. Keempat pendekatan tersebut kemudian mengalami perkembangan hingga muncul berbagai pendekatan seperti pendekatan struktural, semiotik, sosiologi sastra, resepsi sastra, psikologi sastra, dan moral.
Lewat makalah ini penulis akan mendekati Novel “Biola Tak Berdawai” Karya Seno Gumira Ajidharma dengan keempat pendekatan utama tersebut. Pengkajian diawali dengan mengetengahkan sinopsis, teori tiap pendekatan dan kemudian “membedah” novel dengan pendekatan yang bersangkutan.
SINOPSIS
Renjani meninggalkan Jakarta, untuk mengubur masa lalunya dan keinginannya untuk menjadi penari balet. Ia pindah ke Yogya dan mengabdikan hidupnya dengan merawat anak-anak tuna daksa yang tidak dikehendaki orang tuanya. Ia dibantu oleh seorang dokter berumur 40 tahun. Mbak Wid. Dewa 8 tahun, menjadi anak kesayangan Renjani dan diperlakukan sebagai anak normal. Renjani terkejut melihat reaksi Dewa, ketika iseng-iseng menari balet.
Hal ini yang membuatnya membawa Dewa ke resital biola. Disitu ia berjumpa dengan Bhisma, mahasiswa musik, 23 tahun. Bhisma tertarik pasa penampilan Renjani dari situlah persahabatan terjalin.
1. PENDEKATAN MIMETIK
Karya sastra tidak lahir dari situasi kosong budaya (Teew, 1980:11). Novel ini didekati secara mimetik. Pendekatan mimetic memiliki pandangan bahwa karya sastra sebagai tiruan alam, kehidupan atau dunia ide. Bagian refleksi sosial budaya menjadi bahan kajian pendekatan ini. Berikut ini akan disajikan synopsis, analisis dan penilaian terhadap novel “Biola Tak Berdawai”. Sebuah novel yang ditulis oleh Seno Gumira Adjidharma yang sebelumnya berbentuk Film yang skenarionya ditulis oleh sekar Ayu Asmara. Berikut ini lewat pendekatan mimesis kita akan meninjau apakah ada kesesuaian antara dunia nyata dengan dunia ide atau apakah karya ini merupakan cerminan dunia nyata.
TANGGAPAN
Latar realitas bagi novel ini kondisi Yogyakarta, lebih luas lagi Indonesia tahun 2002. Sebuah peradaban yang diwarnai dengan penurunan nilai-nilai moral. Ketika dunia diterjang arus globalisasi sekaligus dengan dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Berbagai bentuk pelanggaran menjadi menu harian berbagai media. Termasuk kasus-kasus pembuangan bayi menjadi liputan berita. Sering terjadi bayi-bayi tersebut sebagai hasil hubungan gelap. Ada juga bayi-bayi yang dibuang karena dianggap sebagai aib entah karena lahir cacat atau karena kelahirannya tidak diinginkan.
Tidak jarang juga terjadi pengguguran kandungan atau abortus. Secara etika moral dari saat pertama zigot sudah mempunyai identitas genetis. Semua yang dilakukan di dunia harus menyatakan bahwa dalam arti tertentu mereka beradaa pada saat pembuahan, walaupun embrio muda belum mempunyai identitas persona. (Bertens, 2003:114).
“Kamu buang anakmu?! Sinting kamu Renjani! Kamu gugurkan anakmu ya? Iya Renjani?! Iya?!” (hal 54).
Tokoh Renjani seorang sosok yang pernah menggugurkan kandungannya. Kendati bayi tak berdosa tersebut harus terbentuk akibat hasil perkosaan seharusnya sang bayi memiliki hak untuk hidup. Tetapi tidak terlalu mudah bagi Renjani menerima begitu saja bayi yang tidak diinginkannya itu berkembang dalam rahimnya. Demikianlah dalam kegalauan yang mendalam ia memilih mengakhiri kehidupan sang embrio dari rahimnya.
Moralitas menentang abortus demikian pendapat Soe Tjen marching dalam tulisannya yang bertajuk: “Aborsi, pro life atau pro choice” kompas, 7/7/2003 melibatkan diri dalam suatu diskusi aktual…Pembicaraan ini mengakibatkan pro dan kontra antara legalisir VS anti abortus. Masalahnya adalah apabila kehamilan tidak dikehendaki misalnya karena hasil perkosaan, si wanita tidak menginginkan kehamilannya, di sisi lain janin dalam kandungan juga mempunyai hak hidup. Maka timbullah polarisasi tajam antara pro-chice (pro pilihan) dan pro-life (pro kehidupan) (Bertens, 2004: 139).
Konflik ini diangkat oleh Sekar Ayu Asmara dalam Film Biola Tak Berdawai, yang akhirnya di Novelkan oleh Seno Gumirah Ajidharma.
Memang bayi Cempaka adalah bayi kesekian yang diletakkan di muka pintu pagar…tentu kita masih boleh terheran-heran, jika bayi-bayi tuna daksa dibuang karena keganjilan bentuk upanya, maka alasan membuang bayi yang bukan saja sehat, tetapi juga cantik, montok, dan membuat bahagia setiap orang yang memandangnya? Apakah pembuang bayi itu orang- orang miskin yang kurang pengetahuan? Sepanjang pengalaman pak Kliwon, hanya sekali terjadi da bayi diletakkan seorang pejalan kaki yang datang mengendap-endap di pagi buta. Selebihnya selalu diturunkan dari mobil, yang tidak jarang mewah, dan banyak juga yang nomornya dengan awalan B: mobil-mobil Jakarta. Bahkan Pak Kliwon merasa pernah mengenali wajah salah seorang dari mereka, sebagai wajah yang sering muncul di layer TV. (hal.25).
Fenomena lain diangkat dalam Biola Tak berdawai ini adalah maraknya pembuangan bayi-bayi tak berdosa. Ada yang dibuang di tempat sampah. Ada pula yang diletakkan di depan pintu panti asuhan. Fenomena memprihatinkan ini membawa sebuah kontras yang sangat jelas antara semangat cinta kasih dan ketidakpedulian dalam dalam setiap detil alur cerita novel ini.
Kesimpulan
Gambaran fenomena yang dimuat di dalam novel “Biola tak berdawai” tidak jauh dari realitas sosial yang terjadi saat ini. Hampir setiap hari media massa, baik berupa media cetak maupun televisi menayangkan kasus pembuangan bayi dan abortus. Pergaulan bebas dan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai hidup menjadi salah satu penyebab terjadinya pelanggaran ini.
Di sisi lain diantara keprihatinan yang kian memuncak masihkah ada insan-insan yang menghargai kehidupan seperti sosok Renjani? Renjani yang dulu pernah jatuh dalam pelanggaran pemusnahan sebuah hidup. Pengguguran. Kendati janin itu merupakan hasil perkosaan. Ketidakberdayaannya menerima kehidupan yang lain itu hadir dalam rahimnya membawanya pada suatu bentuk kehidupan yang lain. Yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.
Meninggalkan gegap-gempitanya hidup sebagai penari balet dan mengasingkan diri merangkul jiwa-jiwa tak berdaya, mendekap biola-biola tak berdawai hingga samara-samar bunyinya terdengar kerelung-relung hati terdalam seorang manusia yang berhati. Kontas antara cinta dan ketidakpedulian terpampang jelas dalam novel ini.
Satu hal yang terlalu ideal dalam novel ini adalah: totalitas seorang Renjani yang sudah sangat langka ditemukan pada zaman ini. Kalau pun itu ada pengabdian yang setotal ini hanya ada satu pribadi dalam satu dekade, misalnya: pengabdian penuh cinta Beata Theresia dari Calcutta yang berjuang untuk orang orang miskn dan penderita kusta di India. Totalitas seorang Renjani menjadi semacam bius penghilang rasa sakit atau peri penolong dari negeri dongeng pengantar tidur di saat dunia zaman ini semakin terkoyak oleh kaburnya penghayatan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai warisan leluhur kita.
2. PENDEKATAN EKSPRESIF
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam memandang dan mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan dan luapan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imaginasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. (Wiyatmi, 2006:82).
TANGGAPAN
Pendekatan ekspresif mengkaji sastra bertitik-tolak dari kehidupan pengarangnya. Ini berkaitan dengan latar belakang kehidupan, daerah kelahiran, latar belakang sosialnya, pendidikan, dan pengalaman yang pernah dilewatkannya. Dalam hal ini karya sastra dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang, gerak jiwa, pengembangan imajinasi, fantasi pengarang yang tertuang dalam karyanya.
Novel Biola Tak Berdawai tidak dapat dipisahkan dari dua pengaruh kehidupan dua orang besar Seno Gumira Adjidharma dan Sekar Ayu Asmara. Seno Gumira lahir di Boston, 19 Juni 1958. Adjidharma adalah seorang wartawan dan penulis serba bisa dari generasi baru dalam sastra Indonesia. Tak kurang dari 25 judul buku yang ditulis Seno, terdiri dari esai, cerpen, roma dan juga scenario drama dan film. Buku-buku karya Seno beberapa di antaranya yakni: Atas Nama Malam, Wisanggeni, Sang Buronan, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Biola tak berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja. Seno dikenal sebagai seorang penulis situasi di Timor Timor tempo dulu. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkannya dalam Trilogi buku Saksi Mata (Kumpulan Cerpen), Jazz, dan insiden (Roman) dan ketika Jurnalisme dibungkam, sastra Harus Bicara (kumpulan Esai). Seno juga dianugerahi sejumlah penghargaan, diantaranya South East Asia Write Award.
Sekar Ayu Asmara, adalah sosok kreatif yang enerjik. Lahir di Jakarta, dan pernah bermukim di Afganistan, Turki serta Belanda. Enerji kreatifnya telah muncul selama beberapa dasawarsa dalam bentuk dan dimensi yang berbeda-beda. Sekar pernah berkarir dalam dunia iklan, serta pernah menjadi komposer dan juga penulis lirik lagu untuk artis-artis papan atas. Ia juga tercatat sebagai pelukis yang telah berpameran tunggal. Di dunia penerbitan, buku untuk anak-anak berjudul Ondel-ondel dan Misteri Es Krim yang Hilang merupakan kaarya tulis pertamanya. Karir dalam dunia film, dimulai dengan menjadi produser dan sutradara sejumlah video klip dan program televisi. Tahun 2001, sekar terjun kedunia film menjadi menjadi produser dan produser musik untuk film cerita Ca-bau-kan. Tahun 2003, Sekar memulai debutnya sebagai penulis, produser dan sutraara untuk film karya fenomenal Biola tak Berdawai.
Novel Biola Tak Berdawai lahir dari curahan inspirasi dua tokoh besar yang aktif dalam kehidupan humanistik. Kedua tokoh ini memiliki pengalaman yang holistik dan menyeluruh. Mereka pernah hidup di beberapa benua. Dunia timur dan barat. Pengalaman intelek mereka juga luas. Tidak mengherankan bila karya yang mereka lahir ini sarat dengan muatan pendidikan.
3. PENDEKATAN PRAGMATIK
Pendekatan pragmatik mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, semakin tinggi nilai karya sastra tersebut (Wiyatmi, 2006:86).
TANGGAPAN
Saat kutelan makanan yang disuapkan ibuku.” Anak pintar, dan hanya anak-anak pintar seperti kamu yang boleh tinggal di sini.”Tapi mbak Wid, entah kenapa tersinggung dengan perhatian ibuku yang dianggapnya berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba meninggi. “Anak-anak yang dibuang orang tuanya.Anak-anak yang bikin malu keluarga. Anak-anak yang cacatnya dobel-dobel. Anak-anak yang umurnya tidak lama!” ibuku mengimbangi dengan perlahan. “ Sssst… mbak Wid pun bicara tentang diriku. “Duh Renjani, Renjani, Renjani… saya tahu kamu sangat sayang sama Dewa, tetapi anak itu mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa…” Kuperhatikan kedua perempuan itu. Renjani begitu nama ibuku, seperti selalu mencoba memaklumi Mbak Wid yang betapa pun seperti telah menyerahkan hidupnya demi bayi-bayi cacat di rumah asuh ibu Sejati (hlm.18).
Pada dasarnya novel ini sarat dengan nilai-nilai moral. Dewa sebgai pribadi autis dan tuna daksa secara fisik seorang cacat yang diyakini tidak memiliki kemampuan untuk mengerti bahasa komunikasi manusia normal. Dalam keberadaannya itu renjani tetap memperlakukan Dewa sebagai mana manusia normal. Ia patut dihargai sebagai manusia yang bermartabat.
Ketika kehidupan tidak dihargai lagi, ketika nilai-nilai moral dan semangat cinta kasih tercabik-cabik. Renjani hadir membawa inspirasi dan pengharapan bagi orng-orang yang tidak berdaya. Apa yang dianggap sebagai mitos bahw a dengan cinta kasih dan ketulusan hidup dapat diubah. Ini tercermin dalam kisah ini. Ketulusan cinta Bhisma mendorongnya merawat Dewa ketika Renjani akhirnya meninggal akibat kanker rahim yang ia derita.
“.Aku ternyata memang mendongak di kuburan, bagaikan melihat ibuku terbang seperti bidadari di langit. Bhisma tertegun dengan biolanya. Tanpa kusadari dari mulutku keluar suara. “D…de…f…faa shaa… aaang ..iii..bu..” Bhisma mengangkat dan mendekapku, seperti mendekap cinta ke dalam hatinya (hlm.191).
Hampir keselurauhan watak Renjani dan Bhisma merupakan idealisme sebuah totalitas hidup dalam mencintai. Karya ini menjadi sangat patut dihargai karena memiliki muatan nilai moral yang tinggi. Cocok utnuk dijadikan sebagai sarana penyampaian pesan moral bagi para pembaca. Novel ini mempengaruhi pembaca untuk memiliki ketulusan dan semangat untuk mencintai orang-orang yang tidak berdaya sperti Dewa dan bayi-bayi tuna daksa lainnya sehingga mereka dapat bertumbuh atau setidaknya mampu bertahan hidup dengan penderitaan dan situasi kurang menguntungkan yang mereka alami. Yang menjadi kelemahan dari novel ini adalah jalan cerita yng terlalu idealis. Apakah masih ada seorang Renjani yang totalitasnya seperti yang terdapat dalam Novel ini? Apakah novel ini menjadi hanya sebuah dongeng pengantar tidur belaka?
PENDEKATAN OBJEKTIF
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebgai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek & Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. ( Wellek, melalui Wiyatmi, 2006:87).
TANGGAPAN
Novel biola Tak Berdawai berlatar kota Yogyakarta pada era tahun 2003. pada umumnya setting diketengahkan di Panti asuhan anak-anak tuna daksa. Dengan alur penceritaan flashback hal ini dapat dilihat pada episode novel pada bab 11 (hlm. 77) secara mundur mengisahkan kembali pengalaman buruk atas tindak perkosaan yang dialami Renjani. Penceritaan adegan-adegan dalam novel ini diselingi dengan kisah pewayangan hal ini menyempurnakan penyampaian lapis arti di mana kisah Renjani memiliki kesamaan dengan kisah pewayangan. Kisah-kisah peayangan ini sekaligus digunakan untuk menyampaikan stratum metafisika sebagai unsur yang intrinsik dalam keagungan sebuah tindakan totalitas seorang Renjani dalam pengabdian kepada anak-anak tuna daksa.
Dengan mengetahui norma-norma karya sastra ini, tahulah kita sekarang bahwa menilai karya sastra haruslah kita menilai berdasarkan norma-norma karya sastra itu, kita tidak hanya menilai “isi” dan “bentuk” karya sastra saja tetapi harus menilai sampai di mana kekuatan bunyi dapat dilaksanakan pengarang, bagaimana sastrawan menyusun kata-kata, atau kalimat, menyusun plot, berhasil atau tidakkah, juga sampai di manakah harga atau nilai pikiran-pikiran pengarang yang diungkapkan dalam karya lewat norma-normanya itu, dan bagaimana segi-segi atau norma-norma lainnya (Pradopo,1994:56).
Tanpa dawai, bagaimana biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh, dan suara itulah jiwanya-tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu baaikan biola tak berdawai….(Ajidharma, 2003:1).
Refleksi penulis tentang korelasi antara jiwa dan tubuh digambarkan dengan memetaforakan antara biola dan dawai dengan badan dan jiwa. Tanpa dawai bagaimana biola bisa bersuara? Pilihan kata biola menjadi manifestasi keberadaan tubuh dan jiwa manusia. “menjelmakan jiwa” pilihan kata yang memiliki peran menghadirkan lapis arti syntgma sekaligus lapis suara yang menimbulkan efek bunyi yang indah untuk didengar.
“Kehidupan kepompong bergunakah kehidupan seperti itu? Tentu berguan, jika kepompong Itu akan menjelma menjadi kupu-kupu kembali, melayang menemukan dirinya kembali. Begitu kuat keinginanku untuk mengembalikan kebahagiaan ibuku.” (Ajidharma, 2003:81).
Secara keseluruhan gaya penceriataan novel ini memiliki keseimbangan antara gaya bahasa yang lugas sekaligus penggunaan metafora. Meski pun pemakaian makna khias cukup tinggi intentitasnya namun bahasa dapat dipahami. Makna dan pesan mudah dicerna karena bahasanya sederhana dan menarik.
PENUTUP
Dengan mendekati Novel ini dengan keempat pendekatan yakni lewat pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik dan objektif, pemahaman tentang esensi terdalam dari pesan Novel Biola tak Berdawai semakin dapat ditemukan. Selain lewat pengkajian karya sastra ini ditunjukkan betapa kompleksnya aspek-aspek yang membangun terciptanya novel biola Tak Berdawai.
Pengalaman ini sangat berguna bagi penulis sebagai mahasiswi PBSID karena lewat pengkajian ini pemahaman tentang hubungan antara ketiga disiplin ilmu Sejarah Sastra, Kritik Sastra dan Sastra semakin diperkaya. Pengkajian yang sederhana ini diharapkan dapat diperkembangkan menjadi sesuatu yang berguna bagi kemajuan bersastra dan kegiatan ilmiah penulis.

Coretan 15 November 2011

A. Ekspresi Puisi
1. Menulis Puisi
Ekspresi tulis puisi adalah segala kegiatan yang memungkinkan kita mendapatkan pengalaman artistik dalam menulis puisi. Pada saat Anda menemukan peristiwa yang luar biasa, misalnya jatuhnya pesawat terbang, gerhana matahari total, atau gelapnya siang hari karena letusan sebuah gunung berapi, perasaan apa yang ingin Anda ungkapkan? Apabila Anda mendapatkan hadiah undian ratusan juta rupiah atau bertemu dengan saudara yang telah beberapa tahun menghilang, perasaan apa yang akan Anda luapkan? Sedih, gembira, bahagia, atau campuran dari semuanya? Pengalaman tersebut merupakan bahan berharga apabila diekspresikan melalui puisi.
Barangkali kita tidak dengan sengaja menulisnya sebagai puisi karena hanya menuangkannya, misalnya, ke dalam buku harian. Cobalah buka kembali buku harian Anda. Mungkin Anda akan terkejut karena di sana Anda telah menguntai kata dan kalimat secara emotif. Hal itu tidak saja karena Anda telah mengekspresikan diri Anda sendiri, namun kondisi manusia sebagai homo ludens ‘makhluk bermain’ dan homo fabulans ‘makhluk bersastra’ mendorong kita untuk melakukan semua itu.
Apabila kegiatan menulis buku harian itu kita lakukan sebagai pengisi waktu luang, kini kita akan mencoba berekspresi secara khusus, yaitu dengan menulis puisi lama dan modern. Kegiatan ini, meskipun khusus menulis puisi, hendaknya jangan dianggap terlalu serius. Yang penting adalah mengembangkan imajinasi dan emosi kreatif kita dengan sarana puisi yang sudah kita kenal, yaitu puisi lama dan puisi modern.
a. Menulis Puisi Lama
Puisi lama merupakan puisi yang terikat oleh syarat-syarat, seperti jumlah larik dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik, pola rima dan irama, serta muatan setiap bait. Silakan Anda perhatikan puisi
lama berikut:
dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali
dari mana datangnya cinta
dari mata turun ke hati.
Puisi di atas adalah salah satu bait puisi lama dalam bentuk pantun. Apabila Anda akan menulis puisi lama dengan bentuk demikian, syaratsyarat yang harus Anda patuhi adalah jumlah larik dalam setiap baitnya harus berjumlah empat, jumlah suku kata dalam setiap lariknya harus antara delapan dan dua belas, rimanya mesti berpola a-b-a-b (larik ke-1 dan larik ke-3 mesti sama, demikian juga larik ke-2 dan larik ke-4), dan dua larik pertama mesti memuat sampiran, sedangkan dua larik terakhir mesti memuat isi, makna, amanat, atau pesan pantun.
Penyebutan puisi lama disebabkan adanya fenomena puisi setelahnya yang dianggap baru. Namun, yang lebih perlu Anda pahami adalah bahwa puisi lama merupakan pancaran masyarakat lama atau warisan budaya nenek moyang kita yang masih hidup dalam tradisi lisan. Karena tradisi ini menuntut orang mengingat dan menghafal, maka wajar saja jika dalam puisi lama terkandung syarat-syarat tertentu. Di sisi lain, syarat-syarat tersebut karena dijadikan sarana dalam berekspresi secara berulang-ulang, maka jadilah formula atau kaidah tetap yang menjadi ciri setiap bentuk puisi. Bentuk lainnya yang juga termasuk puisi lama adalah bidal, gazal, gurindam, mantra, masnawi, nazam, kithah, rubai, seloka, syair, talibun, dan teromba.
Meskipun bentuk puisi lama cukup banyak, kita akan menekuninya sebagian saja, terutama yang masih memengaruhi penulisan puisi modern, yaitu pantun, syair, dan mantra.
(1) Pantun
Seperti sudah disinggung sebelumnya, pantun merupakan ragam puisi lama. Baitnya terdiri atas empat larik dengan rima akhir a-b-a-b. Setiap larik biasanya terdiri atas empat kata atau delapan sampai dengan 12 suku kata dan dengan ketentuan bahwa dua larik pertama selalu merupakan kiasan atau sampiran, sementara isi atau maksud sesungguhnya terdapat dalam larik ketiga dan keempat. Berdasarkan struktur dan persyaratannya, pantun dapat terbagi ke dalam pantun biasa, pantun kilat atau karmina, dan pantun berkait.
Pantun biasa adalah pantun seperti kita kenal lazimnya dan rincian persyaratannya telah kita singgung di atas, namun dengan tambahan, isinya berisi curahan perasaan, sindiran, nasihat, dan peribahasa. Pantun biasa pun dapat selesai hanya dengan satu bait. Perhatikanlah pantun berikut, yang termasuk pantun biasa dan cukup populer karena dijadikan lirik sebuah lagu oleh Rhoma Irama:
Berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian.
Pantun kilat atau karmina memiliki syarat-syarat serupa dengan pantun biasa. Perbedaan terjadi karena karmina sangat singkat, yaitu baitnya hanya terdiri atas dua larik sehingga sampiran dan isi terletak pada larik pertama dan kedua. Perhatikanlah beberapa karmina berikut:
Ada ubi ada talas,
Ada budi ada balas.
Anak ayam pulang ke kandang,
Jangan lupa akan sembahyang.
Satu dua tiga dan empat,
Siapa cepat tentu dapat.
Pantun berkait, kadang-kadang juga disebut dengan pantun berantai, merupakan pantun yang sambung-bersambung antara bait satu dan bait berikutnya. Dengan catatan, larik kedua dan keempat setiap bait pantun akan muncul kembali pada larik pertama dan ketiga pada bait berikutnya:
Tanam melati di rumah-rumah
ubur-ubur sampingan dua
Kalau mati kita bersama
Satu kubur kita berdua.
Ubur-ubur sampingan dua
Tanam melati bersusun bangkai
Satu kubur kita berdua
Kalau boleh besusun bangkai
Meskipun pantun merupakan puisi lama, tidak ada yang akan melarang apabila kita memanfaatkannya sebagai sarana pergaulan kini. Terlebih-lebih, aspek didikan dan hiburan sebagai fungsi sastra dalam mayarakat lampau kita tidak terpisahkan di dalamnya. Contoh pantun di atas dapatlah dijadikan sebagian bukti.
Apabila kata-kata dalam contoh pantun tersebut dianggap terlalu arkais dan kemelayu-melayuan, kita dapat menggantinya dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Tentunya, semua kita lakukan dengan tetap mengikuti formula dan syarat-syarat sebuah pantun. Misalnya, dalam acara hiburan di salah satu televisi swasta, pantun yang bersifat humor telah menjadi paket acara tersendiri. Dalam acara rekreasi ke tempat objek wisata, ulang tahun, atau perpisahan, berbalas pantun melalui iringan gitar dapat pula dijadikan kegiatan pelepas lelah dan media berkenalan. Dengan pantun kita pun dapat memanfaatkan kelebihan dan kekurangan orang lain atau diri sendiri sebagai bahan gelak tawa, lelucon, dan banyolan yang dapat menyegarkan suasana. Di sela-sela kesibukan kuliah pun kita dapat membuat pantun, seperti berikut ini:
silau lentera di dalam tenda
tikus sawah di atap bambu
walau usia masihlah muda
lulus ujian tetaplah perlu.
burung perkutut di atas galah
kayu cendana dibuat bangku
tuntut ilmu tiada lelah
jadi sarjana cita-citaku
Apabila formula pantun di atas dianggap cukup panjang, kita dapat memanfaatkan karmina sebagai alat pergaulan. Biasanya para remaja menuliskan catatan tambahan dalam surat yang dituliskannya kepada
seorang teman dengan karmina berikut:
empat kali empat enam betas,
sempat tidak sempat harus dibalas.
Seorang ketua tingkat dapat pula menempelkan secarik kertas di papan
pengumuman dengan karmina berikut:
makan kupat disiram kuah,
jangan lupa kita kuliah.
(2) Syair
Syair bersumber dari kesusastraan Arab dan tumbuh memasyarakat sekitar abad ke-13, seiring dengan masuknya agama Islam ke nusantara. Seperti halnya pantun, syair memiliki empat larik dalam setiap baitnya; setiap larik terdiri atas empat kata atau antara delapan sampai dengan dua belas suku kata. Akan tetapi, syair tidak pernah menggunakan sampiran. Dengan kata lain, larik-larik yang terdapat dalam syair memuat isi syair tersebut. perbedaan pantun dan syair terletak juga pada pola rima. Apabila pantun berpola a-b-a-b, maka syair berpola a-a-a-a.
Karena bait syair terdiri atas isi semata, maka antara bait yang satu dan bait lainnya biasanya terangkai sebuah cerita. Jadi, apabila orang akan bercerita, syair adalah pilihan yang tepat. Cerita yang dikemas dalam bentuk syair biasanya bersumber dari mitologi, religi, sejarah, atau dapat juga rekaan semata dari pengarangnya. Syair yang cukup terkenal yang merupakan khazanah sastra nusantara, misalnya Syair Perahu karya Hamzah Fansuri, Syair Singapura Dimakan Api karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Syair Bidasari, Syair Abdul Muluk, Syair Ken Tambunan, Syair Burung Pungguk, dan Syair Yatim Nestapa. Marilah kita sejenak memperhatikan beberapa bait pengantar Syair Burung Pungguk:
Bismillah itu mulia dikata
Limpah rahmat terang cuaca
Berkat Mohammad penghulu kita
Ialah penghulu alam pendeta
Al rahman itu sifat yang sani
Maknanya murah amat mengasihani
Kepada mumin hati nurani
Di situlah tempat mengasihani
Al rahim itu pengasihan kita
Kepada Allah puji semata
Itulah Tuhan yang amat nyata
Memberi hambanya berkata-kata
Dengarkan tuan suatu rencana
Dikarang oleh dagang yang hina
Sajaknya janggal banyak tak kena
Dari pada akal belum sempurna
(3) Mantra
Mantra adalah rangkaian kata yang mengandung rima dan irama. Masyarakat zaman dulu percaya bahwa mantra itu mengandung kekuatan gaib. Mantra biasanya diucapkan oleh seorang dukun atau pawang untuk melawan atau menandingi kekuatan gaib lainnya. Namun, hakikat mantra itu sendiri adalah doa yang diucapkan oleh seorang pawang dalam keadaan trance ‘kerasukan’. Di dalam mantra yang penting bukan makna kata demi kata, melainkan kekuatan bunyi yang bersifat sugestif.
Karakteristik mantra memang sangat unik. Karena keunikan itulah kita tidak dapat membandingkan bentuknya dengan puisi yang telah kita singgung sebelumnya, baik dengan pantun maupun syair. Terlebih-lebih, mantra hanya dapat dilontarkan oleh orang yang dianggap telah memiliki syarat-syarat tertentu. Namun, untuk kepentingan ekspresi, tidak ada salahnya apabila kita mencoba untuk membuat mantra. Meskipun formula mantra tidak sekaku pantun dan syair, kita perlu juga mengetahuinya sehingga memudahkan kita untuk menyusunnya. Menurut Umar Junus (1983:135), ciri-ciri mantra adalah sebagai berikut:
a. Di dalam mantra terdapat rayuan dan perintah.
b. Mantra mementingkan keindahan bunyi atau permainan bunyi.
c. Mantra menggunakan kesatuan pengucapan.
d. Mantra merupakan sesuatu yang utuh, yang tidak dapat dipahami melalui bagian-bagiannya.
e. Mantra merupakan sesuatu yang tidak dipahami oleh manusia karena merupakan sesuatu yang serius.
f. Dalam mantra terdapat kecenderungan esoteris (khusus) dari kata-katanya.
Sebagai contoh marilah kita perhatikan mantra berikut ini, yang biasa
diucapkan pawang ketika mengusir anjing galak.
Pulanglah engkau kepada rimba sekampung,
Pulanglah engkau kepada rimba yang besar,
Pulanglah engkau kepada gunung guntung,
Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu,
Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,
Pulanglah engkau kepada mata air yang tiada kering,
Jikalau kau tiada mau kembali, matilah engkau.
Kita belajar untuk membuat mantra bukan karena kemanjuran dan daya gaibnya sebab anggapan seperti itu hanya terdapat dalam keyakinan dan kepercayaan nenek moyang kita dahulu. Kita kini mempelajarinya sebagai kegiatan kreatif dalam penulisan puisi. Terlebih-lebih puisi modern yang akan kita bicarakan nanti masih memanfaatkan puisi lama, khususnya pantun dan mantra, sebagai alat ucap puitiknya.
b. Menulis Puisi Modern
Puisi modern dianggap berbeda dengan puisi lama sehingga ada yang menyebutnya dengan “puisi baru”. Karena puisi modern tidak terikat lagi oleh syarat-syarat seperti pantun, syair, dan mantra, maka ada juga orang yang menyebutnya dengan “puisi bebas”. Selain itu puisi modern adalah puisi yang ditulis kini dan ada di sekitar kita kini, maka ada juga yang menyebutnya dengan “puisi mutakhir” dan “puisi kontemporer”.
Puisi lama dengan puisi modern meskipun berbeda tidaklah bertolak belakang sepenuhnya. Dalam pertumbuhan awal puisi modern kita masih dapat melihat pengaruh puisi lama di dalamnya, seperti tampak dalam puisi Sanusi Pane berikut:
DIBAWA GELOMBANG
Alun membawa bidukku perlahan,
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.
Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad,
Dengan damai mereka meninjau,
Kehidupan bumi, yang kecil amat.
Aku bernyanyi dengan suara,
Seperti bisikan angin di daun;
Suaraku hilang dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun.
Alun membawa bidukku perlahan,
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tdak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.
Puisi di atas terdiri dari empat larik setiap baitnya, per larik lebih kurang empat kata atau delapan sampai dengan dua belas suku kata dan berpola rima akhir a-b-a-b. Apabila kita perhatikan selintas, puisi tersebut sama dengan pantun. Namun, apabila kita telaah lebih lanjut ternyata di dalamnya tidak terdapat sampiran. Apakah puisi ini berbentuk syair? Syair memang tidak memiliki sampiran, akan tetapi rima akhirnya mesti berpola a-a-a-a. Selain itu, isi puisi di atas bukanlah cerita melainkan tumpahan rasa sebagai manusia yang tengah terombang-ambing sendirian di atas perahu dan di laut lepas. Gambaran manusia seperti itu tampaknya bukanlah khusus ditujukan kepada pengarangnya sendiri melainkan untuk manusia pada umumnya. Dengan demikian puisi ini memang menggambarkan manusia secara konkret, namun justru untuk menunjukkan keadaannya yang abstrak. Dengan kata lain, puisi ini menyimbolkan hidup manusia. Kecanggihan semacam ini tampaknya tidak pernah terdapat dalam puisi lama, baik pantun maupun syair.
Di samping itu ada juga penyair modern yang menunjukkan pembaharuan puisi dengan sarana estetika puisi lama. Hal itu dapat dianggap sebagai ironi atau kritik terhadap puisi lama, seperti tampak dalam puisi Rustam Effendi berikut:
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi,
Pandai menggubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
musti merantut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit menekat,
sebab terkurang lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
Sanusi Pane dan Rustam Effendi adalah sastrawan yang tergolong ke dalam Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini hidup sekitar tahun 1930-an sampai dengan awal tahun 40-an. Akan tetapi pengaruh puisi lama terhadap puisi modern tidaklah berhenti pada angkatan tersebut. Para penyair setelahnya, seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Sitor Situmorang pun masih menampakkan pengaruh itu, seperti tampak pada puisi “Beta Patti Rajawane”. “Mantera”, dan “Lagu Gadis Itali”. Bahkan, dalam puisi-puisi mutakhir kini, seperti karya Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan Hamid Jabbar unsur-unsur lama itu tampak sekali. Semua itu dapat membuktikan bahwa para penyair modern tidak membuang begitu saja warisan para pendahulunya, melainkan menjadikannya sebagai sarana, bahan pengalaman artistik dan estetik, serta titik tolak penciptaan puisinya. Dengan kata lain, mereka masih tetap mempertimbangkan tradisi para pendahulunya.
Uraian di atas menunjukkan kepada kita bahwa untuk sampai pada pemahaman puisi modern, kita dapat bertolak dari puisi lama. Demikian pula untuk sampai pada penulisan puisi modern, kita dapat memulainya dengan menulis puisi lama. Jadi, tidaklah sia-sia kreativitas yang telah kita lakukan. Sekarang marilah kita mempersiapkan diri untuk membuat puisi modern. Namun, sebelum sampai pada proses kreatif penciptaan yang bersifat idividual, kita akan bersama-sama mencoba untuk melatih imajinasi dan daya kreatif kita dengan mengikuti latihan berikut.
(1) Mendeskripsikan Objek Konkret secara Emotif
Objek konkret yang kita inderai seperti: kucing peliharaan, bunga melati, gunung, laut, dan air terjun dapat menjadi bahan pokok puisi kita. Penyair Abdul Hadi W.M. (dalam Eneste, ed,. 1984) pernah berujar, “Saya paling suka menulis puisi jika hujan sedang turun atau sambil melihat kolam air yang memantulkan bayang-bayang benda di atasnya atau langit”. Jika penyair saja menyukai objek yang kasatmata sebagai ilham bagi puisi-puisinya apalagi kita yang baru mau belajar. Cara yang mudah adalah dengan mendeskripsikan seluk-beluk objek tersebut. Akan tetapi, karena kita tengah berlatih menulis puisi, deskripsi kita hendaknya dibangun dengan menggunakan bahasa yang bersifat emotif. Misalnya, ketika tengadah ke langit malam hari, seseorang takjub pada ribuan bintang yang tertebar di atas langit. Kemudian, ia mendeskripsikannya melalui puisi berikut:
Bintang
kemerlap jauh di atas sana
tertebar di langit hitam
Bintang
bertebaran ribuan jumlah
berhamburan melimpah ruah
Bintang, bintang, bintang!
Kapan kau terhampar di tanah
agar manusia tak kehilangan arah.
1972
(2) Mengurai Nama Diri
Nama adalah identitas pokok diri kita. Manusia dapat saling mengenal dan menyapa karena memiliki nama. Betapa kecewanya seseorang saat namanya tidak tercantum dalam daftar orang-orang yang berhak mengikuti ujian. Saat mendapatkan ratusan nama yang berhak mendapatkan hadiah undian sebuah produk sabun di sebuah surat kabar, tentu Anda tidak bergembira karena nama Anda tidak tercantum di dalamnya. Sebaliknya, Anda berteriak kegirangan manakala huruf A sejajar dengan nama Anda dalam sebuah daftar nilai ujian. Semua membuktikan bahwa kita sangat peduli dengan nama kita sendiri.
Kepedulian terhadap nama diri dapat dimanfaatkan untuk belajar menulis puisi. Caranya, yaitu dengan menderetkan nama kita secara vertikal. Misalnya, orang yang bernama Rizal dapat mengurai namanya seperti berikut:
R
I
Z
A
L
Kemudian, kembangkanlah imajinasi dan kreativitas Anda untuk melanjutkan setiap inisial atau huruf awal tersebut. Yang paling mudah adalah menguraikan keadaan atau pengalaman diri sendiri. Anggap saja, misalnya Rizal adalah seorang remaja yang sedang melamun untuk sampai pada hari ulang tahunnya yang ketujuh belas. Ia menulis namanya di buku harian dengan mengurainya menjadi sebuah puisi.
Riangnya hati ketika datang suatu hari
ltulah ulang tahun yang telah lama dinanti
Zikir dan syukur kepada-Nya
Adalah tindakan yang paling utama
Lalu, aku undang semua teman dan saudara
(3) Menulis Puisi Berdasarkan Tokoh dalam Sejarah, Mitologi, atau dalam Karya Sastra
Karya sastra cerpen, novel/roman, drama, atau puisi yang telah kita baca dapat juga dijadikan media dalam belajar menulis puisi. Apabila Anda menyenangi tokoh tertentu dalam sebuah novel, Anda dapat saja menulis puisi berdasarkan tokoh tersebut. Puisi tersebut dapat merupakan suara tokoh tersebut (tokoh menjadi aku lirik), atau komentar kita mengenai tokoh tersebut. Selain karya sastra, tokoh dalam sejarah, wayang, atau mitologi dapat juga kita jadikan bahan penulisan puisi. Sebagian besar di antara kita tentu sudah mengetahui bahwa salah satu puisi Chairil Anwar yang berjudul “Diponegoro” atau puisi Amir Hamzah yang berjudul “Hang Tuah” bersumber dari mitos pahlawan. Perhatikanlah puisi berikut, yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono. Puisi tersebut bersumber dari cerita wayang, yaitu Arjuna Sasrabahu atau Sumantri Ngenger.
PESAN
Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya. Kami saling mencintai, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan….
(4) Mengkonkretkan Puisi dengan Bantuan Gambar
Kadang-kadang orang yang memiliki bakat lebih dari satu seni tidak akan pernah puas ketika dia membuat sebuah karya seni. Ada sebagian penyair yang mengkonkretkan puisi dengan tambahan gambar atau membentuk tipografi puisi sesuai dengan keinginannya. Sebaliknya, ada juga pelukis yang menambahkan kata-kata ke dalam lukisannya, seperti yang terjadi pada Zaini atau Herry Dim. Untuk puisi, kita dapat menyebut Sutardji Calzoum Bachri sebagai salah seorang penyair puisi konkret. Kemudian, apa yang terbayang dalam benak kita ketika membaca puisi Akhudiat berikut ini:
( ( (plung) ) )
Puisi yang dikonkretkan melalui gambar, yang dikenal dengan puisi konkret, memang bukan hal yang baru. Di Amerika penyair E.E. Cummings pernah melakukannya, demikian pula penyair Appolonaire di Prancis. Apabila kita kini belajar menulis puisi konkret, tentu tujuannya bukan untuk membuat pembaharuan, melainkan untuk merangsang dan mengembangkan imajinasi. Hal ini dapat kita mulai, misalnya dengan membuat puisi tentang bunga, rumah, atau benda konkret lainnya, kemudian tipografi dan kaligrafinya kita susun sehingga serupa dengan objek yang kita jadikan bahan penulisan puisi.
(5) Menulis Puisi Berdasarkan Pengalaman Diri
Kita sering kali mendengar kata-kata, ” Orang dapat menulis puisi ketika sedang jatuh cinta”, atau “Kesedihan akan berkurang apabila dituangkan melalui puisi”. Kata-kata tersebut, meskipun belum tentu menghasilkan puisi yang bermutu dari segi estetik, dapat Anda manfaatkan sebagai bahan berlatih dalam menulis puisi. Terlebih-lebih, manusia sebagai makhluk hidup tidak akan luput dari pengalaman, baik yang menyedihkan maupun yang membahagiakan. Pengalaman itu tidak perlu Anda tunggu sampai datang karena Anda dapat menghadirkan kembali pengalaman yang telah lampau. Ketika Chairil Anwar ditinggal nenek yang dicintainya, ia sangat sedih. Namun, kesedihan itu ia konpensasikan menjadi kegiatan kreatif sehingga ia mampu menciptakan sajak berikut:
NISAN
untuk neneknda
bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Beberapa cara latihan di atas tampaknya masih umum sebab tujuannya sekedar merangsang imajinasi agar dapat berkreasi dengan menulis puisi. Namun, manfaatnya tak dapat diragukan sebab untuk belajar menulis puisi tidak ada jawaban lain, seperti kata Saini K.M., kecuali…”Tulis!”
2. Membacakan Puisi
Istilah “baca puisi” (poetry reading) sudah akrab di telinga kita. Untuk meluncurkan antologi puisinya, penyair sering kali mengadakan acara baca puisi sebelum kritikus mengulasnya. Acara hari-hari besar, seperti HUT RI, Hari Pahlawan, atau acara penarik simpati dan solidaritas terkadang juga diisi dengan baca puisi. Selain itu, acara khusus yang bersifat kompetisi pun sering kali diselenggarakan.
Akan tetapi, perdebatan acap kali muncul manakala baca puisi dikaitkan dengan istilah lainnya, yaitu “deklamasi”. Kedua istilah itu ada yang membedakannya secara hitam putih sehingga muncul fenomena yang aneh. Baca puisi adalah berdiri mematung dengan teks puisi di tangan serta berusaha tidak bergerak dan deklamasi adalah membaca puisi yang telah dihafal dengan tambahan gerak artifisial. Apakah pembedaan itu memang demikian?
Memang harus kita akui, pemahaman orang terhadap kedua istilah tersebut belumlah sama. Mursal Esten (1987) dan Erizal Gani (1989) menganggap deklamasi dan baca puisi merupakan fenomena seni yang berbeda.
Dalam membedakan kedua istilah itu, biasanya orang langsung menghubungkan dengan kiprah Rendra sepulang dari Amerika. Baca puisi, katanya, merupakan oleh-oleh Rendra dari Negeri Paman Sam, yang langsung menggilas tradisi deklamasi di tanah air. Padahal, Rendra sendiri tidak membedakan kedua istilah itu. Bahkan, di Barat pembedaan baca puisi tidak dihubungkan dengan deklamasi melainkan dikontraskan dengan puisi oral (oral poetry). Menurut Preminger (1974:967–970), baca puisi merupakan tradisi baru, yaitu tradisi masyarakat yang telah mengenal dunia baca-tulis atau keberaksaraan, sementara puisi oral sebaliknya, yaitu tradisi masyarakat yang masih berada dalam dunia keniraksaraan.
a. Dasar-Dasar dan Petunjuk dalam Membaca Puisi
Apabila kita menyaksikan orang membaca puisi, adegan itu sebenarnya hanya merupakan tahap akhir yang tampak ke permukaan. Kualitas tahap akhir ini bergantung pada tahap-tahap sebelumnya yang dapat kita sebut tahap dasar. Menurut Aritonang (1990), dasar-dasar baca puisi itu mencakup olah vokal, olah musikal, olah sukma, olah mimik, olah gerak, dan wawasan kesastraan. Apabila dasar-dasar ini telah kita kuasai, selanjutnya kita akan sampai pada proses pembacaan. Dalam proses pembacaan inilah kita berusaha mencapai kualitas baca puisi secara optimal. Hal itu dapat dimungkinkan apabila kita mengikuti tahap pembacaan sebagai berikut:
a. Membaca dalam hati (agar puisi tersebut terapresiasi secara penuh).
b. Membaca nyaring (agar pembaca dapat mengatur daya vokal, tempo, timbre, interpolasi, rima, irama, dan diksi).
c. Membaca kritis (dengan mengoreksi pembacaan sebelumnya: segisegi apa yang masih kurang dan bagaimana cara mengatasinya).
d. Membaca puitis.
Untuk sampai pada pembacaan puisi yang kita idam-idamkan, yaitu membaca puitis, kita dapat juga mengikuti petunjuk yang disarankan oleh Mursal Esten (1987):
a. Perhatikanlah judul puisi.
b. Lihatlah kata-kata yang dominan.
c. Selamilah makna konotatif.
d. Dalam mencari dan menemukan makna, yang benar adalah makna yang sesuai dengan struktur bahasa.
e. Tangkaplah pikiran yang ada dalam puisi dengan memparafrasekannya.
f. Jawablah apa dan siapa yang dimaksud dengan kata ganti dan siapa yang mengucapkan kalimat yang diberi tanda kutip.
g. Temukanlah pertalian makna tiap unit puisi (kata demi kata, frase demi frase, larik demi larik, dan bait demi bait).
h. Carilah dan kejarlah makna yang masih tersembunyi.
i. Perhatikanlah corak dan aliran sajak yang kita baca (imajis, religius, liris, atau epik?).
j. Tafsiran kita terhadap puisi mesti dapat kita kembalikan kepada teks puisi itu sendiri.
b. Rampak Puisi
Istilah rampak puisi tampaknya hanya dikenal di daerah Jawa Barat sebab merupakan analogi dari rampak kendang. Barangkali istilah ini sepadan dengan istilah yang digunakan oleh Rusyana (1982), yaitu “paduan baca” puisi.
Rampak puisi dapat dianggap sebagai varian dari baca puisi sebab pembacanya masih mengandalkan teks puisi. Perbedaannya, apabila baca biasa dilakukan oleh seorang pembaca, rampak puisi lazimnya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Selain itu, rampak puisi memiliki beberapa keuntungan. Misalnya, dalam membaca puisi epik atau naratif, pembaca puisi tunggal harus dapat membedakan narasi dan karakter tokoh, sedangkkan dalam rampak puisi,hal itu merupakan tugas bersama. Dalam membaca puisi, sebut saja, “Penangkapan Sukra” secara rampak, kita tinggal menyesuaikan para pembaca dengan karakter tokoh: siapa yang menjadi narator, Sukra, Putra Mahkota, perempuan yang menjerit, dan kelompok koor. Sebagian pembaca dapat juga bertugas memberi efek suara tertentu, seperti suara serigala, kuda, tombak yang dihentakkan, suara batin Sukra. atau suara keramaian orang.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, rampak puisi tidak perlu memanfaatkan pentas secara optimal. Pembaca puisi hanya berusaha agar pembacaannya puitis dan agar tidak mengganggu pandangan penonton, para pembaca mestilah mengatur posisi bacanya sehingga “enak” dipandang.
c. Dramatisasi Puisi
Dalam Kamus lstilah Sastra (1986) suntingan Panuti Sudjiman disebutkan bahwa dramatisasi sepadan dengan istilah “dramaan”. Batasan kedua istilah tersebut adalah pengalihan karya sastra, baik puisi, cerpen, dan lainnya menjadi drama. Dengan demikian, dramatisasi puisi dapat berarti “mendramakan puisi”. Dalam hal ini, puisi mesti tunduk pada kaidah-kaidah drama. Misalnya, apabila dalam konvensi drama terdapat kramagung/teks samping/petunjuk pengarang dan wawancang/dialog/ cakapan, maka dalam dramatisasi puisi pun demikian. Pendeknya, jika kita akan menampilkan dramatisasi puisi di atas pentas, syarat utama yang harus kita lakukan adalah memahami terlebih dahulu konvensi drama pentas sehingga kita mesti menguasai penataan pentas (skeneri), blocking dan acting yang benar.
Dramatisasi puisi memang mesti bertolak dari puisi. Akan tetapi, agar puisi itu sesuai dengan kaidah pemanggungan, maka seyogianyalah apabila puisi tersebut ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam drama.
d. Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi adalah menggubah puisi menjadi sebuah lagu. Dengan demikian, antara puisi dan musik harus memiliki keselarasan. Sepintas memang tidak terdapat perbedaan antara musikalisasi puisi dan lagu yang diiringi musik. Bukankah lagu juga bersumber dari lirik puisi? Syair atau lirik lagu biasanya dibuat setelah musik tercipta. Namun, dapat juga pemusik menciptakan musik dan lirik lagunya secara bersamaan. Bahkan, Ebiet G. Ade biasa membuat syair terlebih dahulu sebelum menyusun partitur musiknya. Meskipun demikian, tidak ada keharusan bagi pemusik untuk tunduk kepada lirik lagu. Jika perlu, untuk menyelaraskan lirik dengan musik dapat saja kita mengubah atau mengganti kata-kata syair tersebut. Dalam musikalisasi puisi tidaklah demikian. Hal itu disebabkan puisinya sudah tercipta dan merupakan salah satu bentuk seni, yaitu karya sastra. Dengan demikian,
dalam musikalisasi, aransemen musik tidak boleh mengubah puisi. Puisi harus tetap utuh. Di sinilah kita dituntut untuk lebih kreatif karena dalam musikalisasi puisi yang ideal, aransemen musik mesti dapat menangkap karakter puisi yang digubah. Misalnya, puisi yang bersuasana muram dan sedih selayaknyalah apabila ditampilkan dalam nada dan irama musik yang bernuansa muram dan sedih pula.
Contoh konkret musikalisasi puisi sebenarnya sudah kita kenali. Misalnya, grup Bimbo pernah menyanyikan lagu “Salju” yang bersumber dari puisi Wing Karjo atau “Sajadah Panjang” yang bersumber dari puisi Taufik Ismail. Akan tetapi, grup Bimbo tidak pernah mengkhususkan diri pada musikalisasi puisi. Puisi-puisi yang mereka gubah barangkali karena dianggap sesuai dengan karakter musik mereka. Contoh yang sangat tepat untuk musikalisasi adalah album kaset Hujan Bulan Juni dan Hujan dalam Komposisi yang diproduksi oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kedua album ini memang khusus direkam untuk kepentingan musikalisasi puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono.
Untuk kepentingan apresiasi puisi, memusikalisasi puisi dapat dijadikan kegiatan penguatan (reinforcement). Yang penting, Anda memiliki kepekaan rasa sehingga dapat menyelaraskan karakter musik dengan puisi yang kita pilih sebagai lirik lagunya. Kita pun tidak perlu terpaku pada musikalisasi puisi yang telah ada. Misalnya, apabila Anda mengadakan lomba musikalisasi puisi, materi lomba tidak perlu puisi yang sudah dimusikalisasi karena ini akan menimbulkan pemajalan daya kreativitas. Biarkanlah peserta lomba berkreativitas untuk memadukan karakter puisi dengan musik yang dimainkan. Alat musik pun tidak harus selamanya gitar, piano, biola, dan alat musik modern lainnya. Alat musik etnik, seperti rebana, rebab, kecapi, gamelan, gong, dan gendang dapat menghasilkan musikalisasi puisi yang eksotik dan ebih bernuansa warna lokal. Bukankah yang membuat menarik pementasan musikalisasi puisi kelompok Sanggar Matahari Jakarta dan Kiai Kanjeng-nya Emha Ainun Nadjib adalah musik etniknya juga? Kemudian, apabila kita hubungkan dengan karakter puisi Indonesia, bukankah unsurunsur etnik atau warna lokal juga merupakan bagian senyawa yang tak terpisahkan?
B. Ekspresi Prosa
1. Menulis Prosa
Menulis buku harian merupakan upaya pembiasaan agar kita memiliki kompetensi keterampilan menulis. Awalnya mungkin kita hanya menulis catatan penting, seperti agenda kerja atau agenda kegiatan sehari-hari. Hal itu merupakan langkah awal yang baik. Kegiatan itu dapat kita lanjutkan dengan mencatat peristiwa penting, misalnya gempa bumi, tabrak lari, atau pencurian. Peristiwa tersebut dapat kita kembangkan dengan melibatkan imajinasi kita sehingga tokohnya diberi karakter tertentu, peristiwanya dijalin lebih memikat, dan latarnya dirinci secara detil. Apabila kegiatan ini masih dianggap sulit, kita dapat melakukan kegiatan menulis secara sederhana, yaitu menarasikan pengalaman yang telah kita lakukan dari bangun tidur hingga ketika akan tidur kembali.
Beberapa kegiatan yang telah kita lakukan dalam menulis puisi dapat kita manfaatkan juga untuk kepentingan menulis prosa, khususnya cerpen. Kegiatan yang dimaksud adalah mendeskripsikan objek konkret secara emotif dan menulis cerpen berdasarkan tokoh dalam sejarah, mitologi, atau karya sastra lainnya.
Para sastrawan acap kali menggunakan fakta cerita dalam sejarah atau mitologi sebagai teks dasar karyanya. Misalnya novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangun Wijaya memunculkan tokoh-tokoh nyata ketika zaman revolusi kemerdekaan, seperti Amir Syarifudin. Seno Gumira Ajidarma memunculkan tokoh-tokoh wayang dalam novel Kitab Omong Kosong, atau Hermawan Aksan memunculkan kembali tokoh Diah Pitaloka, Puteri Sunda yang menjadi martir dalam perang yang tidak seimbang antara Kerajaan Pajajaran dan Majapahit, yang dikenal dengan Perang Bubat. Mari kita perhatikan salah satu penggalan cerpen karya Putu Wijaya berjudul “Bisma”. Resi Bisma yang dalam mitologi pewayangan dihormati, disegani, dan dijunjung tinggi oleh pihak Kurawa dan Pandawa karena sebagai sesepuh Kerajaan Astina, dalam novel tersebut dimunculkan secara ganjil dan lucu.
Bisma bangkit dari tanah, udara dan air, yang melebur jasadnya setelah jutaan tahun yang lalu pralaya dalam perang Bharatayuda. Tubuhnya yang tinggi besar dan sedikit bungkuk karena tua tampak agung ditancap oleh ribuan panah. Mukanya yang dihiasi brewok dan cambang putih sudah kisut, akan tetapi masih tetap memancarkan sinar yang jernih. Resi yang telah memikul pengorbanan yang dahsyat itu tiba-tiba muncul di Pasar Senen.
Namun, satu hal yang perlu kita cermati, Hal yang dilakukan sastrawan bukanlah untuk menjiplak karya yang sudah ada, melainkan untuk mereaksi, menanggapi, atau melakukan dialog dengan karya-karya sebelumnya. Bahkan, cara ini menarik minat para pakar sastra sehingga memunculkan kajian sastra dengan menggunakan pendekatan resepsi sastra dan intertekstualitas.
Menulis prosa pun dapat kita lakukan dengan cara memperhatikan konvensi yang terdapat dalam sebuah karya prosa. Jika cara ini yang kita pilih, maka kita harus mempehatikan hal-hal berikut:
1) Tentukanlah tema cerpen berdasarkan persoalan yang Anda kuasai, kemudian konkretkan tema tersebut dengan judul yang menarik dan sesingkat mungkin, misalnya tidak lebih dari lima kata.
2) Sadarilah bahwa cerpen yang konvensional selain menyertakan judul dan pengarangnya harus juga dilengkapi aspek formal cerpen lainnya, yaitu adanya narasi dan dialog tokoh.
3) Kembangkanlah tema ke dalam unsur-unsur cerpen, seperti fakta cerita (alur, tokoh, dan latar), sarana cerita (sudut pandang, penceritaan, dan gaya bahasa).
4) Padukanlah unsur-unsur cerpen dengan memperhatikan kaidah alur, yaitu peristiwa disusun secara logis dan kronologis, menghadirkan suspense ‘rasa ingin tahu’ membuat surprise ‘kejutan’ dan menjalin seluruh unsur cerpen sehingga tampak utuh.
2. Membacakan Prosa dan Paduan Baca Prosa
Ekspresi prosa biasanya dilakukan dengan membacakan cerpen atau dongeng, baik oleh sendiri maupun oleh beberapa orang yang disebut dengan paduan baca cerpen. Selain itu, ekspresi prosa dapat dilakukan dengan mendramatisasi cerpen.
Dalam membacakan cerpen, kita dapat juga mengikuti teknik seperti dalam membacakan puisi. Pertama, cerpen kita baca dalam hati. Langkah pertama ini bertujuan agar kita dapat mengakrabi cerpen sehingga maknanya dapat kita selami. Langkah kedua adalah dengan membacakan cerpen secara nyaring. Kita upayakan agar setiap kata dalam kalimat, setiap kalimat dalam paragraf, dan setiap paragraf dalam cerpen tersebut dapat kita hidupkan dengan alat artikulasi kita. Dalam langkah kedua ini kita dapat mencoba untuk mengucapkan narasi dan dialog-dialog cerpen sesuai dengan karakter masingmasing. Pembaca pun dapat berlanjut ke langkah yang ketiga, yaitu memperhatikan kapan intonasi ditekan, tempo diperlambat atau dipercepat, volume suara diperkecil atau diperbesar, dan nada direndahkan atau ditinggikan. Agar pembacaan tidak berubah-ubah, pembaca dapat menandai bagian-bagian yang mendapat penekanan tersebut dengan menggunakan alat tulis, misalnya tinta warna dan penggaris. Dengan demikian, pembacaan cerpen dapat diulang-ulang hingga sampai pada langkah yang keempat, yaitu pembacaan cerpen yang estetis. Namun, tentu saja untuk sampai pada pembacaan cerpen yang estetis diperlukan latihan berulang-ulang. Oleh sebab itu, membaca kritis harus dilakukan, misalnya kita tidak perlu ragu untuk meralat atau merevisi bagian-bagian yang sudah kita tandai.
Hal serupa dengan langkah membacakan cerpen dapat juga kita lakukan dalam paduan baca cerpen, namun dengan pembagian tugas yang jelas. Misalnya, siapa yang akan menjadi narator dan siapa yang akan menjadi tokoh-tokoh dalam cerpen.
3. Mendongeng dan Mendramatisasi Prosa
Mendongeng atau bercerita dapat menjadi kegiatan ekspresi prosa yang mengasyikkan sebab juru dongeng biasanya bertutur tanpa teks sehingga ia pun dapat memanfaatkan raut muka, gerak-gerik, dan anggota tubuhnya untuk memperkuat karakter tokoh-tokoh dongeng. Bahan dongeng dapat berupa cerita rakyat, seperti mite, legenda, fabel, dan cerita jenaka.
Apabila juru dongeng atau pendongeng di daerah nusantara bercerita dengan bahasa daerah dan khazanah daerah masing masing, maka kita dapat memanfaatkan cerita rakyat se-Nusantara yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia sehingga sastra-sastra daerah itu dapat dikenal lebih luas dalam skala nasional.
Apabila mendongeng dilakukan secara perseorangan, dramatisasi prosa dapat dilakukan secara berkelompok. Seperti halnya dramatisasi puisi, dramatisasi prosa pun harus mengikuti kaidah-kaidah yang terdapat dalam drama.
Misalnya, apabila kita akan mendramatisasi cerpen atau cerita rakyat, kedua karya itu harus dialihkan terlebih dahulu ke dalam naskah drama. Misalnya, narasi cerpen diubah menjadi petunjuk pemanggungan sehingga yang dialog tokoh-tokohnya tampak menonjol. Berikut ini akan dikutip sebuah penggalan teks cerpen, kemudian dialihkan ke dalam teks drama.
Penjaga kuburan mendekatinya dan bertanya, ”Kenapa Nenek menangis ?” Diangkatnya kepalanya pelan-pelan, dipandangnya penjaga kuburan itu agak lama, dan suaranya yang gemetar dan tua itu berkata, “Kalaulah cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.” Dia berhenti sebentar, dihapusnya air matanya. “Engkau sendiri bekerja di sini ?” tanyanya kemudian.
“Ya.”
“Sepantasnya engkau masuk surga, Nak”
Kemudian penjaga kuburan itu duduk di semen kuburan itu dan Nenek itu berkata, “Kuburan-kuburan disini bersih. Kalau saya nanti dikuburkan di sini, kau bersihkanlah kuburanku balk-baik, Nak.”
“Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup.” Kata penjaga kuburan itu.
“Benar, saya masih akan lama hidup ?”
“Benar Nek.”
(Motinggo Boesje dalam Hoerip, 1979c: 136)
PANGGUNG MENYERUPAI TEMPAT PERKUBURAN. TAMPAK DI SEBUAH
NISAN SEORANG NENEK SEDANG DUDUK, MENUNDUK, DAN
MERENUNGI BATU NISAN ITU. PENJAGA KUBURAN MENDEKATI NENEK
PENJAGA KUBURAN : Kenapa Nenek menangis ?
NENEK : (memandang penjaga kuburan, suaranya gemetar)
Kalaula cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.
(menghapus air mata)
Engkau sendiri bekerja di sini?
PENJAGA KUBURAN : Ya.
NENEK : Sepantasnya engkau masuk surga, Nak!
(penjaga kuburan duduk di semen kuburan dekat Nenek)
Kuburan-kuburan di sini bersih. Kalau saya nanti dikuburkan di sini,
kau bersihkanlah kuburanku baik-baik, Nak.
PENJAGA KUBURAN : Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup.
NENEK : Benar, saya masih akan lama hidup ?
PENJAGA KUBURAN : Benar, Nek.
C. Ekspresi Drama
1. Beberapa Pelatihan Menulis Naskah Drama
Dengan pengetahuan mengenai konvensi drama dan dengan ditambah keberanian, kita dapat memulai untuk menulis drama. Berikut ini merupakan pelatihan praktis yang dimodifikasi dari Moody (1971: 88), yaitu (1) menggali nilai-nila dramatik (dari drama yang sudah ada), (2) menulis dialog imajiner, dan (3) menciptakan situasi dramatik dari berbagai sumber.
a. Mengadaptasi, Menyadur, dan Memvisualisasi Drama yang Sudah Ada
Drama yang tersedia di perpustakaan, di toko-toko buku, atau yang dijadikan bahan kurikulum di sekolah lebih banyak yang “enak” untuk dibaca daripada dipentaskan. Hal itu disebabkan tidak semua pengarang drama mengetahui seluk-beluk teater atau pemanggungan, meskipun ketika mereka menulis drama, benaknya pasti berusaha untuk memvisualisasi panggung. Keadaan ini mengakibatkan pihak yang akan mementaskan drama, misalnya sutradara, perlu menyunting terlebih dahulu naskah drama yang akan dipentaskan. Selain itu, antara drama sebagai karya sastra di satu pihak dan teater di lain pihak merupakan bentuk seni yang memiliki kekhasan masing-nasing. Dalam teater, naskah drama hanyalah salah satu unsur teater sehingga kretaivitas sutradara lebih penting daripada otonomi pengarang drama.
Anggap saja bahwa Anda adalah seorang sutradara yang akan mewujudkan sebuah naskah drama ke dalam seni pertunjukan. Ada dua buah naskah drama yang menarik Anda, akan tetapi terdapat dua masalah yang belum terpecahkan. Naskah pertama merupakan naskah terjemahan dari bahasaasing sehingga belum kontekstual. Naskah kedua sedikit sekali mencantumkan kramagung atau petunjuk pentasnya sehingga miskin dengan imajinasi visual. Bagaimana cara memecahkan masalah ini? Agar kontekstual, naskah pertama dapat Anda adaptasi atau Anda sadur sesuai dengan konteks zaman dan tempat yang Anda inginkan dan naskah kedua dapat dikonkretkan dengan lebih memperjelas kramagungnya. Contoh pertama telah kita singgung pada saat membicarakan Rendra dengan drama Perampok-nya, sedangkan cohtoh kedua sering kali dilakukan oleh sutradara dalam proses produksinya, yaitu dengan lebih mengkonkretkan naskah drama dengan floo-rplan (penggambaran arah gerak pemain) dan promptbook (naskah yang sudah disunting sesuai dengan keperluan pementasan).
b. Membuat Dialog Imajiner
Latihan menulis pun dapat Anda lakukan dengan membuat dialog imajiner berdasarkan situasi dramatik yang sangat Anda kenal. Misalnya, Anda membuat dialog antara dua pihak yang memiliki masalah atau konsep yang bertentangan: para buruh dengan majikannya, para pemburu dengan pencinta lingkungan hidup, para pedagang kakilima dengan petugas Tibum atau Satpol P.P., atau dapat juga kita memecahkan persoalan yang di tinjau dari dua sudut yang berbeda. Di media massa kadang-kadang terdapat rubrik yang berisi wawancara imajiner dengan tokoh-tokoh yang sudah meninggal, misalnya wawancara imajiner Christianto Wibisono dengan Bung Karno. Wawancara itu dibuat karena pengarang (pewawancara) sangat mengenal subjek yang dibicarakan. Dia tahu betul siapa Bung Karno, apa gagasan dan filsafatnya.
c. Mendramakan berbagai Sumber yang Mengandung Peristiwa Dramatik
Zaman kita kini adalah zaman informasi. Apabila peristiwa kecil dan remeh dapat menarik karena dikemas secara apik dalam pemberitaannya, bagaimana dengan peristiwa besar, seperti jatuhnya pesawat terbang, kudeta berdarah, gempa bumi, dan meningganya kepala negara? Peristiwa-peristiwa seperti itu tentu dapat Anda jadikan bahan penulisan drama. Dengan catatan, Anda mesti mampu melihat atau menemukan peristiwa dramatik di dalamnya. Misalnya, apabila Anda membaca berita mengenai jatuhnya pesawat terbang Adam Airi atau Garuda, peristiwa dramatik dapat Anda buat dengan membayangkan bahwa Anda adalah bagian dari penumpang yang selamat, atau ketika Anda membaca beritaterhentinya pertandingan sepak bola karena ulah penonton yang berlaku anarki, Anda membayangkan bahwa Andalah trouble maker-nya sehingga khawatir, cemas, dan takut berkecamuk di dalam dada.
Sumber pencarian peristiwa dramatik, tentunya tidak hanya berita dalam surat kabar, majalah, atau televisi, namun segala sumber yang menarik Anda dan dipandang sebagai potensi dalam memunculkan peristiwa dramatik. Misalnya, esai, pledoi pengadilan, bahkan profil seorang tokoh dapat mengandung peristiwa dramatik, terlebih-lebih jika orientasi kita pada pertunjukkan di atas panggung. Sebagai bukti, kelompok teater di Jakarta, yaitu Teater SAE pernah menampilkan drama berjudul Pertumbuhan di Meja Makan, yang naskahnya bersumber dari berbagai tulisan di surat kabar; Wellem Pattirajawane, seorang aktor dari Teater Kecil, pernah menampilkan monolog yang bersumber dari buku Indonesia Menggugat karangan Bung Karno, Atau Adi Kurdi, aktor dari Bengkel Teater Rendra, pernah menampilkan monolog yang bersumber dari profil dan keberanian Adi Andojo sebagai hakim agung muda.
Namun, kita harus kembali pada tujuan semula, yaitu berlatih menulis drama. Oleh sebab itu, segala bahan yang dipilih dibaktikan agar Anda terampil menulis drama, misalnya dengan mengemas bahan itu secara apik ke dalam dialog dan kramagung, yang kemudian ditata kembali dalam adegan demi adegan serta babak.
2. Memainkan Drama
Untuk sampai pada puncak pementasan drama, setidaknya ada dua tahap yang harus dilalui, yaitu tahap persiapan dan tahap pelatihan.
a. Tahap Persiapan
(1) Memilih Naskah Drama
Pemilihan naskah drama untuk pementasan bergantung kepada keperluan, namun hendaknya harus dipertimbangkan dari berbagai segi. Untuk kepentingan hari besar Islam, misalnya Anda dapat mementaskan drama Masyitoh karya Ajip Rosidi, Iblis karya Mumammad Diponegoro, atau Ashabul Kahfi karya Godi Suwarna. Dalam merayakan Hari Kemerdekaan, Anda dapat memilih drama Nyaris karya N. Riantiarno, Domba-Domba Revolusi karya B. Soelarto, atau Fajar Sidik karya Emil Sanosa. Akan tetapi, pemilihan itu pun mesti disesuaikan dengan kondisi yang ada. Katakanlah, Anda telah sepakat untuk mementaskan drama Masyitoh. Kesepakatan itu sebaiknya berdasarkan pertimbangan bahwa para pemainnya siap berlatih, waktu mencukupi, dana tersedia, dan calon penonton, berdasarkan pengamatan secara umum, akan sangat antusias.
(2) Mendapatkan Izin Penulis
Setiap karya yang diterbitkan biasanya dilindungi oleh undang-undang. Apabila Anda melanggarnya, maka sama saja dengan melanggar hak cipta orang lain. Oleh sebab itu, agar tidak mendapatkan sanksi-sanksi di kemudian hari, alangkah arifnya jika kita mengusahakan izin dari pengarangnya, baik secara tertulis maupun lisan. Drama-drama yang dibuat untuk kepentingan latihan, misalnya sebagai pelengkap atau lampiran dalam buku teks atau yang ditampilkan secara amatir di kelas tidaklah pelu mendapat izin. Akan tetapi, drama untuk kepentingan pentas yang sifatnya komersial sudah selayaknya dilengkapi dengan izin pengarang atau penerbit yang mewakilinya.
(3) Memilih Sutradara
Menurut Suyatna Anirun (1987:33-35), sutradara pada hakikatnya adalah seorang seniman, diplomat, organisator, dan seorang guru, yang berfungsi sebagai seniman kreatif dan pencipta kondisi kerja teater.
Sebagai seniman kreatif, sutradara berfungsi sebagai penafsir utama naskah, bertanggung jawab pada penyelesaian bentuk, meramalkan semua kondisi, menguasai serta mampu menerapkan prinsip-prinsip estetis, seperti masalah ruang dan bentuk, jarak estetik, dan psikologi apresiasi. Sebagai pencipta kondisi kerja teater, ia pun bertugas untuk mengkoordinasikan kerja ensambel (bersama), membantu pemain mewujudkan perannya, dan membantu atau bekerja sama dengan pekerja lainnya, misalnya pnata artisitik. Untuk mengkonkretkan konsep artistiknya, sutradara hendaknya membuat ploor-plane yang merupakan rencana pentas (gambar dari proyeksi skeneri); mengalihkan naskah menjadi prompt-book, yaitu buku kerja, yang selain sebagai naskah suntingan berfungsi pula untuk mencatat dan merevisi segala kegiatan selama proses latihan; mengkonkretkan setting, properties, rias, busana, musik, tata suara, dan efek khusus.
(4) Mempelajari atau Menganalisis Naskah
Sebenarnya, tugas mempelajari dan menganalisis naskah adalah tugas utama sutradara. Akan tetapi, agar para pemain dan pekerja panggung lainnya dapat bekerja sama demi keberhasilan pementasan, maka semua pihak dapat memberikan andil dalam mengutuhkan penafsiran naskah di atas panggung.
Sehubungan dengan menganalisis naskah, Anda dapat saja kembali pada bagian sebelumnya pada saat kita berbicara tentang konvensi dan kaidah umum drama. Misalnya, Anda memahami kembali prinsip alur dan struktur drama menurut Aristoteles. Drama konvensional biasanya dapat ditelaah dengan menggunakan prinsip Aristoteles, yaitu dengan menemukan bagian eksposisi, konflikasi, klimaks, resolusi, dan konklusi.
Apabila prinsip Aristoteles sulit diterapkan dalam drama yang akan dipentaskan, Anda dapat saja menggunakan teori lain. Saini K.M., misalnya, menawarkan teori atau teknik analis dengan memperlakukan naskah sebagai “pola peristiwa” (pattern of events). Menurut teori ini, naskah drama dapat dikelompokkan ke dalam empat pola peristiwa, yaitu (1) pola perubahan, (2) pola belajar, (3) pola kejayaan dan kejatuhan, dan (4) pola perjuangan melawan kejahatan.
Dalam pola perubahan, tokoh utama mengalami perubahan baik dalam status, keadaan, maupun nasibnya. Misalnya, dalam drama Yunanai yang terkenal karya Sophocles, Tokoh Oeidiphus yang pada awalnya merupakan seorang raja yang gagah dan terhormat berubah menjadi seorang buta yang terhina. Dalam pola belajar, tokoh utama mengalami proses belajar dari kondisi tidak tahu, tidak bijaksana dan keliru menuju ke keadaan yang sebaliknya. Dalam pola kejayaan dan kejatuhan, misalnya tampak pada drama Ken Arok karya Saini K.M. sendiri. Ken Arok yang berjaya dengan membunuh Tunggul Ametung dan mengawini Ken Dedes akhirnya mesti jatuh tersungkur karena keris Empu Gandring yang ditusukkan oleh putera Tunggul Ametung. Terakhir, pola perjuangan melawan kejahatan merupakan pola yang sangat populer dan mudah Anda temukan sebab masalah yang diusungnya sangat kontras sehingga ibarat membedakan warna hitam dan putuh. Dengan apa pola peristiwa terwujud? Untuk menjawabnya, Anda tinggal mengingat bahwa hakikat drama adalah konflik. Karena konflik yang melibatkan tokoh utama itulah, pola-pola peristiwa muncul, yang kemudian harus Anda temukan dalam naskah yang Anda analisis.
b. Tahap Pelatihan atau Proses Produksi
Hal-hal yang harus Anda perhatikan pada tahap proses produksi adalah sebagai berikut:
(1) Mencari bentuk
Pencarian bentuk dilakukan dengan menganalisis naskah drama, membacanya bersama sehingga dapat memilih peran yang tepat, mewujudkan naskah dalam gerak (blocking), dan menguasai/menundukkan naskah dan ruang. Di sinilah sutradara memfungsikan ploor-plane (gambar
berupa rencana pentas) dan prompt-book-nya (naskah drama yang sudah disunting untuk kepentingan pelatihan) secara optimal. Bagaimana ia mengatur blocking para pemain sehingga sampai pada blocking yang tepat. Karena revisi terus dilakukan, sutradara tidak perlu membuat floo-rplane yang baku. la dapat saja menghapus arah jalan atau keluar-masuk pemain yang telah ditulisnya di atas floor-plane untuk sampai pada bentuk yang diinginkan. Demikian pula dengan promt-book. Agar sutradara dan pemain leluasa menggunakan prompt-book, sebaiknya buku kerja itu dibuat ke dalam ukuran folio sehingga dapat memuat catatan-catatan yang diperlukan selama pelatihan berlangsung.
(2) Pengembangan
Pengembangan permainan dilakukan dengan memberi isi, mengembangkan, dan membangun klimaks. Tentu saja semua dilakukan setelah Anda mengikuti pelatihan dasar drama, seperti berlatih konsentrasi, imajinasi, emosi, olah vokal, olah tubuh, dan olah rasa atau sukma. Di bawah ini akan diuraikan panduan yang dibuat oleh Rendra (1982) dalam Tentang Bermain Drama atau Suyatna Anirun (1979) dalam Teknik Pemeranan. Secara ringkas, panduan tersebut adalah sebagai berkut:
a) Teknik muncul; dilakukan agar kita dapat memberikan kesan pertama kepada penonton secara meyakinkan.
b) Teknik memberi isi; dilakukan agar kita dapat mengisi kalimat sesuai dengan tuntutan drama yang dipentaskan, yaitu dengan memberikan tekanan dinamik, nada, dan tempo secara tepat.
c) Teknik pengembangan vokal dan tubuh; dilakukan agar permainan kita tidak datar, tetapi memikat penonton. Pengembangan vokal atau pengucapan dilakukan dengan menaikkan atau menurunkan volume, tinggi nada, kecepatan tempo suara, sedangkan pengembangan tubuh dapat dilakukan dengan menaikkan/menurunkan tingkatan posisi jasmani, berpaling, berpindah tempat, menggerakkan anggota badan, dan mimik.
d) Teknik membina puncak dan membangun klimaks; dilakukan agar kita dapat menahan tingkatan perkembangan sebelumnya (disebut juga dengan teknik menahan), yaitu dengan menahan intensitas emosi, menahan reaksi terhadap perkembangan alur, teknik gabungan, teknik permainan bersama, dan teknik penempatan pemain.
e) Teknik menonjolkan; dilakukan agar kita dapat menonjolkan hasil penafsiran, terutama dengan teknik dinamika visual yang bersumber dari pengembangan jasmani.
f) Teknik timing atu ketepatan waktu; dilakukan agar hubungan waktu antara gerakan jasmani dan dialog kita berjalan dengan tepat, yaitu dengan melakukan gerakan sebelum, seiring, atau sesudah katakata diucapkan.
g) Teknik menakar bobot permainan; dilakukan agar kita bermain secara proporsional.
h) Teknik mengatur waktu, irama, tempo, dan jarak langkah; dilakukan agar permainan tidak kedodoran.
(3) Pemantapan
Dalam proses pemantapan, sutradara harus melakukan koordinasi dan mengatur tempo serta irama permainan sehingga tampak tidak kedodoran. Hafal naskah dan blocking belum tentu menghasilkan permainan yang penuh “greget” dan penuh atmosfer hidup. Oleh sebab itu, sutradara mesti peka dan
mempertajam intuisi dan daya kritisnya sehingga permainan yang mantap dapat dihasilkan.
(4) Pelatihan umum
Pelatihan umum dilakukan manakala sutradara menganggap naskah yang sedang digarapnya itu telah layak pentas. Oleh sebab itu, pada latihan umum ini para pemain harus tampil utuh laiknya bermain di hadapan para penonton.
(5) Pergelaran
Pergelaran atau pementasan merupakan puncak dari pelatihan yang kita lakukan. Keberhasilan pergelaran sangat bergantung kepada kerja sama serta kesolidan di antara para pendukungnya. Masalah utama yang dihadapi sutradara dan pekerja lainnya adalah menghayati dan mengkomunikasikan naskah yang diusungnya secara artistik. Dengan kata lain, kita harus dapat mengatasi bagaimana agar naskah sebagai medium verbal sastrawan dapat diterjemahkan, bahkan diperkuat daya ungkapnya dengan media audio (bunyi vokal dan musik), visual (bentuk, warna, dan cahaya), dan kinetik (gerak) sehingga penonton dapat menyerap nilai-nilai pengalaman, baik yang bersifat umum maupun estetik.